Minggu, 30 Mei 2010

AKTUALISASI PERCAYA DIRI Menuju Kepribadian Yang Menyenangkan dan Berprestasi


Drs. Soleh Amini Yahman. M.Si*

Pendahuluan

Krisis percaya diri (PD) dan syndroma rendah diri (inferiority complex syndrome) tidak saja menghinggapi kehidupan pesonal remaja. Hampir semua lapisan usia mengalami kedua macam krisis tersebut dalam taraf dan kadar yang berbeda-beda. Krisis percaya diri dan komplek rendah diri terjadi karena berbagai sebab dan faktor. Namun kalau dilihat dari etiologi kejadiannya, kedua masalah tersebut terjadi karena faktor eksogen dan faktor indogen, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu (orang lain) dan faktor yang berasal/bersumber dari diri individu itu sendiri.


Krisis percaya diri adalah kondisi yang tidak produktif bagi peningkatan kualitas diri dan pencapian prestasi optimal. Perasaan rendah diri/kurang percaya diri akan menghambat interaksi sosial sehingga memperkecil kesempatan dan peluang untuk meraih kehidupan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu krisis ini harus segera di atasi dan dikelola sedemikian rupa sehingga hal-hal yang sifatnya kontra produktif pada perilaku personal maupun perilaku sosial pada diri kita dapat diubah menjadi produktif dan prestatif. Untuk itu saya sebagai akademisi dan praktisi yang bergerak di bidang personal development dan human resources empowerment menyambut baik gagasan yang dilontarkan oleh teman-teman di CES Solo untuk menyelenggarakan acara “liburan kreatif” ini. Tulisan berikut ini merupakan uraian singkat bagaimana membangun dan meningkatkan rasa percaya diri guna membangun kualitas pribadi yang optimal dan penuh prestasi. Semoga bermanfaat.




Percaya Diri : Apa itu ?
Percaya diri atau kepercayaan diri bukan sekedar keberanian untuk bertindak atau berbuat. Sehingga tidak dapat diartikan bahwa orang yang berani bertindak atau berbuat sesuatu dapat dikatakan sebagai orang yang penuh percaya diri. Kepercayaan diri lebih tepat disebut sebagai keyakinan diri. Dengan keyakinan diri ini kita dapat menangani atau menghadapi segala situasi dengan tenang.
Kepercayaan diri banyak kaitannya dengan hubungan kita dengan orang lain. Kita tidak suka merasa minder/inferior dihadapan siapapun . Kita tidak mau dipermainkan oleh siapapun. Kita ingin jadi pemuda yang dapat menyapa dan menghampiri gadis mana saja dan memintanya untuk berkenalan, berteman dan berkencan, atau ingin menjadi seorang pemudi yang dapat mengenakan apa saja yang ia inginkan dan tetap merasa enak karena ia tahu peniliannya tepat. Kita ingin dapat memasuki ruangan yang penuh dengan orang dan tetap merasa bahwa kita sama baiknya dengan mereka semua. Ketika pergi bekerja, kita ingin mengerahkan segenap kemampuan kita dan tidak terhambat oleh perasaan inferior apapun . Bila ke pesta atau acara sosial, kita ingin merasa senang tanpa ada perasaan rikuh . Kita menginginkan penentraman diri dan keyakinan diri. Kita ingin merasa percaya diri…dan itulah percaya diri !
Percaya diri atau kepercayaan diri adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya merasa aman, dapat mengembangkan kesadaran diri, mempunyai kemandirian, mengetahui apa yang dibutuhkan , mampu berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, berpikir positip sehingga mampu menghadapi segala sesuatu dengan tenang, mampu mencapai segala sesuatu yang diinginkan serta tidak merasa inferior dan canggung dihadapan siapapun. Dengan demikian kepercayaan diri merupakan sifat kepribadian yang sangat menentukan dalam kehidupan orang secara pribadi. Dengan kepercayaan diri yang baik, seseorang akan dapat mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya dengan optimal.

Apakah Anda Termasuk Orang yang Percaya Diri ?
Hanya anda sendirilah yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Rasa percaya diri yang kuat menyebabkan orang menjadi optimis dalam hidupnya dan menghadapi persoalan dengan hati yang tenang. Individu yang mempunyai kepercayaan diri senantiasa berpikir postip dalam menghadapi suatu situasi dan masalah. Seorang yang mempunyai kepercayaan diri positif ditunjukkan dengan kemampuan bekerja secara efektif, mampu melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan bertanggung jawab. Namun demikian Keprcayaan diri yang berlebihan tidak selalu berarti positip. Orang yang over confidance sering tidak berhati-hati dan berperilaku seenaknya (cuek bebek). Tingkah laku yang demikian ini sering menyebabkan timbulnya konflik dengan orang lain, over confidance sering memberikan kesan kejam, nyebelin, sok banget dan lebih banyak mempunyai lawan daripada kawan. Berikut ini adalah merupakan identifikasi dari ciri-ciri orang yang mempunyai kepercayaan diri postip :
1. Positip dalam menilai dirinya sendiri, Individu mempunyai keyakinan akan kemampuan diri. Ia mengerti benar apa yang akan dan harus dilakukan ketika menghadapi suatu situasi atau permasalahan.
2. Optimis ; selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang dirinya, harapannya dan kemampuannya.
3. Obyektif ; orang yang percaya diri akan selalu memandang persoalan dalam kerangka yang sebenarnya atau yang semestinya, bukan menurut kebenaran pribadinya (tidak ngeyelan/ngotot gitu )
4. Bertanggung jawab ; bersedia menerima segala resiko dan konsekwensi atas apa yang telah dilakukannya/diperbuatnya.
5. Rasional dan realistis ; seorang yang PD akan senantiasa bersifat kritis analisis terhadap suatu hal. Masalah atau problem yang dihadapi selalu diselesaikan dengan menggunakan pemikiran-pemikiran yang obyektip rasional dan dapat diterima oleh akal (jauh dari nada emosi dan grusa-grusu.)



Apakah Anda Termasuk Kurang Percaya Diri ?
Seorang yang yang rasa percaya dirinya kurang menjadikannya bergantung pada orang lain, ragu-ragu, cemas dalam melakukan suatu keputusan. Orang yang kurang PD dapat didentifikasi dengan ciri-ciri sebagai berikut ;
1. selalu merasa tidak aman, ada rasa takut yang tidak rasional dan merasa tidak bebas.
2. Ragu-ragu, lidah terasa terkunci di hadapan orang banyak, murung, pemalu,kurang berani.
3. Membuang-buang waktu dalam mengambil keputusan , tidak cekat-ceket.
4. Rendah diri, pengecut
5. Kurang cerdas dan cenderung untuk menyalahkan suasana luar sebagai penyebab masalah yang dihadapinya.
Apa Saja Yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri Itu ?
Seperti sudah disebutkan di muka tadi, kepercayaan diri dipengaruhi oleh faktor eksogen dan indogen. Nah uraian berikut ini adalah penjabaran dari dua faktor tersebut .
1. Konsep Diri (Self Concept): Terbentuknya kepercayaan diri, diawali dengan perkembangan konsep diri yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Konsep diri adalah semua yang dipikirkan dan dirasakan seseorang tentang dirinya sendiri. Konsep diri merupakan keeluruhan dari kepercayaan dan sikap tentang dirinya. Konsep diri merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian yang postip atau negatip. Di dalam konsep diri terdapat evaluasi yang didasarkan pada penilaian orang lain atas seluruh kualitas dirinya (seperti :potensi, daya tarik fisik, nilai0nilai dan sebagainya) Konsep diri yang positip akan membawa seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, penerimaan diri dan evaluasi diri yang postip pula sehingga timbul rasa percaya diri yang positip. Individu dengan konsep diri positip akan mempunyai sikap percaya dan yakin akan eksistensi dirinya, mampu menghadapi permasalahan tanpa rasa malu yang berlebihan, mau menyadari perasaan dan keinginan orang lain, sehingga ia peka terhadap kebutuhan orang lain dan menjadi orang yang berkepribadian matang. Sedangkan konsep diri yang negatip akan membawa pada evaluasi diri yang negatif, sehingga menimbulkan rasa benci terhadap diri sendiri, onferior (kurang PD), kurang self aceptance (nerima dirinya sendiri) dan merasa kurang berharga.
2. Kondisi Fisik. Kondisi fisik merupakan penyebab utama rendahnya kepercayaan diri. Proses pembentukan kepercayaan diri mempunyai kaitan erat dengan pengenalan diri secara fisik. Konsep ini diawali dengan bagaimana individu mengenali dirinya, yang kemudian akan membawa individu untuk menilai fisiknya, apakah menerima atau menolaknya. Keadaan tersebut akan menyebabkan petrasaan puas dan tidak puas serta kecewa sehingga mempengaruhi perkembangan mentalnya.
3. Pengalaman Hidup. Pengalaman buruk pada masa kanak-kanak akan menyebabkan anak kurang percaya diri dimasa remaja dan dewasa. Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman hidup. Pengalaman yang mengecewakan adalah yang paling sering menjadi sumber timbulnya kekurang percayaan diri dan rasa rendah diri. Lebih-lebih jika pada dasarnya seseorang sudah memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang penghargaan.
4. Kesuksesan dan kegagalan. Keprcayaan diri akan timbul apabila permasalahan dapat diatasi dengan baik. Seseorang yang mengalami kegagalan dalam hidupnya cenderung merasa kurang percaya diri sehingga timbul perasaan tidak mampu pada dirinya. Sedangkan seseorang yang selalu berhasil atau sukses dalam hidupnya akan menampakkan kepercayaan diri yang tinggi oleh karena metreka merasa dirinya mampu.
5. Pendidikan. Pendidikan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Orang yang tingkat pendidikannya rendah akan menyebabkan dirinya tergantung dan berada di bawah kekuasaan orang yang lebih pandai dari dirinya. Sebaliknya orang yang berpendidikan timggi cenderung akan mandiridan tidak perlu tergantung pada orang lain dan individu akan mempunyai kepercayaan diri dalam mengatasi tantangan dan tuntutan hidup.
6. Kareier dan Bekerja. Dengan berkarier dan bekerja seseorang bisa mengembangkan kreativitas dan kemandirian serta kepercayaan diri. Kepercayaan diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan atau berkarya. Di samping memperoleh penghasilan (materi) dengan bekerja seseorang memperoleh kepuasan dan rasa bangga karena dapat mengembangkan kemampuan diri (beraktualisasi diri). Sebaliknya apabila tidak bekerja dan mengalami hambatan dalam memperoleh pekerjaan, seseorang akan menjadi gelisah dan mungkin menjadi mudah marah, sehingga mengganggu kepercayaan diri.
7. Keluarga dan lingkungan keluarga. Keluarga memberikan kontribusi yang cukup dominan dalam membangun rasa percaya diri seseorang. Lingkungan keluarga yang selalau bahu-membahu, suprot-mensuport antar angota keluaraga akan melahirkan generasi yang percaya diri dan penuh prestasi. Tetapi lingkungan keluarga yang saling cuek bebek satu dengan lain, bahkan penuh konflik akan melahirkan generasi yang dablek dan jauh dari pesona kepribadian yang menyenangkan. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan sosial pertama tempat individu melakukan interaksi dengan lingkungan. Pada tahun-tahun pertama perkembangan anak, kebutuhan psikologis diperoleh anak dari orang tuanya. Terpenuhi atau tidaknya kebutuhan psikologis tersebut akan mempengaruhi perkembangan kepribadian dan rasa percaya diri anak.
Bagaimana Membangun Percaya Diri ?
Sebetulnya dengan menyimak, ciri-ciri dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepercayaan diri, sebagaimana telah saya uraiakan di muka tadi, tidak perlu lagi saya jabarkan bagaimana strategi atau kiat membangun rasa Percaya Diri. Dari hal-hal tersebut anda secara teknis dapat melakukannya sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi diri anda. Satu hal yang perlu anda ingat bahwa Kepercayaan diri itu dap[at dibangun. Artinya kepercayaan diri dapat di tingkatkan. Kita semua dapat belajar untuk lebih percaya diri atau dapat memperoleh kepercayaan diri, selama kita mau menerima realita diri kita dan menyadri siapa kita dan dimana kita berada. Tidak ada orang yang sempurna rasa percaya dirinya. Kepercayaan diri itu sifatnya situasional dan kondisional. Artinya orang bisa sangat PD pada situasi, tempat dan kondisi tertentu, tetapi ia akan menjadi sangat nervous dan tidak PD pada situasi , tempat dan kondisi lainnya. Oleh karena itu sebelum memutuskan sesuatu persoalan atau tindakan hendaklah kita mengenali dan menguasai lingkungan yang ada dihadapan kita. Dengan demikian ada proses adjusment (penyesuaian) dan keseimbangan dalam bertindak, berbuat dan mengambil keputusan. Itulah kiat paling jitu yang bisa saya kemukakan dihadapan anda semua dalam membangun rasa PD yang positip.

Restrukturisasi Kota Solo Pasca Kerusuhan Mei 1998 Menuju Masyarakat Madani



Soleh Amini Yahman
Pendahuluan
Ketika kota Solo membara pada tanggal 14 - 15 Mei 1998 lalu, dunia seakan terhenjak dan terkejut. Dunia seakan tidak percaya bahwa peristiwa dahsyat itu terjadi di kota Solo. Kota yang terkenal dengan keagungan budaya, lemah lembut budi bahasanya , sopan santun perilakunya, tepo sliro terhadap sesama, tiba -tiba menjadi beringas meluluhlantakkan keindahan dan kecantikan kota solo yang bersemboyan BERSERI. Pembangunan infra dan supra struktur kota yang telah dan sedang di mulai hancur lebur, sehingga pada saat itu kota solo seakan menjadi kota yang lumpuh total.

Konon, kerusuhan yang terjadi di solo pada Mei 1998 adalah merupakan rentetan atau pengulangan dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sejak era tahun 1755. Terlepas dari benar dan tidaknya mitos tersebut, saya sangat meragukan bahwa peristiwa Mei 1998 itu berkaitan dengan peristiwa kerusuhan sebelumnya. Alasan saya adalah bahwa kurun waktu dari tahun 1755 hingga 1988 bukanlah waktu yang pendek Selama waktu yang lebih dari dua abad itu, pasti sudah banyak perubahan sosial terjadi. Adapun perubahan itu menyangkut antara lain komposisi penduduk, situasi sosial ekonomi dan politik serta pergeseran nilai yang erat kaitannya dengan pandangan menghormati satu sama lain.
Dalam perpekstif saya sebagai generasi muda yang lahir di akhir abad XX, saya melihat kerusuhan di kota Solo 1998 itu lebih disebabkan oleh terjadinya konflik kultural, sosial, ekonomi yang dibalut oleh kepentingan - kepentingan politik tertentu. Dilihat secara sepintas saja, kerusuhan di Solo 14 - 15 Mei 1998 adalah bagian dari keadaan masyarakat secara nasional. Salah satu Indikasinya, kerusuhan itu terjadi mengawali peristiwa turunnya Pak Harto dari singgasana kepresidenan. Jika hubungan antara turunnya pak Harto dengan kerusuhan itu ternyata menujukkan korelasi yang kuat maka kemungkinan besar, sumber sebab kerusuhan itu sangatlah bersifat politis. Ini artinya, penjarahan yang menyertai terjadinya kerusuhan tersebut bukanlah merupakan hal yang urgen dalam kejadian tersebut. Penjarahan hanyalah akibat saja. Yang penting adalah pembakaran toko (khususnya toko milik warga Cina), agar memberikan kesan kerusuhan yang terjadi adalah masalah SARA. Dengan demikian, penjarahan barang-barang oleh massa itu hanyalah background, sedangkan foreground-nya masalah kekuasaan. Dengan istilah sekarang, sumber sebabnya masalah kerusuhan di solo itu adalah konflik elite politik. Ini artinya, kerusuhan itu tidak bersumber dari dalam masyrakat Solo sendiri, tetapi dari luar. Dengan istilah sekarang, peristiwa kerusuhan di solo itu ada yang sengaja ‘ngompori’ untuk melakukan pengurusakan toko untuk memancing penjarahan. Mereka itulah yang disebut sebagai ‘provokator”.
Kebetulan atau tidak, yang jelas , kerusahan dan penjarahan itu terjadi setelah krisis moneter dan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Harga bahan pangan naik cepat sekali, sementara gaji atau pendapaan tidak bertambah. PHK terjadi dimana-mana, pengangguran menumpuk hukum tiadak lagi berdaya . Maka masyarakat mengalami “social anomali” , yaitu suatu penyimpangan dari tradisi budaya yang biasanya. Prinsip-prinsip Jawa rukun dan hormat pun menipis,dan krisis kepercayaan semakin merebak. Akhirnya emosi manusiapun menjadi tumpul. Hati nurani tidak lagi bicara, tolong menolong menjadi barang mahal dan langka. Akhirnya masyarakat terpaksa memasuki dunia ‘hukum rimba’. Berlakulah teori darwin “the survival of the fittest”, yang kuat dialah yang menang. Sampai disini maka kebudayaan sudah tidak ada lagi artinya. Yang ada tinggalah kekuatan fisik, otot, senjata tajam, batu, api atau apa saja yang bisa membuat mereka bertahan hidup. Akhirnya konsep dan cita-cita masyarakat Madani yang sangat dicita-citakan wong Solo pun menguap tinggal di angan-angan.

Solo Menuju Masyarakat Madani
Tulisan ini tidak secara khusus dimaksudkan untuk membahas dan menganalisa kerusuhan di kota solo pada medio mei 1998 itu. Peristiwa kerusuhan tersebut hanya digunakan sebagai suatu catatan untuk menujukkan betapa supra dan infra struktur kota solo hancur lebur karena peristiwa kerusuhan tersebut. Cita cita membangun masyarakat madani, masyarakat beradap terasa semakin jauh untuk dapat diwujudkan dengan terjadinya peristiwa tersebut. Mengapa cita-cita mewujutkan masyarakat madani bagi kota Solo terasa semakin jauh? Hal tersebut tidak lepas dari sikap masyarakat terhadap upaya membangun kembali kota Solo menjadi kota yang kuncoro , Berseri dan gemah ripah loh jinawi, seperti sebelum petaka mei kelabu tersebut terjadi.
Mengutip pendapat Guberrnur Jawa Tengah Mardiyanto pada Dialog Budaya di Keraton Surakarta (25/2) , Sikap masyarakat kita saat ini dapat dikelompokkan kedalam empat fenomena sikap. Pertama, reifikasi , yaitu sikap yang lebih mengarah pada segala realitas yang bukan ditekankan pada nilai humanisme tetapi pada nilai pragmatis-materilistis. Kedua , sikap manipulatif yang cenderung mengatasnamakan kepentingan rakyat atau kepentingan umum, tetapi sebenarnya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Ketiga, kecenderungan fragmentasi yang lebih mengarah pada suasana hidup berkelompok , dan pengkotak-kotakan dalam bentuk antara lain konspirasi, nepotisme dan lain-lain, yang saat ini sangat tampak menojol kepermukaan. Keempat, individualisasi yang cenderung pada kepentingan individu dan egoisme tanpa menghiraukan tata dan norma nilai yang ada dalam sistem sosial budaya masyarakat.
Fenomena tersebut tidak terjadi begitu saja dalam masyarakat Solo, ia terjadi secara evolutif dan tidak lepas dari pengaruh-pengaruh ekternal. Dalam lingkungan global akan kita saksikan adanya intervensi dan interaksi dalam kehidupan sosial budaya yang dapat mempengaruhi tata nilai budaya suatu masyarakat. Demikian pula halnya yang terjadi di Kota Solo atau Surakarta. Peristiwa luluh lantaknya kota Solo juga tidak lepas dari intervensi dan interaksi faktor ekternal yang mempengaruhi terjadinya perubahan struktur tata nilai budaya masyarakat Surakarta. Dalam kondisi seperti ini warga kota Solo perlu segera mempersiapkan dan mendinamisasikan local genius unggulan untuk memperkuat jati diri bangsa (warga) agar tidak semakin terpuruk oleh intervensi global.
Ada empat langkah besar yang dapat kita tempuh guna melakukan restrukturisasi kota Solo menjadi kota yang madani, dalam tata nilai sosial budaya yang kondusif, yaitu sistem sosial budaya yang mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat menuju pada pertumbuhan ekonomi nasional yang partisipatif. Selain itu juga mampu membangkitkan solidaritas bangsa menuju pada pertumbuhan diri masyarakat.
Keampat langkah tersebut adalah : pertama, memperlebar keran-keran komunikasi yang dilakukan secara arif dengan dilandasi pikiran positif serta ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas. Cara ni dapat ditempuh dengan lebih memberdayakan lembaga wakil rakyat, baik yang berada di tingkat I maupun tingkat II. Lembaga DPRD bukan sekedar lembaga yang tanpa target, ia harus menjadi sarana penyalur komunikasi rakyat dengan pimpinannya yang ada di lembaga eksekutif. Dengan terbukanya keran-keran komunikasi yang semakin baik, maka kecenderungan fragmentasi yang lebih mengarah pada pengkotak-kotakan dan konspirasi dapat dihindari, demikian pula akan dapat dihindari sikap ekslusifisme, nepotisme dan patron client.
Kedua, pengembangan konsep pembangunan yang bersifat bottom up plaining secara bijaksana. Masyarakat dilatih untuk berani menyampikan pendapatnya secara santun. Pimpinan harus bersedia mendengarkan dan mengakomodasikan kebutuhan riil yang diperlukan masyarakat. Dengan bottom-up plaining atau pengembangan dari bawah ini akan dapat dihindari terjadinya kecenderungan manipulasi.
Ketiga, Peningkatan kualitas sumber daya manusia secara luas menyeluruh agar masyarakat mampu memahmi budaya bangsa secara utuh, sehingga dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia ini akan dapat membawa netralitas sikap aparat dalam politik, sikap jujur, disiplin, transparan serta aspiratif sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Keempat, Meningktkan moral, etika dan akhlak luhur, sehingga pelanggaran -pelanggran terhadap tata nilai budaya yang berupa penjarahan, fitnah, pembakaran, pembunuhan dan perbuatan yang tidak manusiawi tidak menjadi bagian dari tata nilai budaya kita.
Keampat langkah tersebut harus diimplementasikan dalam perilaku operasional sebagai tindakan riil seperti diuraikan berikut ini :
• Penegakan hukum secara konsisten , tanpa pandang bulu. Prinsip setiap warga mempunyai kedudukan dan hak yang sama dimuka hukum harus dijunjung tinggi-tinggi.
• Reorientasi konsep pembangunan kota Solo, dari konsep Tri Kridha Utama (Solo sebagai kota budaya, Olah raga dan Pariwisata) menjadi Panca Krida Utama, yaitu kota Solo sebagai pusat Budaya, ekonomi, pendidikan,Pers dan Religius.
• Pemberdayaan potensi masyarakat sipil (civil empowerment) , yaitu dengan cara mengurangi dominansi dan peran ABRI/militer dalam pemerintahan sipil.
• Melaksanakan otonomi daerah secara konsisten. Artinya daerah harus diberi wewenang yang lebih luas dalam menentukan kebijakan pembangunan di daerahnya.
• Memberdayakan potensi ekonomi yang berorientasi pada rakyat banyak. Misalnya koperasi dan usaha kecil serta usaha yang berupa home industri. Konsekuens dari tindakan ini adalah merubah orientasi pembangunan ekonomi yang mengarahkan kota Solo sebagai kota industri modern menjadi kota industri yang berbasis rakyat banyak (padat Karya).
• Mengembalikan fungsi Keraton sebagai pusat pengembangan budaya, bukan sebagai pusat industri pariwisata.
• Memperbesar kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak bagi segenap lapisan masyarakat.
• Membangun manajemen ‘dakwah’ bagi semua agama dengan tetap berpegang teguh pada konsep ‘lakum dinukum waliyadien’.

Penutup
Sebagai penutup dari uraian pokok-pokok pikiran saya tentang upaya restrukturisasi kota Solo pasca kerusuhan Mei, menuju pembangunan masyarkat Madani, akan saya jelaskan apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu.
Di Indonesia, Istilah Masyarakat Madani adalah terjemahan dari cicil society, yaitu suatu konsep yang mula-mula dikenalkan dan dikembangkan oleh Cicero, seorang orator Yunani kuna (106 - 43 SM). Dalam gambaran pemikir Yunani itu, civilis societas digambarkan sebagai suatu komunitas politik yang beradab. Namun dalam perkembangan lebih lanjut, keberadaban yang dimkasud dalam konsep civil society tidak lagi hanya terbatas pada komunitas politik saja, melainknan juga keberadaban pada unsur dan asepk-aspek kehidupan manusia lainnya secara lebih menyeluruh.
Madani, adalah suatu terminologi atau istilah yang artinya beradab atau berbudaya. Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab atau berbudaya, dimana keberbudayaanya tersebut dicerminkan oleh tumbuhnya sikap saling menghormati, saling menghargai, ada toleransi sosial yang tinggi, intimitas sosial yang rapat, kerja sama yang saling menguntungkan, peduli satu sama lain sekalipun warga dari masyarakat tersebut terdiri atas berbagai ragam kelas, starta, suku, agama, ras maupun golongan. Dalam masyarakat madani tidak dikenal istilah mayoritas atau minoritas kaum, pribumi dan non pribumu. Kehidupan masyarakat madani tidak tersegresi oleh pengkotak-kotakan berdasar warna kulit, ras, suku maupun agama. Dalam konsep Islam , masyarakat madani digambarkan sebagai suatu rumah (household) yang berorientasi kepada nilai-nilai kabajikan umum dan keunggulan (Al khair). Misinya adalah menegakkan yang ma’kruf dan mencegah yang Munkar dan memelihara iman masyarakat.
Demikianlah penjelasan singkat tentang konsep masyarakat madani yang saya maksudkan dalam uraian saya di atas. Akankah kota Solo dapat mewujut dalam tataran masyarakat madani sebagaiana saya maksud diatas, adalah sangat tergantung pada kemauan segenap warga kota bersama para pemimpin untuk mewujutkannya. Satu kata kunci yang harus dipegang adalah Persatuan dan kesatuan warga, tanpa harus memandang ia siapa, ia suku apa atau ia dari mana. Cina ,Jawa Arab, atau sunda dalam kaca mata orang-orang madani adalah sama.

Child Growth and Developmental ( Pertumbuhan dan Perkembangan anak)


Drs, Soleh Amini Yahman . M.Si
Sejak berabad-abad yang lalu perhatian terhadap seluk beluk kehidupan anak sudah diperlihatkan, sedikitnya dari sudut perkembangan dan pertumbuhannya agar bisa mempengaruhi kehidupan anak kearah kesejahteraan yang diharapkan. Anak harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang baik yang bisa mengurus dirinya sendiri dan tidak bergantung atau menimbulkan masalah pada orang lain, pada keluarga atau masyarakatnya (Singgih, 1981).

Pengertian Perkembangan dan Pertumbuhan
Pengertian perkembangan menujuk pada suatu proses ke arah yang lebih sempurna. Proses perkembangan merupakan suatu perubahan ke arah yang lebih maju, dimana perubahan tersebut sifatnya menetap dan tidak dapat diputar kembali (Werner, 1969). Jadi istilah perkembangan lebih mencerminkan sifat khas mengeni gejala psikologis yang muncul. Sedangkan pengertian “pertumbuhan” lebih menujuk pada bertambahnya ukuran badan dan fungsi fisik yang lebih baik dan sempurna. Dalam hubunganya dengan perkembangan anak, faktor pertumbuhan fisik sangat besar sekali pengaruhnya. Sehingga dalam kajian psikologi perkembangan dan psikologi anak, istilah perkembangan dan pertumbuhan ini selalu digunakan secara bersama-sama, karena kedua istilah tersebut bersifat interaksionistis. artinya faktor perkembangan mempengaruhi faktor pertumbuhan, dan sebaliknya faktor pertumbuhan juga sangat mempengaruhi perkembangan. Misalnya bertambahnya fungsi otak akan mempengaruhi atau memungkinkan anak dapat tertawa, berjalan, berbicara, berjalan, berlari dan sebagainya. Dengan demikian kedua proses tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam bentuk yang murni berdiri sendiri-sendiri.
Pertumbuhan
Pertumbuhan ialah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat, dalam passage (peredaran waktu) tertentu. Dengan demikian pertumbuhan dapat diartikan pula sebagai proses tranmisi konstitusi fisik yang bersifat herediter/turun temurun dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan.
Hasil pertumbuhan antara lain berwujut bertambah panjangnya badan anak, tubuh bertambah berat, tulang-tulang menjadi lebih besar dan kuat, perubahan dalam sitem persyarafan dan perubahan-perubahan pada struktur jasmaniah lainya. Dengan begitu, pertumbuhan bisa disebut pula sebagai proses perubahan dan proses pematangan fisik.
Pertumbuhan jasmani berakar pada organisme yang selalu berproses untuk menjadi (the process of coming into being) . Jadi organisme merupakan sistem yang mekar secara kontinu yang selalu beroperasi atau berfungsi, juga bersifat dinamis dan tidak pernah statis secara komplit, kecuali kalau sudah mati.
Pertumbuhan jasmani ini dapat diteliti dengan mengukur 1) berat Badan, (2) panjang dan ukuran lingkaran lingkar kepala, lingkar dada, pinggul, lingkar lengan dan lain-lain.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan
1. Faktor Sebelum Lahir : Kekurangan nutrisi & vitamin pada ibu dan janin, janin tekena virus, keracunan sewaktu bayi ada dalam kandungan, terkena infeksi bakteri sypilis, terkena penyakit gabag, TBC, kholera, typus, gondok, sakit gula dan lain-lain.
2. Faktor ketika lahir : Intracranial haemorrahge atau pendarahan pada bagian kepala bayi yang disebabkan oleh tekanan dari dinding rahim ibu sewaktu ia dilahirkan . Defec pada susunan syaraf pusat karena kelahiran bayi dengan bantuan tang (tangverlossing)
3. Faktor Sesudah Lahir : Pengalaman traumatik pada kepala, kepala bagian dalam terluka karena bayi jatuh, infeksi pada selaput otak (cerebral miningitis, gabag, malaria tropika, dypteria , radang kuping berdarah dan lain-lain), Kekurangan gizi dan nutrisi. Semua penyebab tersebut di atas menyebabkan pertumbuhan bayi dan anak sangat terganggu.
4. Faktor Psikologis : Bayi ditinggalkan ibu, ayah atau kedua orang tuanya. anak-anak dititipkan pada institusinalia (rumah sakit, panti asuhan, yayasan perawatan bayi) dan lain-lain sebagainya sehingga mereka kurang sekali mendapatkan kasih sayang dan perawatan jasmaniah. anak-anaka tersebut mengalamai innanitie psikis atau kehampaan psikis, kering dari perasaan sehingga mengakibatkan retradasi/kelambatan pertumbuhan pada semua fungsi jasmaniah. Juga ada hambatan fungsi rohaniah, terutama sekali pada perkembangan intelegensi dan emosi.
Perkembangan .
Dalam pengertian sempit perkembangan dapat diartikan sebagai proses pematangan fungsi-fungsi yang non fisik. Perkembangan tidak berlangsung secara mekanistis otomatis, sebab perkembangan tersebut sangat bergantung pada beberapa faktor secara simultan yaitu :
1. Faktor herediter (warisan keturunan/bawaan lahir)
2. Faktor lingkungan
3. Kematangan fungsi-fungsi organis dan fungsi-fungsi psikis
4. Aktivitas anak sebagai subyek bebas yang berkemauan
Dengan kata lain perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam passage waktu tertentu menuju kedewasaan. Oleh karena itu perkembangan dapat pula diterjemahkan sebagai proses tranmisi dari konstitusi psiko-fisik yang herediter, dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan dalam perwujutan proses aktif menjadi secara kontinue.
Setiap fenomena/gejala perkembangan anak merupakan produk dari kerja sama dan pengaruh timbal balik antara potensialitas hereditas dengan faktor-faktor lingkungan. Jadi perkembangan itu merupakan produk dari :
1. Pertumbuhan berkat pematangan fungsi-fungsi fisik
2. Pematangan fungsi-fungsi psikis
3. usaha “belajar” oleh anak dalam mencobakan segenap potensialitas rohani dan jasmaniahnya.
II. Teori Dinamisme Perkembangan.
pakah sebenarnya daya dinamis yang mendasari perkembangan anak, sehingga anak mau aktoif berekperimen, mencobakan segenap kemampuan dan selalu mencari pengalaman baru ?
Menurut teori dorongan , segenap tingkah laku anak itu dirangsang dari dalam, yaitu oleh dorongan-dorongan dan insting-insting tertentu guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Jika kebutuhan-kebutuhan yang vital biologis maupun yang sosio kultural tersebut tidak terpenuhi, maka akan meninimbulkan ketegangan, iritasi dan frustrasi, sehingga terjadilah keadaan tidak seimbang pada dirinya (disequilibrium) . Maka motifutama dalam kehidupan manusia ialah usaha menghilangkan segenap ketegangan, iritasi dan frutrasi, guna mencapai keseimbangan/equilibrium kembali. Inilah yang mendorong semua kegiatan dan setiap perkembangan anak.
Teori Dinamisme Organisme ; mengatakan bahwa dalam organisme yang hidup ini selalu ada usaha yang positif. Organisme memiliki ‘mesin’, kapasitas dan impuls-impuls tertentu yang dipakai untuk memobilisir semua kemampuan agar berfungsi dan bisa dimanfaatklan. berasosiasi dengan pendirian tersebut, anak itu tidak hanya berusaha mempertahankan keseimbangan dirinya secara lahir bathin saja, akan tetapi justru mencari ketidakseimbangan. Dia ingin mencari pengalaman-pengalaman baru, mau berekperimen dan menjajahi arena asing, guna mencobakan potensinya, dan mengtes bakat kemampuannya. sebab, dalam unsur kehidupan itu selalu ada tenaga pendorong maju untuk bergiat, berubah dan berkembang.




Memahami Dunia AnakAnak : pengasuhan dan pendidikan anak usia dini


Soleh Amini Yahman
Pendahuluan
Anak-anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini, anak adalah seorang individu dengan ciri-ciri khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu dalam mensikapi atau menghadapi perilaku seorang anak harus pula dibedakan dengan cara-cara kita dalam menghadapi orang dewasa. Anak-anak mempunyai dunianya sendiri yang khas, yang sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan dunia orang dewasa.
Untuk memahami hakekat diri manusia, harus dimulai dari pemahaman tentang awal mula eksistensi (keberadaan ) diri manusia itu sendiri, yaitu memahami bagaimana kehidupan dunia anak-anak. Impresi dari masa kanak-kanak sangat mempengaruhi proses pembentukan dan pengembangan kepribadian (personality Building) , karakter, social attitude, dan konsep diri (self concept). Pengalaman yang diperoleh anak pada masa kanak-kanaknya (childhood) akan menjadi dasar bagi pengembangan dan pembentuan kepribadian pada saat anak telah menjadi dewasa. Pengalaman yang pernah dialami pada masa lalu (khususnya pada masa anak-anak) pada hakekatnya masih melekat pada diri individu sekalipun individu tersebut telah dewasa.


Sampai pada tingkatan tertentu , manusia dewasa adalah merupakan produk dari pemeliharaan dan pembentukan dari pengalaman yang diperoleh pada masa kanak-kanak. Sehingga , sekalipun si anak telah menjadi dewasa , unsur-unsur kekanak-kanakan itu masih melekat pada diri individu. Sekuat apapun kita berusaha untuk melepaskan unsur anak-anak tersebut pada usia dewasa/tua, dunia anak-anak itu tetap akan memberi stempel yang jelas pada kepribadin kita sekarang. Dengan begitu masa kanak-kanak pada hakekatnya merupakan suatu bagian yang sangat esensial dari eksistensi setiap diri manusia. Oleh sebab itu pengertian dan pemahaman tentang “being” atau kehidupan anak-anak akan sangat bermanfaat bagi pemahaman tentang hakekat manusia pada umumnya , sehingga kita dapat secara adaptif dan adekwat dalam memberikan pengasuhan, bimbingan dan pendidikan kepada anak-anak .
Masa Kanak-Kanak 1 - 5 Tahun
Usia 1 tahun hingga usia 5 tahun adalah merupakan usia primer (primery old) yaitu masa dimana anak mengalami proses tumbuh kembang dengan sangat cepat. Namun dibalik dinamika pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat tersebut, usia 1 sampai 5 tahun juga sangat rentan kemungkinan terjadinya benturan-benturan piskologis maupun fisis. Sebagian ahli menyebut usia 1 – 5 tahun adalah sebagai ‘usia emas” atau the golden age., sedang sebagian ahli yang lain menempatkan usia 1 – 5 tahun sebagai usia dini.
Tindakan pengasuhan, pendidikan dan perawatan terhadap anak usia dini sangat berbeda dengan tindikan pengasuhan, pendidikan pada anak usia remaja apalagi dengan orang dewasa.. Titik tekan pengasuhan pada usia dini adalah pada aspek pengembangan psikologisnya (developmental)-nya. Asek psikologis yang sangat diperlukan untuk diperhatikan adalah aspek kemampuan “belajar sosial” atau social learning proces. Yaitu aspek kemampuan berimitasi, beridentifikasi dan bersosialisasi atau playing. Namun demikian tentu saja pengasuhan pada aspek fisik, seperti ketercukupan gizi, kebersihan, dan kesehatan juga harus diperhatikan dengan baik. Lebih baik sekali jika program pengasuhan pada usia dini dapat ditangani secara langsung oleh Ibu kandung dan pemberian ASI ekslusif sampai minimal 6 bulan kemudian dilanjutkan pemberian ASI lanjutan sampai usia 2 tahun.
Terkait dengan pola pengasuhan, pembinaan dan pendidikan pada anak-anak usia dini, ada beberapa hal yang sangat urgen untuk dipahami oleh para orang tua (ibu dan bapak). Hal hal tersebut adalah tentang bagaimana naluri dan kemampuan pengenalan pertama anak, dan sifat-sifat/karakter awal yang dimiliki anak. Karakter artau sifat dasar ini diantara yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sifat egosentrisme anif dan sifat fisiognomi anak terhadap dunia di sekitarnya.
A. Naluri dan Pengenalan Pertama
Ketika dilahirkan ke dunia, seorang anak manusia hanyalah bagaikan seonggok daging hidup yang sama sekali tidak berdaya. Fungsi jasmaniah dan rohaniah-nya sama sekali belum berkembang dengan sempurna. Namun karena kelemahan dan ketidakberdayaannya inilah, anak manusia mempunyai kemungkinan untuk survive melangsungkan kehidupannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Berbeda dengan anak binatang, mereka dilahirkan dalam keadaan serba sempurna. Anak ayam begitu menetas dari telurnya sudah bisa mencari makan sendiri. Anak sapi begitu lahir langsung bisa berdiri dan berlari, demikian pula dengan anak macan, begitu lahir langsung bisa ke sana kemari mecari mangsa buruannya. Sepintas, menjadi anak binatang tampak lebih beruntung daripada menjadi anak manusia . Namun sesungguhnya kelengkapan yang dimiliki oleh anak-anak binatang tersebut justru menjadikan mereka tidak bisa mengembangkan nalurinya, sehingga kemampuan binatang tidak bertambah banyak. Beroperasinya hanya untuk mengekalkan semua naluri dan kemampuan yang sudah ada, jadi perkembangan naluri pada binatang itu bersifat konservatip, tidak progresif sebagaimana pengembangan naluri pada anak-anak manusia. Kepandaian binatang dibatasi oleh naluri yang sudah fixed tetap. Sebaliknya anak manusia tidak diikat oleh naluri yang sudah fixed tetap, sehingga anak manusia bisa mengembangkan kemampuan dan kepandainnya sampai batas maksimal.
Anak manusia tumbuh berkembang dituntun oleh “Akal Budi” yang dia peroleh melalui proses belajar selama masa pertumbuhan dan perkembangnnya. Ia melihat, mendengar, merasakan dan kemudian mencoba dan akhirnya menjadi bisa dan terbiasa. Itulah yang disebut social learning proces yang dilakukan secara imitatif maupun identifikatif. Dengan akal budi inilah terlahir suatu konsep totalitas afektif konatif dan kognitif, yang disebut kebudayaan. Dengan kebudayaan tersebut anak manusia sanggup menyesuaikan diri di dalam lingkungan hidupnya sehari-hari, dan bahkan mampu merubah lingkungan sekitarnya sehingga ia menemukan kenyamanan hidupnya.
B. Usia 1 - 5 Tahun
Dalam tahun pertama proses perkembangan dan pertumbuhannya, anak akan cepat mengenali lingkungan tempat tinggalnya. Namun pengenalan tersebut serba tidak lengkap dan belum terperinci . Pengertian dan pengenalanya terhadap lingkungan masih banyak dipengaruhi oleh aktifitas orang dewasa, ia masih dibatasi oleh rasa belum sadar. Sehingga dalam melihat dan mengenali lingkungan masih dilakukan dengan cara primitif atau sederhana. Pengamatan yang demikian ini dalam istilah psikologi anak disebut sebagai complek qualita, artinya pengamatannya merupakan satu totalitas. Anak belum bisa membedakan bagian dengan detailnya.
Periode uisa 1 sampai 5 tahun dalam masa tumbuh kembang anak disebut sebagai “tahun kuartal pertama penuh kebodohan” . Masa tersebut akan dibatasi atau diakhiri dengan masa menentang pertama. Pada masa penentangan ini berlangsung, anak-anak mulai mengenal konsep AKU. Ia mulai mengerti dirinya dan menyadari adanya perbedaan dirinya dengan orang lain. Dari sinilah anak akhirnya menemukan pengertian baru terhadap dunia yang penuh dengan realitas.
Menurut Konsep teori dalam psikologi anak, beberapa ciri khas pada masa kanak-kanak dapat diuraikan sebagai berikut :
Bersifat Egosentrisme Naif
Egoisme dan Egosentrisme adalah dua terminologi yang sering dikacaukan pemaknaannya. Kedua istilah tersebut sangat berbeda artinya. Oleh karena itu untuk menghindari kerancuan penggunaannya, maka terlebih dahulu harus dijelaskan arti dari kedua istilah tersebut.
Jika seseorang dengan sadar selalu menuntut agar semua orang yang ada disekelilingnya mau melayani dan mengikuti setiap kehendaknya, lagi pula semua perbuatannya tersebut didasarkan atas pertimbangan untung rugi (khususnya untuk keuntungan pribadi), maka orang yang demikian tersebut disebut egoistik atau egois. Dengan kata lain egos atau egoistik adalah paham yang mementingkan dirinya sendiri.
Egosentrisme adalah merupakan sifat bathin yang dimiliki seseorang sebagai pembawaan yang berlangsung secara tidak disadari oleh anak atau individu . Seorang anak yang egosentris memandang dunia luar dari pandangannya sendiri sesuai dengan dunia pemahaman nya yang masih sempit. Perbuatan dan tindakan yang dilakukan masih sangat terpengaruh oleh perkembangan akal budinya yang masih sederhana, sehingga ia tidak mampu menyelami perasaan dan fikiran orang lain. Ia belum mampu menempatkan ke dalam kehidupan bathiniah orang lain. Dengan begitu egosentrisme pada umumnya terdapat pada anak-anak kecil. Sebab secara naif dia sangat terikat pada dirinya sendiri. Ia belum mampu memisahkan dirinya dengan lingkungannya. Sikap egosentrisme naif ini bersifat temporer dan senantiasa dialami oleh setiap anak dalam proses tumbuh kembangnya.
Relasi sosial Yang Primitif
Sebagai akibat dari sifat egosentrisme yang naif tersebut, maka relasi sosial dengan lingkungannya masih sangat longgar. Hal ini disebabkan anak belum sadar menghayati kedudukan dirinya dalam suatu lingkungan tertentu. Sehingga dunia sekitar anak belum bisa tampil sebagai satu kesatuan obyektif tersendiri. Oleh karena itulah ikatan sosial yang muncul dalam relasi sosial masih sangat simpel dan primitif. Dalam diri anak belum tumbuh kesadaran kesadaran dan pengertian akan adanya orang lain dan benda-benda lain yang berbeda dengan dirinya. Ringkasnya kehidupan individual dan kehidupan sosial belum terpisahkan oleh anak. Anak cuma bisa meminta benda-benda dan peristiwa yang sesuai dengan dunia fantasinya dan dunia keinginannya. Anak membangun dunianya sesuai dengan khayalan dan keinginannya.
Kesatuan Jasmani dan Rohani Yang Tak Terpisahkan
Dalam fase kehidupan pertama ( 1 sampai 5 tahun), dunia lahiriah dan bathiniah anak masih belum terpisahkan. Artinya anak belum dapat memahami perbedaannya . Isi lahiriah dan isi bathiniah masih merupakan kesatuan yang bulat. Oleh karena itu penghayatan anak diekpresikan secara spontan dan jujur dalam setiap mimik, gerakan, tingkah laku dan bahasanya. Anak tidak bisa berbohong atau bertingkah laku berpura-pura. Anak menampilkan kehidupan bathiniahnya secara terbuka. Oleh karena itu pribadi anak tampak polos,jelas pada tingkah laku lahiriahnya.
Anak Bersifat Fisognomis terhadap Dunia Sekitarnya
Anak bersifat fisiognomi, artinya anak secara langsung memberikan atribut atau pensifatan lahiriah atau material pada setiap proses penghayatannya. Peristiwa demikian ini disebabkan oleh pemahaman anak secara totaliter tentang kesatuan jasmani dan rohani. Juga disebabkan oleh perkembangan jiwanya yang awal. Anak tidak bisa membedakan antara benda yang hidup dan benda yang mati. Segala sesuatu disekitarnya dianggap berjiwa, sebagai bentuk mahluk yang hidup yang memiliki badan dan roh sekaligus seperti halnya dirinya sendiri. Oleh karena itu anak-anak sering kita lihat bercakap-cakap dengan kucing, bercanda dengan kelincinya, bertutur kata dengan bonekanya, mainan dan benda -benda lainnya. semua benda di sekitarnya disamakan dengan dirinya, dan dia juga mengira bahwa semua benda itu sepandai dan setaraf dengan kemampuan dirinya. Oleh karena itu dalam kontek psikologi anak, periode 1 sampai 5 tahun ini juga sering disebut periode estetis. Pada periode ini, perkenalan dan komunikasinya dengan dunia luar bercorak sangat aktif, karena diwarnai dengan emosi-emosi yang kuat.
Masa Kritis Dan Masa Penentangan Anak
Perkembangan anak yang masih sangat muda sangat tergantung pada pemeliharaan dan bantuan orang dewasa terutama ibunya. Setelah mengalami masa ketergantungan mutlak pada ibunya, anak-anak yang berumur 4 - 5 tahun mulai ingin melepaskan diri dari pengaruh wibawa ibunya. Pada saat itu anak mulai sadar dan mengenal AKU -nya atau egonya, serta mulai mengenal dan sadar akan tenaga dan kemampuan dirinya sendiri. Anak mempunyai keinginan untuk mandiri dan mau bertingkah laku menurut kemauan diri sendiri. Ia beranggapan bahwa ia tidak lagi memerlukan bantuan ibunya lagi dan mau berbuat semaunya sendiri. Anak mulai tegar dan keras kepala, juga tidak patuh terhadap perintah ibu maupun gurunya. Anak tidak suka diperintah dan tidak suka aturan-aturan yang mengikat. Oleh penemuan “Aku”nya itulah kemudian timbul kecenderungan untuk memberontak terhadap ibunya. Periode ini disebut sebagai masa menentang atau Trotzalter Pertama , disebut pula sebagai fase negatif . Fase ini biasanya akan berlangsung selama 10 bulan. Timbulnya tanpa sebab-sebab tertentu dan akan hilang atau merda dengan sendirinya. Pada masa ini biasanya akan timbul dorongan yang sangat kuat untuk menuntut pengakuan dirinya. Kemauannya harus dituruti, emosinya sering meluap-luap disertai dengan agresi yang kuat terutama kalau keinginannya tidak dituruti.

AGRESI MANUSIA DALAM POLITIK (ANALISA TEORITIS TENTANG PERILAKU KEKERASAN DALAM POLITIK


Pendahuluan
Yang diketahui banyak orang (khususnya orang kebanyakan ) politik itu selalu berhubungan dengan kekuasaan . Karena itu, dalam pelaksanaannya , kegiatan politik selain memiliki segi-segi positip , juga mengandung segi-segi negatip . Menurut David E Apter1, politik merupakan cerminan tabiat manusia , baik tabiat yang berlandaskan naluri yang baik maupun nalurinya yang buruk. Karena itu , Peter H Merkl dalam comunity and change 2, menyatakan politik dapat menjelma menjadi selsifh grap for power ,glory and riches (suatu perebutan kekuasaan , kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri). Bagaimana caranya memperebutkan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan itu ? Di sinilah kemudian muncul apa yang disebut taktik, strategi , dan rekayasa untuk mempertahankan kesemuanya


Ketika kita mengartikan politik sebagai cara untuk memperoleh atau mendapatkan dan mempertahankan suatu kekuasaan sebagaimana disebut di atas, maka ketika itu pulalah kita ikut melegalkan cara-cara kekerasan atau penindasan sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan. Bila konsep ini yang berkembang maka tindakan kekerasan akan berlangsung dalam kehidupan manusia sepanjang masa. Sebab dalam perspektif politik, perilaku politik akan berlangsung secara terus menerus sejalan dengan berlangsungnya pertumbuhan dan perkembangan kehidupan umat manusia. Dengan kata lain perilaku politik akan senantiasa mewarnai kehidupan umat manusia. Bila benar kekerasan adalah salah satu alat politik dalam mencapai tujuan politiknya, maka akan benarlah apa yang menjadi cara Machievelli yang menyatakan “tujuan menghalalkan segala cara” yang berarti tujuan harus dicapai dengan segala cara, termasuk dengan tindak kekerasan, penindasan, horor atau bahkan terorisme yang kesemua tindakan-tindakan tadi merupakan perwujutan dari perilaku agresif manusia. Dengan demikian tidak ada orang yang dapat membantah bahwa agresifitas manusia tidak akan dapat dilenyapkan dari muka bumi ini, karena agresifitas memang merupkan bagian dari kehidupan politik dan konon merupakan bagian dari sifat paling hakiki dari manusia itu sendiri.
Mengapa dan apa bukti empiris bahwa agrsisifitas adalah merupakan salah satu sifat hakiki dari manusia ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita simak ilustrasi berikut ini : Ketika seorang anak belum bisa berbicara , ia sudah menjerit-jerit kuat-kuat untuk menyatakan kemarahannya ketika mainannya atau hal yang disukainya diambil oleh ibunya atau orang lain. Waktu anak itu sudah berumur 7 atau 9 tahun dia sudah mulai berkelahi dengan anak tetangga (temannya) ketika memperebutkan layang-layang yang putus, dan selanjutnya ketika dia berusia 40 tahun dan sudah menjadi kepala bagian di sutu kantor instansi pemerintah , ia masih saja suka marah-marah (agresi verbal) terhadap staf atau anak buahnya.
Dari ilustrasi sederhana tersebut kita bisa melihat bahwa agresifitas manusia akan berlangsung sejalan dengan keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Dari sini timbul pertanyaan apakah perilaku agresi itu bersifat instingtif naluriah ataukah sebagai suatu perilaku yang dipelajari.
Sebagai kelompok sosial, suku atau bangsa, manusia terus menerus bertingkah laku agresif satu sama lain. Bentuk dan perilaku agresif tadi bermacam bentuk dan ragamnya. Mulai dari bentuk agresi yang destruktif ( merusak, menyerang, menyakiti) sampai agresi yang hanya berupa kata-kata (agresi verbal). Perilaku agresi yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya tadi dilatarbelakangi oleh berbagai alasan dan kepentingan. Tengoklah misalnya perkelahian ‘intelktual’ yang terjadi antar pelajar di Jakarta , demontrasi mahasiswa yang memprotes kondisi kehidupan politik di Indonesia, peristiwa-peristiwa kerusuhan massal di berbagai daerah di Indonesia pada pra pemilu maupun pasca Pemilu 1997, perang teritorial di Timor-timur, perang antar etnis di negeri bekas Yogoslavia (Bosnis-serbia), perang antara bangsa Palestina dengan Israel di Timur Tengah, pembunuhan massal atas anak-anak dan pria-pria tak bersenjata di kamp-kamp pengungsi di Sabra, Shatila Lebanon pada tahun 1987, juga tragedi pembantaian tujuh jendral pada tanggal 30 september 1965 oleh PKI di Indonesia. Tengoklah pula bagaimana Kota Jakarta dan Kota Solo yang membara pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Bagaimana 14 nyawa mahasiswa melayang dibantai aparat keamanan ketika sidang istimewa digelar di Jakarta. Agak kebelakang sedikit simaklah pula bagaimana hebohnya kekacuan dan krisis politik di Timur Tengah (khsusunya antara bangsa Israel dan Palistina) dalam memperebutkan otoritas di negerinya sendiri, pergolakan politik di negeri-negeri Afrika tengah seperti kasus perang Etnis di Zaire antara suku Tutsi dan suku Hutu, perang etnis di Rwanda, peperangan di Chechnya, pertempuran di Afganistan antara pasukan Taliban dan pasukan pemerintah, gejolak rasis di India, krisis politik di Thailand, juga perang saudara antara para pejuang Bougenvile dan tentara pemerintah di Papua Nugini serta berbagai kerusuhan -kerusuhan sosial politik yang akhir akhir merebak di tanah Indonesia tercinta ,serta gejolak perang di kota Brazzaville Kongo antara pasukan militer pimpinan Denis Sassou Nguesso dengan pasukan pemerintah yang setia kepada Presiden Kongo Pascal Lissouba pada pertengahan Oktober 1997 yang lalu dan banyak lagi peristiwa agrsifitas yang berlatar belakang politik lainnya yang tidak sempat tercover dalam makalah ini.
Peristiwa-peristiwa tersebut di atas barulah sedikit contoh riil dari sekian banyak peristiwa agresi manusia terhadap manusia lain yang terjadi di muka bumi ini. Tampaknya terlalu banyak untuk menyebut semua peristiwa agresi manusia di muka bumi ini. Yang jelas tindakan agresi atau kekerasan manusia bisa terjadi mulai dari sebab atau hal yang sepele (misalnya perkelahian antar pemuda dari desa A dengan sekelompok pemuda desa B hanya karena senggolan di pesta dangdut), hingga agresifitas yang berlatar belakang “nations” atau perasaan kebangsaan (misalnya agresifitas kelompok pejuang Hamas Palestina dengan intifada dan Bom bunuh diri-nya yang ditujukan kepada bangsa Israel).
Dari sini timbul pertanyaan mendasar sekali “ mengapa sih manusia melakukan itu semua, apa yang diharapkan dari semua tindakan itu , apa yang akan mereka peroleh dari semua itu ?” . Untuk menjwab pertanyaan yang nampaknya sederhana itu para ahli harus melalui debat panjang dengan berbagai teori dan paradigma.
Para ahli sosiologi cenderung melihat fenomena kekerasan tersebut sebagai akibat terjadinya disfungsi lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat sehingga sisitem sosial yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya ( Surjono Sukanto, 1992). Sementara itu Herbert L. Petri (1981) menjelaskan fenomena di atas dengan teori motivasi. Menurutnya semua tindakan manusia itu di gerakkan atau dilandasi oleh suatu motivasi-motivasi terentu. Tidak ada perilaku yang tidak mempunyai motivasi, sekalipun barangkali motivasi tersebut tidak disadari oleh pelakunya. Mengutip pendapat Abraham Maslow, Petri sebagaimana di tulis dalam bukunya yang berjudul Motivation : Theory and research, ia menjelaskan, bahwa bisa jadi perilaku agresif itu dilakukan oleh manusia guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosialnya, seperti misalnya kebutuhan memperoleh pengakuan dari kelompoknya, kebutuhan agar diterima secara sosial dalam kelompoknya atau mungkin untuk memperoleh rasa aman dari ancaman, mempertahankan harga diri pribadinya atau kelompoknya atau bahkan sebagai upaya untuk melakukan aktualisasi dirinya. Sedangkan menurut Dollard (dalam Ancok 1996) orang melakukan tindakan agresif terhadap suau obyek itu didorong oleh suatu rasa frustrasi karena seseorang gagal atau tidak berhasil memenuhi keinginannya. Karena kegagalannya inilah orang melakukan tindakan agresif terhadap obyek-obyek tertentu sebagai bentuk kompensasi atau displacement atas rasa kekecewaannya. Sedangkan menurut Bandura (dalam Yapsir , 1994) mengemukakan fenomena tindakan perilaku agresif tidak terjadi begitu saja tetepi melalui proses belajar secara sosial, terutama melalu mekanisme imitasi. Secara lebih ekstrim lagi Freud dalam teori “drive theori” (dalam Petri, 1981) mengemukakan dalam diri manusia itu terdapat dua dorongan (drive) dasar , yaitu dorongan untuk hidup (Eros) dan dorongan untuk mati/merusak (tanatos). Dorongan tanatos inilah menurut Freud yang merupakan biang keladi terjadinya ‘destruktive drive’ yang menyebabkan seseorang itu melakukan tindakan agresif yang merusakkan. Dengan tindakannya tersebutlah individu merasa puas dan bahagia.
Terlepas dari teori-teori tersebut di atas yang memprihatinkan dari fenomena tindak kekerasan dan agresi manusia itu adalah adanya kecenderungan makin banyaknya pihak yang melembagakan agresi dan mengesahkan/melegitimasi agresi sebagai instrumen bagi pencapaian-pencapaian tujuan politik tertentu (misalnya makin berkembang biaknya industri pembuatan senjata perang). Dan celakanya lagi secara sadar atau tidak sadar, saat ini berbagai bentuk “kill project” yang menelan biaya milyaran dollar tidak kunjung henti dijalankan oleh para pimpinan sipil maupun militer yang lapar pengaruh dan haus kekuasaan dengan dibantu oleh para industriawan yang serakah serta para ilmuwan yang tidak bermoral untuk menciptakan senjata pemusnah kehidupan manusia. Sementara itu, tidak sedikit orang-orang dari belahan dunia ini yang terengah-engah dan merintih rintih menahan rasa lapar dan sakit sebelum akhirnya menerima kematian dengan mengenaskan karena kekurangan gizi. Atau mereka mati karena tidak tahan menahan rasa kesakitan yang luar biasa karena terkena ranjau darat sisa-sisa peperangan, sebagaimana banyak bertebaran di tanah seribu pagoda “Kambodia” yang belum lama tersembuhkan dari perang antar faksi (faksi Norodom Ranaridh dan faksi Hun Sen).
Tampaknya ketamakan dan keserakahan menjadi pupuk yang menyuburkan untuk men-tradisi-kan agresi dan tindakan kekerasan manusia terhadap manusia lainnya. Konon menurut suatu penyelidikan yang dilakukan oleh komisi rehabilitasi pasca perang dunia II , dari tahun 1820 hingga tahun 1945 diperkirakan tidak kurang dari 59 juta nyawa manusia melayang sia-sia akibat tindakan sesama manusia. Dari jumlah tersebut, lebih separuhnya adalah korban yang jatuh dalam peperangan, sedangkan sisanya merupakan korban perkelahian, penganiayaan, perampokan, agresi seksual dan berbagai bentuk agresi lainnya. Di samping itu tidak terhitung pula berapa banyak korban yang terhindar dari kematian, tetapi menderita fisik maupun psikis, atau berapa banyak kerugian materi yang ditimbulkan oleh berbagai bentuk agresi itu.

Arti, Pengertian dan Definisi.
I
stilah “agresif” adalah merupakan kata sifat dari agresi. Dalam kehidupan sehari-hari istilah agresi atau agresif ini sudah dipergunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku yang memiliki dasar motivasional yang berbeda-beda dan sama sekali tidak mepresentasikan agresi atau tidak bisa disebut agresi dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebagai contoh, seorang pemuda yang ‘aktif’ mendekati seorang gadis yang disukainya disebut agresif, seorang tenaga pemasaran real estate yang gencar mengejar calon konsumennya juga disebut agresif, demikian pula ketika Udin (wartawan Bernas) gigih mengejar sumber beritanya juga disebut agresif. Di pihak lain terdapat sebutan-sebutan anak yang agrsif, orang gila yang agresif, tentara yang agresif dan sebagainya.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, penggunaan istilah agresif masih sangat simpang siur dan tidak konsisiten dalam menguraikan diskripsi tingkah laku agresif, sehingga tingkah laku yang termasuk ke dalam kategori agresi menjadi ambigu atau kabur dan karena itu menjadi sulit bagi kita untuk memahami apa dan bagaimana sesungguhnya yang disebut tingkah laku Agresif atau agresi itu .
Robert Baron (1997) menyebut agresi sebagai tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Dari definisi yang sederhana itu dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa perilaku agresi yang tidak dikehendaki oleh individu lain tersebut akan bisa menimbulkan konflik antar dua individu atau lebih dan akibatnya bisa menimbulkan perilaku agresi yang lebih dahsyat lagi.
Sementara itu Leonard Berkowitz (1969) mengindikasikan tingkah laku agresi sebagai salah satu bentuk emosi yang bisa mengarah kepada tindakan agresif destruktif. Berkowitz membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yaitu agresi instrumental (instrumental aggression) dan agresi benci (hostile aggression) atau disebut juga sebagai agresi impulsif (impulsive aggression).
Yang dimaksud sebagai agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh individu tertentu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan agresi benci atau agrsi impulsif adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korbannya.
Eliot Aronson (1972) mengajukan definisi agresi dalam pengertian yang tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Baron maupun Berkowitz sebelumnya. Menurutnya agresi adalah tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Moore dan Fine (1968) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek tertentu.
Bila kita sepakat dengan empat pengertian dan definisi tentang agresi tersebut di atas maka kita sepakat untuk menggunakan konsep teori tadi dalam melakukan pembahasan dan pengkajian terhadap perilaku agresi manusia dalam politik sebagaimana tertulis di bawah ini.

Perang Sebagai Manifestasi Perilaku Agresi
Manusia Dalam Politik.
P
olitik dalam pengertian umum adalah sangat luas sekali, hampir semua perilaku manusia yang berhubungan dengan unsur pemerintahan dan kekuasaan negara dapat disebut sebagai perilaku politik. Membayar pajak adalah tindakan politik, memperingati hari pahlawan 10 Nopember adalah perilaku politik, memberikan suara pada pemilu adalah perbuatan politik, ikut kampanye pemilu juga tindakan politik , Demontrasi mahasiswa juga politik, bahkan memasang bendera merah putih sekalipun adalah tindakan politik juga . Oleh karena luasnya manifestasi perilaku politik itulah maka dapat dikatakan hampir semua perbuatan manusia yang berhubungan dengan kekuasaan dan pemerintahan serta nilai-nilai kebangsaan dapat disebut sebagai perbuatan politik.
Karena sebegitu luasnya pengertian perilaku politik itulah maka dalam pembahasan ini penulis membatasi pengertian politik sebagai politik praktis dalam arti politik sebagai suatu sistem atau cara dalam memperoleh, mendapatkan, merebut dan mempertahankan suatu kekuasaan atau legitimasi atas suatu kekuasaan atas sekelompok orang, masyarakat, bangsa , pemerintahan atau negara. Pembatasan yang penulis berikan memang mengundang konotasi yang negatif atas terminologi politik ini. Penulis sengaja menggunakan istilah “mendapatkan, memperoleh, merebut dan mempertahnakan” dalam makalah ini dengan tujuan untuk menekankan bahwa politik itu adalah salah satu bentuk perbuatan agresif destruktif, bukan sebagaimana pengertian perilaku politik dalam arti yang sangat luas sebagaimana sudah penulis kemukakan di muka tadi, dan salah satu bentuk perilaku politik yang agresif destruktif dalam rangka memperoleh, mendapatkan dan merebut serta mempertahankan kekuasaan tadi adalah perilaku “P E R A N G”.
Suatu peperangan biasanya dilatarbelakngi oleh faktor-faktor politik yang berhubungan dengan kekuasaan dan otoritas kenegaraan.

Perang : Perilaku Agresi Yang di Lembagakan
M
anusia sesungguhnya mempunyai sikap ambivalens terhadap perilaku agresi. Hal ini terbukti dari fakta bahwa di satu pihak manusia mengutuk dan merasa terancam oleh agresi sesamanya, di lain pihak manusia tidak pernah berhenti mengupayakan usaha-usaha mempersenjatai diri, memperluas pengaruh dan kekuasaan. Lebih daripada itu, manusia juga cenderung melembagakan agresi yang dilembagakannya itu untuk mencapai pemecahan masalah-masalah politis yang dihadapinya atau bagi pengusahaan perluasan pengaruh dan kekuasaan yang diinginkannya.
Untuk mendukung statment sebagaimana penulis kemukakan tersebut, patut kiranya disimak laporan tahunan dari “The Militery Balance” yaitu sebuah laporan tahunan yang dikeluarkan oleh International Institute For Strategic Studies (IISS) yang berpusat di London Inggris pada hari selasa tanggal 14 Oktober 1997 yang menyatakan hal hal sebagai berikut : Meskipun perang dingin sudah usai namun produksi senjata terus melimpah dan mengalir ke berbagai belahan dunia. Negara-negara timur, misalnya, tercatat sebagai pasar senjata terbesar kedua di dunia. Sementara Arab Saudi merupakan importir senjata terbesar di dunia, sedangkan ekportir senjata terbesar adalah Amerika serikat. Menurut laporan tersebut, belanja pertahanan negara-negara di Asia Timur meningkat sebesar tujuh persen pada tahun 1994-1996. Adapaun penjualan senjata- senjata ke negara-negara Asia timur mencapai 23 persen dari penjualan senjata di pasar senjata dunia . Negara-negara Asia timur yang disebut sebagai sangat ambisius dalam program modernisasi persenjataan adalah Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Cina masing-masing mengimpor senjata senilai lebih dari satu milyard dollar pada tahun 1996. Jepang dua milyard dollar, Cina 1,5 milyard dollar, taiwan 1,3 milyard dollar dan Korea Selatan sebesar 1,1 milyard dollar.
Menurut survai yang dilakukan oleh IISS itu, negara Asia yang paling cepat melonjak dalam mengimpor senjata adalah Indonesia dengan nilai impor dari 170 juta dollar dalam setahun menjadi 700 juta dollar dalam setahun (1996). Negara ASEAN lainnya, selain Indonesia yang juga tercatat sebagai pengimpor senjata adalah Thailand (700 juta dollar) , singapura (400 Juta dollar) dan Malaysia (350 juta Dollar)
Untuk wilayah Timur Tengah, “The Military Balance” menyebutkan negara-negara di Timur Tengah dan negara-negara di Afrika Utara mengimpor hampir 40 persen penjualan senjata dunia dengan nilai pembelanjaan mencapai 15 milyar dollar karena terdongkraknya lagi kenaikan harga minyak. Arab Saudi misalnya , telah menerima sistem pertahanan pesanan mereka senilai sembilan milyard dollar. Pesanan yang telah mereka terima itu antara lain 72 pesawat tempur F-15 buatan AS, 48 pesawat tempur Tornado dan 20 pesawat latih jenis Hawk dari inggris.
Jumlah uang yang dibelanjakan oleh Arab Saudi untuk belanja pertahanannya itu tiga kali lipat yang dibelanjakan Mesir yang menempati peringkat ke dua sebagai negara importir senjata. Negara Timur Tengah lainnya yang tercatat sebagai importir senjata adalah Kuwait (1 milyard dollar) dan Israel sebesar 900 juta dollar.
IISS melaporkan , Amerika Serikat (AS) selama ini tercatat sebagai pengekspor senjata terbesar di dunia. Tahun lalu , nilai eksport senjata AS tercatat 17 milyar dollar. dengan nilai eksport sejumlah itu, AS menyumbangkan 4,2 persen bagi pasar senjata dunia. Tempat kedua negara pengekspor senjata terbesar di dunia ditempati oleh negara Ingrish, dengan nilai eksport sebesar 8,8 milyar dollar atau menyumbangkan 22,1 persen pasar senjata dunia. Tempat ketiga ditempati oleh Perancis dengan nilai eksport 5,6 milyard dollar atau 14,1 persen pasar senjata dunia. Rusia, yang pada zaman Uni Sovyet merupakan pemasok senjata terbesar dunia, tahun lalu ‘hanya’ tercatat mengeksport perlengkapan militer senilai 3,4 milyar dollar. Sumbangannya kepada pasar senjata pun anjlok dari 35 persen menjadi 8,6 persen. Sedangkan Cina merupakan salah satu negara pembeli perlengkapan militer Rusia, tahun lalu Cina menerima 24 peswat Sukhoi-SU/24 dan tahun 1997-1998 masih akan menerima dua lagi kapal selam 636-kilo (sumber : Kompas Edisi 15 /10/97) .
Laporan tersebut menjadi bukti Ambivalensi manusia terhadap agresi sebagaimana telah disinggung di muka. Berbeda dengan tataran perang yang berlangsung pada masarakat primitif pada masa lalu (maupun masa sekarang yang berada di daerah pedalaman), pada masyarakat bangsa-bangsa modern, perang adalah tingkah laku sosial yang komplek. Sebab peperangan modern melibatkan lebih banyak aspek dan berinteraksi tidak hanya dengan situasi sosial politik ekonomi regional, tetapi juga dengan situasi soisal politik dan ekonomi global. Hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa ketegangan dan dampak ekonomi yang negatif dari perang Iran-irak (1980 - 1992), perang Iraq - Kuwait (1992) dan konlik Arab - Irael, tidak hanya dirasakan oleh rakyat dari kedua negara yang sedang ‘bertengkar’ itu saja, tetapi juga oleh masyarakat internasional. Bahkan negara Amerika Serikat yang konon merupakan negara yang paling kuat dan mapan di dunia , juga turut mengalami guncangan politik yang hebat yang timbul dari perang Iran-Iraq itu ketika sekandal penjualan senjata ke Iran (Iran Contra) terbongkar oleh dinas intelejen AS. Pada kasus konflik Arab - Israel (khususnya konflik Palestina - Israel) yang berlarut-larut, juga memberikan dampak kurang positip pada pemerintahan Amerika serikat, karena dalam mensikapi konflik ini Amerika Serikat di nilai menggunakan standart ganda, dimana sikap Amerika Serikat tersebut banyak dinilai oleh pengamat politik sebagai suatu yang menguntungkan Israel.
Perang sebagai perilaku politik tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Secara politis , bila kita lihat sejarah, peperangan pada masa lalu maupun perang pada masa kini sama-sama merupakan tindakan yang keputusan pelaksanaan atau penggunaannya diambil /ditentukan hanya oleh sekelompok orang yang memegang posisi menentukan dalam organisasi politik (negara). Dengan kata lain, zaman tidak mengubah perang sebagai agresi yang dilembagakan oleh dan dalam kehidupan politik yang disentralisasikan, di dalam hal ini hanya orang-orang yang berada di puncak kekuasaan politiklah yang memainkan peranan menentukan dalam penggunaannya.

Sebab-Sebab dan Akibat-akibat Perang
T
idak ada kegiatan perang yang tidak lepas dari unsur politik, kekuasaan, idiologi dan teritoriality. Sepanjang sejarah peperangan yang dilakukan manusia , unsur politik, kekuasaan, idiologi dan teritoriality selalu melatarbelakangi kegiatan tersebut (kecuali perang-perang sebagaimana digambarkan oleh seni ketoprak, wayang atau ludruk yang kebanyakan berlatar belakang harta, tahta dan wanita) .
Perang modern (misalnya perang antara bangsa Palestina dan bangsa Israel), perang Iraq dengan Kuwait, India dengan Khasmir, GPK timor Timur dengan ABRI adalah merupakan contoh perang yang bukan merupakan perang politik, idiologi maupun perebutan kekuasaan sebagaimana peperangan yang sekarang ini tengah terjadi di kota Kinshasa dan Gradaville di Republik Kongo (Zaire) . Peperangan Palestina dan Israel adalah merupakan peperangan yang dilatarbelakangi oleh masalah kewilayahan atau teritorialitas. Palestina menginginkan kembalinya tanah Palestina yang sudah dikuasai Israel sejak tahun 1968 dan menginkan berdirinya negara palestina yang merdeka dan berdaulat. Namun sebaliknya Israel tidak mau mengakui tanah-tanah milik palestina tersebut, dan bahkan mereka malah mendirikan pemukiman untuk para kaum Yahudi. Disinilah ‘kemropoknya’ orang-orang Palestina yang militan (Hamas) sehingga mereka selalu melakukan tindak kekerasan terhadap bangsa Israel dan sebaliknya orang-orang Israel juga berbuat kekerasan terhadap Palestina.
Pengertian Teritorialitas atau kewilayahan adalah suatu terminologi yang menujuk kepada hak dan kedaulatan suatu negara atas wilayah geografis tertentu . Menurut pengamatan penulis sepanjang tahun 1980 - 1997 ini berbagai peperangan yang melibatkan dua atau lebih negara , lebih banyak disebabkan oleh faktor teritorialitas ini. Bahkan dapat disebutkan bahwa sebagian besar peperangan antar dua negara yang telah dan tengah terjadi pada saat ini lebih banyak bersumber dari konflik teritorilitas dari pada soal-soal politik idiologi. Peperangan yang berlatar belakang politik idiologi dan perebutan kekuasaan biasanya lebih banyak terjadi di dalam satu negara dalam bentuk perang saudara, perang antar golongan atau perang antar etnis.
Perang yang dicetuskan oleh masalah teritorial adalah perang antar negara yang mengklaim (ngabuk-jw) suatu wilayah geografis dengan negara lain yang mempertahankan hak dan kedaulatan atas wilayah geografis yang sama. Sebagai contoh misalnya perang Iran-Irak, Perang Malvinas (perangnya Argentina dan Inggris tahun 1982/83) Perang Iraq-Kuwait tahun 1990, Perang Chechnya, perangnya Indonesia dengan Belanda (perang kemerdekaan), kericuhan India dengan Pakistan, konflik Indonesia dengan Malaysia tentang status kepulauan Ligitan dan Sipadan, konflik antara Rusia dengan Jepang dan Cina tentang status kepulauan Spartly dan lain-lain sebagainya.
Faktor kedua yang biasanya melatarbelakangi terjadinya suatu peperangan adalah faktor yang menyangkut perluasan pengaruh. Perluasan pengaruh dalam hal ini adalah pengaruh idiologis. Sebagai contoh misalnya perang antara dua negara Korea ( korea selatan /Seoul dan Korea Utara/ Pyongyang), perang Vietnam yang mempertentangkan idiologi komunis ( khmer Merah) yang dipertentangkan dengan idiologi non komunis, perang Afganistan yang memepertentangkan idiologi komunis dan idiologi Islam, perang di Kampuchea dan perang-perang yang berlangsung di Amerika Latin seperti pemberontakan Nikaragua dan lain sebagainya.
Faktor ketiga yang juga banyak memberikan kontribusi terhadap terjadinya peristiwa peperangan adalah faktor yang berkait dengan perbedaan etnis dan agama. Sebagaimana sudah sekilas disinggung pada uraian terdahulu, perang yang berangkat dari faktor perbedaan agama dan etnis ini biasanya terjadi dalam bentuk perang saudara atau perang di dalam satu negara (tidak melibatkan negara lain) . Perbedaan etnis dan agama ini bisa menjadi penyebab perang apabila terdapat faktor-faktor lain yang bertindak sebagai pemicu. Faktor-faktor pemicu yang amat kuat dan menojol adalah masalah ketimpangan sosial ekonomi atau politik, di mana kelompok etnis atau atau kelompok agama tertentu dalam suatu negara memperoleh posisi sosial ekonomi atau politik yang menguntungkan, sedangkan kelompok etnis atau kelompok agama lainnya merasa dirugikan atau difrustasikan oleh keuntungan yang diperoleh kelompok pertama. Kalau dilihat dari kasus ini maka sesungguhnya negara kita Indonesia yang multi etnis, multi agama dan multi aliran serta multi sistem ini sangat rawan terhadap terjadinya perang saudara, dan hal tersebut sudah terbukti pada era sebelum masa orde baru berdiri.
Selain dari pada itu , kemauan atau kehendak untuk memisahkan diri suatu etnis dari satu kesatuan negara (separatisme) juga sering memicu terjadinya peperangan di dalam suatu negara. Kita ambil contoh misalnya pemberontakan suku Macan Tamil di Srilangka, Gerakan Papua Merdeka di Irian Jaya Indonesia, Pemberontakan suku bangsa Moro di Philipina selatan, pemberontakan GPK Timor Timur . Sedangkan perang saudara di Lebanon (antara faksi Islam dan Kristen) merupakan contoh paling nyata dari perang antar kelompok agama yang dipicu oleh ketimpangan dalam kehidupan politik atau dalam distribusi kekuasaan.
Akibat Perang
P
epatah kuno mengatakan dalam perang ,yang menang akan jadi arang yang kalah jadi abu. Bila pepatah ini kita setujui maka kita akan sepakat untuk mengatakan bahwa tidak ada hal positip yang dapat kita peroleh dari kegiatan yang namanya “perang’ ini.
Tidak bisa dibantah dan disangkal, bahwa perang adalah bentuk agresi yang menimbulkan akibat paling buruk dari sejumlah bentuk agresi yang lainnya. Bahkan akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh perang itu bisa jauh lebih buruk dibanding dengan akibat yang timbul oleh peristiwa bencana alam yang hebat sekalipun. akibat paling fatal yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam perang adalah hancurnya infrastruktur dan suprastruktur negera-negara yang terlibat dalam peperangan.
Menurut sense penulis, kekerasan perang akan mengakibatkan tiga bentuk kerugian atau tiga bentuk kehancuran, yaitu kehancuran atau kerusakan yang bersifat fisik, kerusakan atau kehancuran sosial dan kehancuran atau kerusakan yang bersifat psikologis. Ketiga bentuk kerusakan/kehancuan tersebut dapat terjadi secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Kerusakan/kehancuan fisik akibat perang dapat kita lihat dari porak porandanya bangunan-banguan infrastruktur maupun suprastruktur yang ada di tengah-engah masyarakat. Akibat sosial adalah menjangkitnya rasa benci dan rasa saling mencurigai satu dengan lainnya dan akibat psikologis adalah timbulnya berbagai trauma psikologis akibat perang ( war neuroses), psikosis, schizoprenia dan kasus-kasus gangguan mental serta jenis-jenis gangguan emosional sementara (transient emotional distrubences) seperti keterkejutan, kecemasan, depresi dan apati. Gejala-gejala tadi adalah merupakan akibat yang sangat umum ditemukan dalam situasi pasca perang.
Disamping kehancuran infrastruktur dan suprastruktur atau kerugian materi, korban jiwa, korban sosial dan korban psikologis, perang juga membawa akibat lain yang tidak kalah fatalnya, yakni akibat behavioral dalam bentuk peningkatan tingkah laku delingkuen agresif. Dalam penelitiannya yang berjudul “Children’s Response to Community Violence : What Do we Know ? sebagaimana diterbitkan oleh Infan Mental Health Journal, Vol 14 No.2 Summer 1993, mengemukakan anak-anak palestina yang terlibat kegiatan intifada mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat dalam hal menyerangi (combating) tentara Israel dengan tanpa mempertimbangkan keselamatan / keamanan dirinya. Dengan kata lain anak-anak palestina tersebut mempunyai tingkat agresifitas yang relatif lebih besar dibanding anak-anak lain seusianya yang tidak terlibat intifada (Garbarino, 1993). Sementara itu Archer and Gartner (1976) menemukan fenomena peningkatan tingkah laku delingkuen sebagai akibat perang pada masyarakat Amerika selama masa perang Vietnam berlangsung. Pada saat itu di USA terjadi peningkatan angka kriminalitas dan pembunuhan yang meningkat dua kali lebih banyak dibanding dengan tahun-tahun sebelum Amerika terlibat dalam perang Vietnam yang sangat kontroversial itu. Dalam penelitian selanjutnya mereka juga menemukan fenomena yang sama di 100 negara lain yang terlibat perang Dunia I dan perang Dunia II. Di Italia dan Denmark, misalnya, beberapa tahun setelah perang dunia II berakhir, tingkah laku delingkuen agresif menujukkan peningkatan yang gila-gilaan yaitu masing-masing 133 % dan 169 %. Peningkatan tingkah laku delingkuen agresif yang paling dramatis menyusul berakhirnya perang dunia II itu dialami oleh New Zailand (Selandia Baru), yakni peningkatan sebesar 313 %. Negar-negara lainnya yang mengalami peningkatan tingkah laku delingkuen agresif yang cukup dramatis akibat perang dunia adalah Finlandia (124%0, Thailand (112%) dan Afrika selatan (104%) (Koeswara , 1988).
Terlepas dari bagaimana peneliti tersebut memperoleh angka-angka tadi, yang jelas angka-angka tersebut di atas jelas merupakan indikasi bahwa perang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan frekuwensi agresi di Negara-negara yang terlibat, baik terlibat langsung maupun terlibat secara tidak langsung dalam perang itu.
Mengapa perang bisa meningkatkan terjadinya peningkatan tingkah laku delingkuen agresif pada masyarakatnya ? Coleman (1976) mengemukakan bahwa tingkah laku agresif mengalami peningkatan pada masyarakat yang terlibat perang disebabkan oleh adanya efek pembiasan ( habituation effect) tindakan agresif pada anggota masyarakat. Contoh kasus untuk hal tersebut bisa dilihat bagaimana tingkat kekerasan yang terjadi di Jalur Gaza, di Bosnia Herziogovina yang dilakukan oleh anak-anak maupun oleh para pemuda sebagaimana bisa kita saksikan lewat siaran berita televisi, koran majalah maupun siaran radio.
Penutup :
U
raian panjang tentang agrsifitas manusia dalam politik sebagaimana penulis kemukakan di atas, secara jelas memberi gambaran bahwa perilaku politik dan perilaku kekerasan itu tidak bisa dipisahkan . Tindakan kekerasan akan selalu menjadi warna dalam kehidupan politik , di manapun politik itu terjadi. Perilaku politik tidak hanya muncul di negara-negara maju dan super power, tetapi juga tumbuh berkembang di negara-negara yang sedang berkembang (development countri) maupun di negara-negara terbelakang (under Development countri) dengan latar belakang yang bermacam-macam. Namun demikian perilaku politik tidak akan bisa dipisahkan dari kehidupan normal umat manusia, sebab perilaku politik itu berdimensi sangat luas, seluas kehidupan manusia itu sendiri. Jadi tindakan atau perilaku politik manusia itu merupakan suatu kebutuhan untuk menjaga eksistensi kehidupan manusia dalam percaturan kehidupan sehari-sehari , sehinga tidaklah mengherankan bila perilaku kekerasan juga akan menjadi warna perilaku politik.

DAFTAR KEPUSTAKAAN


Coleman (1976) Abnormal Psychology and Modern Life. Scott Foresman New York.

David E. Apter (1985), Pengantar Analisa Politik. LP3ES. Jakarta.

Dajammaludin Ancok (1996) Hand Out Psikologi Psikologi Sosial. Tidak diterbitkan.

Eliot Aronson (1972), The Social Animal, Free Man San Francisco.

Herbert l. Petri (1981), Motivation : Theori and Research, Wordworth Publishing Company Belmont California.

Kompas Edisi 12 / 10 / 1997

Kompas edisi 16 / 10 / 1997

Koeswara (1988) Agresi Manusia. Penerbit Eresco Bandung

Leonard Berkowitz (1993) Agresstion : its Causes, consequences and control. Mc Brow Hill

Peter H. Merkl (1994) Community and Change (dalam Miriam Budihardjo :
Demokrasi di Indonesia : Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila)

Penerbit Gramedia Jakarta.

Robert Barron (1987) Human Aggretion. Plenum New York.
Yapsir Gandhi Wirawan (1994). Agresifitas di Layar Kaca. Buletin Ilmiah “Kognisi” Edisi II tahun 1994. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

PENGUASAAN DAN PEMAHAMAN PSIKOLOGI MASSA DALAM KAMPANYE POLITIK*



Drs. Soleh Amini Yahman. Psi. MSi

Pemahaman dan penguasaan terhadap psikologi massa dalam suatu even yang melibatkan banyak orang (massa) akan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari kegiatan tersebut.
Kampanye sebagai salah satu bentuk kegiatan massal yang melibatkan ratusan bahkan mungkin ribuan orang, menuntut suatu strategi dan manajemen pengelolaan massa yang jitu sehingga tujuan kampanye dapat secara efektif tercapai dan tepat sasaran. Salah satu strategi dan menejemen pengelolaan massa adalah mampu tidaknya kita mengenali sifat / karakter massa dan perilaku komunikasi massa itu sendiri.
Sebelum kita menggali lebih jauh tentang karakter/sifat dari perilaku massa tersebut marilah terlebih dahulu kita definisikan pengertian “kampanye” itu sendiri. Hal itu penting dilakukan agar terjadi kesepahaman pendapat dan konsep, sehingga “kampanye” tidak kita artikan dalam arti yang berbeda-beda.


1. Kampanye Dalam Perspektif Psikologi Sosial.
Dalam perspektif psikologi sosial, kampanye diartikan sebagai upaya menyiarkan suatu pendapat, ide atau gagasan dengan cara-cara tertentu, baik lesan maupun tulisan, sehingga seseorang atau sekelompok orang mau mengikuti ide, gagasan atau ajakan yang disampaikan oleh juru kampanye sebagai komunikator. Dalam perspektif ini kampanye dilaksanakan dengan pendekatan persuasif, rewarding dan non punitif. Pendekatan persuasif lebih menekankan pada pendekatan yang menimbulkan perasaan senang, tentram dan berkesan pada audience, sehingga terjadi proses human relationship, bukan sekedar human interaktion.
2. Kampanye Dalam Perspektif Psikologi Kognitip.
Dalam perspektif Psikologi Kognitif, kampanye adalah kegiatan yang rasional, logis, intelek dan masuk akal. Artinya kampanye adalah kegiatan penyampaian ide, gagasan, atau konsep-konsep tertentu dari seorang nara sumber kepada sejumlah manusia komunikan (audience) yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan intelektual . Oleh karena itu dalam perspektif ini kegiatan kampanye bukan sekedar acara yang menghadirkan orang banyak, sifatnya hura-hura, ngobral janji, retorika yang menggebu-gebu dsb, tetapi merupakan acara yang dialogis, ilmiah dan logis atau masuk akal. Indikasi keberhasilan kampanye dalam perspektif ini adalah bila audience dapat memahami ide, gagasan atau konsep jurkam secara tepat dan adekwat dan tidak terjadi miss-understanding. Kalau jurkamnya bermaksud menyampaikan pesan tentang A maka audience juga harus secara adekwat menerima pesan tersebut sebagai A bukan AA”.
3. Kampanye Dalam Perspektif Psikologi Behavioristik.
Dalam perspektif psikologi behavioristik , kampanye diartikan sebagai manipulasi psikologis yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai otorita tertentu, untuk menciptakan perilaku dan suasana psikologis tertentu (terpesona, terhipnotis, tertarik, simpati, jatuh hati, bingung) sehingga mudah untuk dipengaruhi agar mereka (audience) mau mengikuti keinginan, ide, harapan , gagasan atau ajakan juru kampanye.
Ada tiga bentuk kegiatan massal yang lazim digunakan sebagai medium berkampanye, yaitu (1) Propaganda (2) Advertensi (3) Audiensi. Ketiga bentuk kegiatan tersebut di atas dapat dipergunakan sebagai media komunikasi kampanye. Tetapi dari ketiga bentuk media tersebut mana yang paling efektif dalam mencapai tujuan kampanye sangat tergantung sasaran/ target, tema dan tujuan kampanye itu sendiri.
Propaganda akan efektif sebagai ajang kampanye politik bila khalayak/ audiancenya berupa kumpulan /kerumunan manusia yang tingkat daya kritisnya tipis. Advertensi tidak efektif untuk kampanye politik, tetapi lebih efektif guna mengkampanyekan suatu produk atau jasa kepada calon konsumen, Namun demikian tidak berarti advertensi tertutup sama sekali bagi ajang kampanye politik. Audiensi akan efektif untuk kampanye pemilu bila jumlah audiance-nya jumlahnya terbatas dan berada dalam tempat atau ruang yang juga terbatas.

II
Menguasai Psikologi Massa Berarti Menguasai dan Memahami Komunikasi massa
Dalam pengertian yang paling sederhana , komunikasi massa atau public comunications diartikan sebagai proses penyampaian atau penyebaran informasi melalui sarana/alat yang sifatnya massal. Informasi atau pesan (bisa berupa ide, konsep, gagasan, janji, ajakan dsb) tersebut ditujukan kepada khalayak ramai , baik yang berkumpul di suatu tempat (lapangan, gedung, stadion dan sebagainya) maupun yang tersebar/terpencar di berbagai tempat.
Dalam pemakaian yang populair, istilah komunikasi massa sering menimbulkan bayangan mengenaia telivisi, radio, koran dan lain sebagainya. Namun peralatan teknis ini hendaknya tidak diacmpur adukkan dengan “proses” yang akan menjadi bahasan dalam diskusi kita ini. Komunikasi massa sebagaimana dimaksudkan dalam makalah ini,bukanlah semata-mata suatu sinonim untuk komunikasi dengan bantuan radio TV, koran dan sebagainya tadi, tetapi sebagai suatu jenis khusus dari komunikasi sosial yang melibatkan berbagai unsur pengoperasian dalam suatu komunikasi, yaitu : (1) Sifat Khalayak (2) Sifat bentuk Komunikasi dan (3) Arah arus komunikasi masa (4) Sifat Komunikator. Keempat unsur ini harus benar-benar dipahami oleh seorang juru kampanye dalam melaksanakan komunikasi dengan audiancenya. Oleh karena itu , sebagaimana ditegaskan dalam sub judul makalah ini “menguasa psikologi massa berarti menguasai komunikasi massa”
A. Sifat Khalayak.
Komunikasi massa sasarannya adalah ke arah khalayak luas yang heterogin dan anoname. Isi pesan (informasi) yang disampaikan dalam komunikasi masa bukan ditujukan hanya pada orang-orang tertentu atau kelompok tertentu. Isi pesan (informasi) sifatnya umum bukan pesan-pesan yang khusus, jadi dalam komunikasi massa , komunikan harus menyadari bahwa semua pihak (Audience menerima informasi yang sama.
Sifat kedua dari khalayak komunikasi massa adalah sifat heterogen bukan homogen. Artinya anggota khalayak terdiri atas berbagai manusia dengan berbagai perangai, sifat, karakter dan perilaku. Oleh karena itu, seorang komunikator dalam komunikasi massa harus pandai dan jeli terhadap sifat, karakter dan perangai dari audience yang menjadi massanya.
Komunikasi massa terdiri atas audience yang bersifat anomitas. Artinya anggota khalayak secara individual tidak dikenal atau tidak diketahui oleh komunikatornya. Maka alangkah lebih baik bila seorang komunikator mencoba ,mengenali identitas audience-nya terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas komunikasinya.
B. Sifat bentuk Komunikasi Massa
Komunikasi massa sifatnya umum, cepat dan selintas serta serentak. Komunikasi massa adalah komunikasi umum, bukan komunikasi yang sifatnya khusus atau pribadi. Isi pesan yang disebarluaskan bukan ditujukan kepada satu orang saja, isi pesannya-pun terbuka bagi setiap orang. Setiap anggota khalayak menyadari bahwa mereka memperoleh materi pesan yang sama.
Dalam komunikasi masa, pesan-pesan komunikasi sifatnya cepat dalam arti isi pesan itu dimaksudkan untuk menjangkau khalayak luas dalam waktu yang relatif singkat dan segera. Serempak, maksudnya pesan dalam komunikasi masa dalam waktu yang bersamaan dapat diterima secara bersama-sama oleh seluruh khalayak. Selintas, isi pesan yang dikomunikasikan biasanya dibuat agar segera dapat dikonsumsi dengan segera, bukan untuk diingat-ingat atau dengan kata lain isi pesan hanya sekali pakai.
C. Arah Arus komunikasi Massa
Dalam komunikasi massa, arus komunikasi sepenuhnya dikendalikan oleh komunikator. Artinya arah arus komunikasinya bersifat satu arah (one way traffic comunication) . Karena pengendalian arus komunikasi hanya dikendalikan oleh komunikator , maka komunikan atau audience tidak bisa segera melakukan koreksi atau memberi feed back (umpan balik) bila terjadi ketidakselarasan terhadap isi pesan. Koreksi atau feed back baru bisa dilakukan pada waktu yang lain, ketika proses komunikasi tersebut telah selesai. Dengan kata lain komunikan membutuhkan waktu tunda (delayed time) untuk melakukan koreksi atau memberi feed back.
D. Sifat komunikator.
Komunikasi massa adalah komunikasi yang terorganisasikan. Seorang komunikator di media massa bekerja melalui sebuah organisasi yang komplek. Artinya media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni berupa institusi atau organisasi. Karena itu komunikatornya pun bersifat melembaga. Wartawan atau penyiar telivisi dalam menyiarkan pesan-pesan komunikasinya (berupa berita) ia bertindak untuk dan atas nama lembaga dan harus sejalan dengan kebijakan surat kabar atau stasiun TV wartawan tersebut bekerja. Jadi berbeda dengan dalang atau kyai yang kemunculannya di depan publik bertindak untuk dan atas namanya sendiri, sehingga ia lebih mempunyai banyak kebebasan. Bagaimana dengan Juru Kampanye ? Seorang jurkam sebagai juru bicara institusi sebuah partai dalam kampanyenya harus menyampaiakan pesan sejalan dengan visi isi partai, ia tidak bertindak sebagai individu tetapi bertinndak sebagai unsur partai. Sebagai konsekwensi dari sifat komunikator yang melembaga itu, maka peranannya dalam proses komunikasi harus ditunjang oleh orang lain dalam bentuk team work.
III
Perilaku Massa
Manusia yang berada dalam kelompok, massa atau kerumunan, akan cenderung kehilangan kepribadiannya yang personal, rasional dan sadar, dan kemudian tindakan/perilakunya akan diganti dengan tindakan yang (cenderung) kasar dan irrasional. Dalam kondisi yang demikian ini, anggota massa akan menurut saja secara emosional terhadap apa yang dikatakan atau diminta oleh figur/orang yang mereka anggap sebagai pimpinannya. Oleh karena itu dalam kehidupan massa orang akan cenderung dan bisa melakukan hal-hal yang kadang berlawanan dengan kebiasaan dan watak pribadinya.
Massa mempunyai jiwa tersendiri yang berbeda dengan sifatnya dengan sifat individu. Dalam massa ada dua macam jiwa yang secara hakiki berbeda, Yaitu jiwa Individu (Individual Mind) dan jiwa massa (Collective Mind) .
Jiwa massa mempunyai sifat-sifat yang berkebalikan dengan jiwa individual yang rasional, cerefull dan terarah. Menurut Gustave Lee Bond (1965) Jiwa Massa mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : Impulsif, mudah tersinggung, agresif, ingin segera bertindak, mudah terbawa arus sentimen, kurang rasional, sugestible, mudah mengimitasi.



Phenomena Psikologis Ketika Seorang Berada Dalam Massa
1. Hilangnya Personal Responsibility atau pertanggung jawaban Pribadi.
Hilangnya rasa tanggung jawab pribadi ini terjadi karena hidupnya kekuatan kolektif yang memungkinkan individu menjadi kendel (berani) melakukan tindakan tertentu. Kerangkan berpikir yang berkembang dalam benak mereka adalah “tindakan bersama tanggung jawab bersama” . Disamping itu, hilangnya rasa tangung jawab bersama ini juga dikarenakan faktor hidupnya kepribadian yang tidak sadar, impulsif sehingga individu hanya sekedar menjadi otomat-otomat yang mengerjakan sesuatu tanpa berpikir lebih jauh lagi. Dengan demikian perilakunya tidak lagi memiliki tanggung jawab personal.
2. Terjadi Infeksi Jiwa.
Infeksi jiwa adalah kondisi atau keadaan jiwa yang “sakit” dalam arti keadaan jiwa yang tidak wajar dalam kehidupan bermasyarakat, maupun individu. Keadaan sakit tersebut biasanya akan mudah menular kepada orang-orang yang berada di sekitarnya sehingga mereka juga menjadi “sakit”. Keadaan sakit ini akan membuat individu mau mengorbankan kepantingan diri sendiri bagi kepentingan orang banyak dalam kelompoknya. Dalam suasana menular ini, orang-orang yang semuala ragu-ragu untuk berbuat/bertindak berubah menjadi berani berbuat/bertindak.
3. Jiwa Massa Sangat Sugestible.
Dalam kondisi jiwa yang sugestible (kondisi jiwa yang labil karena pengaruh-pengaruh tertentu) anggota massa akan sangat mudah tersinggung, melawan semua yang dianggap menentang dan melawan tanpa memperhitungkan menang kalau, melanggar atau tidak melanggar hukum. Dalam keadaan “ramai-ramai” dan situasi massal ini mereka yakin mempunyai kekuatan yang bulat, sehingga berani bertindak tanpa ragu, kompak sehingga individu-individu dapat dibawa kepada suatau keadaan yang meleburkan pribadinya dan menelusuri keinginan orang yang mensugestinya.
4. Timbul perilaku yang spontan.
Mengapa orang yang berkumpul dalam suatau massa akan mudah menimbulkan perilaku yang spontan. Hal ini terjadi karena adanya saling stimulasi antara individu dengan kekuatan massa. Dari saling stimulasi antar individu dengan kekuatan massa tadi akan terbentuk hal hal sebagai berikut :
1. Homogenitas : yaitu terbentuknya sutau kondisi pribadi tertentu yang mempunyai kesamaan (homogen) antara anggota massa, baik disadari maupun tidak.
2. Menurunnya daya intektualitas atau daya rasionalitas.
3. Perilaku merusak
4. Terjadi peningkatan intensitas emosi sehingga meningkatkan solidaritas antara anggota massa



PENGENALAN DIRI


Drs. Soleh Amini Yahman. Psi. MSi

Pendahuluan
Salah satu syarat untuk menuju sukses dalam pergaulan sosial adalah adanya kemampuan seseorang untuk mengenali dirinya sendiri (self understanding). Dengan mengenali dirinya sendiri maka orientasi ke dalam dirinya sendiri akan lebih mudah dilakukan, sehingga mekanisme self menagement akan berjalan dengan baik.
Dalam kaitannya dengan proses pengenalan diri sendiri ini, ilmu etika mengajarkan kepada manusia tentang seperangkat nilai sebagai suatu sistem, yaitu sistem sosial, baik yang berupa norma sosial, adat istiadat, kode etik, hukum dan lain-lain. Oleh karena itu penegenalan diri secara benar akan membantu seseorang dalam mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai tadi dalam diri sehingga seseorang tidak terjebak dalam persepsi yang salah tentang “siapa saya”


Secara umum tujuan pengenalan diri adalah : Mengembangkan kesadaran mengenai diri sendiri dan sekaligus mengembangkan kemampuan untuk menampilkan diri tanpa mengganggu keberadaan orang lain. Secara khusus Tujuan pengenalan diri adalah agar seseorang (individu) dapat mengenali aspek-aspek positif dan aspek negatif. Dapat pula mengenali kelebihan dan potensi positip yang ada pada dirinya , sekaligus mengetahui hal-hal negatif pada dirinya. Dengan demikian seseorang dapat mengoptimalkan potensi dirinya secara penuh dalam menacapai tujuan hidupnya. Secara khusus pula pengenalan diri juga bertujuan agar seseorang mampu dan bisa mengakui adanya kelebihan dan kekurangan pada diri setiap orang, juga agar (kita) bisa mengakui adanya persamaan hak, kewajiban dan derajat dirinya dengan orang lain.
Dengan pengenalan diri yang tepat, seseorang akan bisa memperoleh (membentuk) “konsep diri” yang tepat tentang dirinya. Dengan demikian seseorang bisa berupaya untuk mengembangkan segi positip dan mengatasi segi negatip yang melekat pada dirinya, sehingga mampu memupuk sikap-sikap positip sesuai dengan peran yang sedang diembannya (misalnya jadi guru ya guru yang berwibawa, disegani murid dan sebagainya). Oleh karena itu Program Pengembangan Diri yang dilakukan hendaknya sejalan pula dengan penyesuaian terhadap lingkungan sosial dimana seseorang menjalankan kehidupan sosialnya. Hal ini akan bisa membangkitkan rasa puas, karena selain akan mengembangkan diri, lingkungan bisa menerima dirinya dengan baik. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi dengan tepat harus sangan diperhatikan. Keserasian antara pengembangan diri dan penyesuaian diri akan menimbulkan rasa puas. Kepuasan yang dirasakan ini secara bertahap akan bisa memupuk rasa percaya diri (self confidance) yang nantinya akan berkembang menjadi pribadi yang matang sehingga melahirkan perilaku yang santun, etis dan adaptif.
Bagaimana Mengenali Diri Sediri ?
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan pengenalan diri yaitu : Introspeksi, Melihat Perilaku Orang lain dan Meminta umpan balik atau masukan dari orang lain. Namun sebelum menetapkan dari tiga cara tersebut, pertama tama yang harus dilakukan untuk peneganalan diri adalah menanamkan kesadaran kedalam diri bahwa setiap orang mempunyai sejumlah ide, anggapan, keyakinan dan nilai-nilai tertentu, yang disebut Sistem Nilai dan asumsi atau disingkat SINA. Sistem Nilai dan asumsi yang dimiliki setiap orang tersebut ada yang logis dan ada yang tidak logis, berbeda-beda pada setiap orang dan bahkan ada sina yang saling bertentangan antara satu orang dengan lainnya.
Sistem nilai dan asumsi pada seseorang terbentuk melalui proses belajar pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan seseorang, dan juga dari kesimpulan-kesimpulan terhadap pengalaman-pengalaman yang dipernah diperolehnya. Kesimpulan-kesimpulan tersebut kemudian menjadi keyakinan seseorang. Keyakinan yang terbentuk itu akan mempengaruhi penafsiran dan kesimpulan terhadap pengalaman-pengalaman yang datang dikemudian hari.
Nilai dan asumsi yang berkembang pada diri seseorang akan terwujut dalam konsep diri, orientasi ambisi, cara memandang nasip, penilaian terhadap orang lain dan tentang hal-hal lain. Secara khusus konsep diri seseorang berisi anggapan dan keyakinan seseorang tentang statusnya, haknya, kewajiban-kewajibanya, kemampuannya, penilaian orang mengenai dirinya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan dirinya. Konsep diri inilah yang menjadi jawaban dari pertanyaan “SIAPAKAH SAYA”. Jawaban dari pertanyaan tersebut selanjutnya akan mempengaruhi cara berfikir dan perilaku seseorang.
Untuk menjawab Pertanyaan “siapa saya”, tentu tidaklah terlalu mudah. Kesulitan tersebut berkaitan dengan keluasan dari “daerah kesadaran” yang ada pada diri seseorang.
Berkaitan dengan masalah daerah kesadaran diri ini Joe Luft dan Harry Ingham (disingkat Johari ) memperkenalkan suatu teknik mengenal diri sendiri yang dikenal dengan konsep Johari Window.
Menurut konsep ini ada empat ranah (domain) dari daerah kesadaran dalam diri seseorang, yaitu sebagai berikut :
DAERAH PUBLIK
(A) DAERAH BUTA
(Blind area)
( B)
DAERAH TERSEMBUNYI
(C) DAERAH YANG TAK DISADARI
(D)

Daerah Publik (A) : Wilayah dari kesadaran manusia yang memuat hal-hal yang diketahui oleh dirinya dan orang lain . Artinya hal-hal pada diri seseorang yang diketahui oleh orang itu sendiri dan juga diketahui oleh orang lain.
Daerah Buta (B) : Darah kesadaran yang memuat hal-hal yang diketahui oleh orang lain, tetapi tidak diketahui oleh dirinya sendiri.
Daerah Tersembunyi (C) : Daerah kesadaran yang hanya memuat hal-hal yang diketahui oleh dirinya sendiri tetapi tidak diketahui oleh orang lain. (daerah rahasia pribadi) .
Daerah Tak Disadari (D): Daerah kesadaran yang memuat hal-hal yang direpres ke dalam ketidaksadaran
Untuk pengembangan pribadi dan pengenalan diri yang idial maka sedapat mungkin seseorang harus memperbesar daerah pubilknya, karena semakin banyak hal yang dipahami bersama, maka seseorang akan lebih mudah membawakan dirinya dihadapan orang lain. Memperbesar daerah publik dapat diusahakan dengan dua cara, yaitu: Mengekpresikan diri dan Meminta/mencari Umpan Balik. Cara memberi umpan balik yang baik adalah menguraikan, bukan menilai, menyampaikan pada saat yang tepat serta hanya mengutarakan hal-hal yang kiranya bisa dirubah.
Manfaat Mengenali Diri Sendiri
1. Dapat Mengetahui apa yang dibutuhkan dalam hidup ini
2. Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan pribadi
3. Dapat memenfaatkan pengetahuan diri untuk menujang cita-cita
4. Dapat mengatahui mengapa menjadi sukses dan gagal dalam suatu hal
5. Dapat merencanakan masa depan secara lebih terarah

PENGENALAN DIRI HANYA AKAN TERCAPAI DENGAN MENGUSAHAKAN UMPAN BALIK YANG JUJUR TENTANG DIRINYA DARI ORANG LAIN.