Minggu, 23 Oktober 2011

CATATATAN KULIAH
PERSEPSI DAN SENSASI

A. Sensasi

Sensasi adalah tahap pertama stimuli mengenai indra kita. Sensasi berasal dari kata “sense” yang artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Menurut Dennis Coon, “Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal. Simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.”

Definisi sensasi, fungsi alat indera dalam menerima informasi dari lingkungan sangat penting. Kita mengenal lima alat indera atau pancaindera. Kita mengelompokannya pada tiga macam indera penerima, sesuai dengan sumber informasi. Sumber informasi boleh berasal dari dunia luar (eksternal) atau dari dalam diri (internal). Informasi dari luar diindera oleh eksteroseptor (misalnya, telinga atau mata). Informasi dari dalam diindera oleh ineroseptor (misalnya, system peredaran darah). Gerakan tubuh kita sendiri diindera oleg propriseptor (misalnya, organ vestibular).

B. Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Sensasi adalah bagian dari persepsi. Persepsi, seperti juga sensasi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. Faktor lainnya yang memengaruhi persepsi, yakni perhatian.

Perhatian (Attention)
Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesdaran pada saat stimuli lainnya melemah (Kenneth E. Andersen)
Faktor Eksternal Penarik Perhatian
Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor situasional personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perharian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter) dan sifat-sifat yang menonjol, seperti :
  • Gerakan (Movement) secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak.
  • Intensitas Stimuli (Stimulus Intensity), kita akan memerharikan stimuli yang menonjol dari stimuli yang lain
  • Kebaruan (Novelty), hal-hal yang baru dan luar biasa, yang beda, akan menarik perhatian.
  • Perulangan (Repeatation), hal-hal yang disajikan berkali-kali bila deisertai sedikit variasi akan menarik perhatian.

Faktor Internal Penarik Perhatian
Apa yang menjadi perhatian kita lolos dari perhatian orang lain, atau sebaliknya. Ada kecenderungan kita melihat apa yang ingin kita lihat, dan mendengar apa yang ingin kita dengar. Perbedaan ini timbul dari faktor-faktor yang ada dalam diri kita. Contoh-contoh faktor yang memengaruhi perhatian kita adalah :
  • Faktor-faktor Biologis
  • Faktor-faktor Sosiopsikologis.
  • Motif Sosiogenis, sikap, kebiasaan , dan kemauan, memengaruhi apa yang kita perhatikan.
Kenneth E. Andersen, menyimpulkan dalil-dalil tentang perhatian selektif yang harus diperhatikan oleh ahli-ahli komunikasi.
  1. Perhatian itu merupakan proses aktif dan dinamis, bukan pasif dan refleksif.
  2. Kita cenderung memerhatikan hal-hal tertentu yang penting, menonjol, atau melibatkan kita.
  3. Kita menaruh perhatian kepada hal-hal tertentu sesuai dengan kepercayaan, sikat, nilai, kebiasaan, dan kepentingan kita.
  4. Kebiasaan sangat penting dalam menentukan apa yang menarik perhatian, tetapi juga apa yang secara potensial akan menarik perhatian kita.
  5. Dalam situasi tertentu kita secara sengaja menstrukturkan perilaku kita untuk menghindari terpaan stimuli tertentu yang ingin kita abaikan
  6. Walaupun perhatian kepada stimuli berarti stimuli tersebut lebih kuat dan lebih hidup dalam kesadaran kita, tidaklah berarti bahwa persepi kita akan betul-betul cermat.
  7. Perhatian tergantung kepada kesiapan mental kita,
  8. Tenaga-tenaga motivasional sangat penting dalam menentukan perhatian dan persepsi.
  9. Intesitas perhartian tidak konstan
  10. Dalam hal stimuli yang menerima perhatian, perhatian juga tidak konstan.
  11. Usaha untuk mencurahkan perhatian sering tidak menguntungkan karena usaha itu sering menuntut perhatian
  12. Kita mampu menaruh perhatian pada berbagai stimuli secara serentak.
  13. Perubahan atau variasi sangat penting dalam menarik dan memertahankan perhatian

Faktor-faktor Fungsional yang Menentukan Persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal lain yang termasuk apa yang ingin kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memeberikan respons pada stimuli itu.

Kerangka Rujukan (Frame of Reference)
Sebagai kerangka rujukan. Mula-mula konsep ini berasal dari penelitian psikofisik yang berkaitan dengan persepsi objek. Dalam eksperimen psikofisik, Wever dan Zener menunjukan bahwa penilaian terhadap objek dalam hal beratnya bergantung pada rangkaian objek yang dinilainya. Dalam kegiatan komunikasi kerangka rujukan memengaruhi bagaimana memberi makna pada pesan yang diterimanya.

Faktor-faktor Struktural yang Menentukan Persepsi
Faktor-faktor struktural berasal semata-mara dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkanny pada system saraf individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler, Wartheimer, dan Koffka, merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat structural. Prinsip-prinsip ini kemundian terkenal dengan nama teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, mempersepsi sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan. Dengan kata lain, kita tidak melihat bagian-bagiannya. Jika kia ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah; kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan

***
Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi, menjadi empat bagian :
  1. Dalil persepsi 1: Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Berarti objek-objek yang mendapatkan tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi
  2. Dalil persepsi 2 : Medan perceptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interprestasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi.
  3. Dalil persepsi 3 : Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan diperngaruhi oleh keanggotaan kelompolmua dengan efek berupa asimilasi atau kontras.
  4. Dalil persepsi 4 : Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya betul-betul bersifat structural dalam mengelompokkan objek-objek fisik, seperti titik, garis, atau balok.

Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni structural; sebab apa yang dianggap sama atau berdekatan oleh seorang individu, tidaklah dianggap sama atau berdekatan dengan individu yang lainnya. Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan ini sering dipakai oleh komunikator untuk meningkatkan kredibilitasnya, atau mengakrabkan diri dengan orang-orang yang punya prestise tinggi. Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu menyebabkan stimuli ditangapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Kecenderungan untuk mengelompokan stimuli berdasarkan kesamaan dan kedekatan adalah hal yang universal.

Sumber : http://komunikologi.wordpress.com/2008/07/11/sensasi-persepsi-memori/

Sabtu, 22 Oktober 2011

CATATAN KULIAH
ILMU PSIKOLOGI KOMUNIKASI DAN
PENDEKATAN PERILAKU MANUSIA



Psikologi Komunikasi
Dari bukunya Jalaludin Rahmat
BAB I
1. Apakah Psikologi Komunikasi Itu?

Komunikasi sangat esensial untuk pertumbuhan kepribadian manusia. Kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian. Komunikasi amat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia.
Dalam sejarah perkembangannya komunikasi memang dibesaran oleh para peneliti psikologi. Bapak Ilmu Komunikasi yang disebut Wilbur Schramm adalah sarjana psikologi. Kurt Lewin adalah ahli psikologi dinamika kelompok. Komunikasi bukan subdisiplin dari psikologi. Sebagai ilmu, komunikasi dipelajari bermacam-macam disiplin ilmu, antara lain sosiologi dan psikologi.

2. Ruang Lingkup Psikologi Komunikasi

Hovland, Janis, dan Kelly, semuanya psikolog, mendefinisikan komunikasi sebagai ”the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individuals (the audience). Dance mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai usaha “menimbulkan respon melalui lambang-lambang verbal.”
Kamus psikologi, menyebutkan enam pengertian komunikasi.
1. Penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat yang lain seperti dalam sistem saraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara.
2. Penyampaian atau penerimaan sinyal atau pesan oleh organisme.
3. Pesan yang disampaikan
4. (Teori Komunikasi) Proses yang dilakukan satu sistem yang lain melalui pengaturan sinyal-sinyal yang disampaikan.
5. (K.Lewin) Pengaruh suatu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga perubahan dalam satu wilayah menimbulkan peribahan yang berkaitan pada wilayah lain.
6. Pesan pasien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi.

Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikasi, psikologi memberikan karakteristik manusia komunikan serta faktor-faktor internal maupun eksternal yang memengaruhi perilaku komunikasinya. Pada komunikator, psikologi melacak sifat-sifatnya dan bertanya : Apa yang menyebabkan satu sumber komunikasi berhasil dalam memengaruhi orang lain, sementara sumber komunikasi yang lain tidak?
Psikologi juga tertarik pada komunikasi diantara individu : bagaimana pesan dari seorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan respon pada individu lainnya. Komunikasi boleh ditujukan untuk memberikan informasi, menghibur, atau memengaruhi. Persuasif sendiri dapat didefinisikan sebagai proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan psikologis.


3. Ciri Pendekatan Psikologi Komunikasi


Komunikasi begitu esensial dalam masyarakat manusia sehingga setiap orang yang belajar tentang manusia mesti sesekali waktu menolehnya. Komunikasi telah ditelaah dari berbagai segi : antropologi, biologi, ekonomi, sosiologi, linguistik, psikologi, politik, matematik, enginereering, neurofisiologi, filsafat, dan sebagainya. Sosiologi mempelajari komunikasi dalam kontesks interkasi sosial, dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok. Colon Cherry (1964) mendefinisikan komunikasi sebagai, ”usaha untuk membuat suatu satuan sosial dari individu dengan menggunakan bahasa atau tanda. Memiliki bersama serangkaian peraturan untuk berbagai kegiatan mencapai tujuan.”
Psikologi uga meneliti kesadaran dan pengalaman manusia. Psikologi tertama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyababkan terjadinya perilaku manusia itu. Bila sosiologi melihat komunikasi pada interaksi sosial, filsafat pada hubungan manusia dengan realitas lainnya, psikologi pada perilaku individu komunikan.
Fisher menyebut 4 ciri pendekatan psikologi pada komunikasi : Penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli), proses yang mengantarai stimuli dan respon (internal meditation of stimuli), prediksi respon (prediction of response),dan peneguhan respon (reinforcement of responses). Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respon yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respon yang terjadi pada masa yang akan datang.
George A.Miller membuat definisi psikologi yang mencakup semuanya : Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah imu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan persistiwa mental dan behavioral dalam komunikasi. Peristiwa mental adalah ”internal meditation of stimuli”, sebagai akibat berlangsungya komunikasi.
Komunikasi adalah peristiwa sosial – peristiwa yang terjadi ketika manusa berinteraksi dengan manusia yang lain. Peristiwa sosial secara psikologis membawa kita pada psikologi sosial. Pendekatan psikologi sosial adalah juga pendekatan psikologi komunikasi.


4. Penggunaan Psikologi Komunikasi


Tanda-tanda komunikasi efektif menimbulkan lima hal :
1. Pengertian : Penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksudkan oleh komunikator
2. Kesenangan : Komunikasi fatis (phatic communication), dimaksudkan menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat, akrab, dan menyenangkan.
3. Mempengaruhi sikap : Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan pesan menimbulkan efek pada komunikate. Persuasi didefiniksikan sebagai ”proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri.
4. Hubungan sosial yang baik : manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow menyebutnya dengan ”kebutuhan akan cinta” atau ”belongingness”. William Schutz merinci kebuthan dalam tiga hal : kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengar orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control), cinta serta rasa kasih sayang (affection).
5. Tindakan : Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dihendaki. Menimbukan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tidakan, kita harus berhasil lebih dulu menanamkan pengertian, membentuk dan menguhan sikap, atau menumbukan hubungan yang baik.


A. Faktor Personal Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

Psikologi Komunikasi

FAKTOR-FAKTOR PERSONAL YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MANUSIA

Ada dua macam psikologi sosial.
Psikologi sosial dengan huruf P besar
psikologi sosial dengan huruf S besar

Kedua pendekatan ini menekankan faktor-faktor psikologis dan faktor-faktor sosial. Atau dengan istilah lain faktor-faktor yang timbul dari dalam individu (faktor personal),dan faktor-faktor berpengaruh yang datang dari luar individu (faktor environmental).

McDougall menekankan pentingnya faktor personal dalam menentukan interaksi sosial dalam membentuk perilaku individu. Menurutnya, faktor-faktor personallah yang menentukan perilaku manusia.

Menurut Edward E. Sampson, terdapat perspektf yang berpusat pada persona dan perspektif yang berpusat pada situasi. Perspektif yang berpusat pada persona mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa instik, motif, kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar terdapat dua faktor.
Faktor Biologis
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Pentingnya kita memperhatikan pengaruh biologis terhadap perilaku manusia seperti tampak dalam dua hal berikut.
Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan perngaruh lingkungan atau situasi.
diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis. Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan makan-minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya.


Faktor Sosiopsikologis
Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen.
Komponen Afektif

merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.
Komponen Kognitif
Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.
Komponen Konatif
Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.


PERTANYAAN!!

Jelaskan tentang Perspektif yang berpusat pada situasi!

MOTIF SOSIOGENESIS

Motif sosiogenesis disebut juga dengan motif sekunder sebagai lawan motif primer (motif biologis). Berbagai klasifikasi motif sosiogenesis :


W.I Thomas dan Florian Znanieckci :

1. Keinginan memperoleh pengalaman baru
2. Keinginan untuk mendapatkan respons
3. Keinginan akan pengakuan
4. Keinginan akan rasa aman

David McClelland :
Kebutuhann berprestasi (need for achievement)
Kebutuhan akan kasih sayang (need for affiliation)
Kebutuhan berkuasa (neef for power)

Abraham Maslow :
Kebutuhan akan rasa aman (safety needs)
Kebutuhan akan keterikatan dan cinta (belongingness and love needs)
Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs)
Kebutuhan untuk pemenuhan diri (self-actualization)

Melvin H.Marx :
Kebuthan organismis :
Motif ingin tahu (curiosity)
Motif kompetensi (competence)
Motif prestasi (achievement)
Motif-motif sosial :
Motif kasih sayang (affiliation)
Motif kekuasaan (power)
Motif kebebasan (independence)


Motif sosiogenesis dapat dijelaskan dibawah ini :

1. Motif ingin tahu : mengerti menata dan menduga. Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya.
2. Motif kompetensi : setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun
3. Motif cinta : sanggup mencintai dan dicintai adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian.

4. Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas : erat kaitannya dengan kebutuhan untuk memperlihatkan kemampuan dan memperoleh kasih sayang, ialah kebutuhan untuk menunjukan eksistensi di dunia ini.

5. kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna hidup : Dalam menghadapi gejolak kehidupan, manusia membutuhkan nilai-nilai untuk menuntunnya dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada kehidupannya.

6. Kebutuhan akan pemenuhan diri : Kita bukan saja ingin mempertahankan hidup, kita juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan diri kita; ingin memenuhi peotensi-potensi kita.


PERTANYAAN!!

Jika motif sosiogenesis mempunyai peranan yang penting dalam membentuk perilaku sosial, mengapa disebut motif sekunder?

B. KONSEPSI MANUSIA DALAM PSIKOANALISIS


Sigmund Freud, pendiri psikoanaliss adalah orang yang pertama berusaha merumuskan psiologi manusia. Ia memfokuskan perhatiannya kepada totalitas kepribadian manusia.

Menurut Freud perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsitem dalam kepribadian manusia :
Id
Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat manusia hewani.
Ego
Ego berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas dunia luar. Ego adalah mediator anatara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego dapat menundukan manusia terhadap hasrat hewaninya.
Superego
Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal. Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.
Dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego).

PERTANYAAN!!

Sebutkan contoh perilaku orang yang mencerminkan Id, Ego, dan Superego!


TEORI BEHAVIORISME


Teori Behaviorisme Adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan.Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Edward Edward Lee Thorndike (1874-(1874-1949))

Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.

Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936)
Teori pelaziman klasik

Adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi dengan stimuli tertentu yang tidak terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan.


Skinner (1904-1990)
Skinner menganggap reward(penghargaan) dan rierforcement(peneguhan) merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.

Albert Bandura (1925-sekarang)
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar.

Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.


Format Diskusi

Psikologi Komunikasi

a. Diskusi Meja Bundar :


Kelebihan :

- menyebabkan arus komunikasi yang bebeas di antara anggota-anggota kelompok
- terjadi jaringan komunikasi semua saluran
- memudahkan partisipasi spontan yang lebih demokratis daripada susunan meja segi empat yang lebih otokratis dan kaku
- memungkinkan individu berbicara kapan saja tanpa ada agenda yang tetap.
- Mengisyaratkan waktu yang tidak terbatas dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.
- Lebih informal


Kekurangan:
- Sifatnya terbatas
- Tidak dapat digunakan dalam diskusi yang bersifat formal.

Contoh : Diskusi dalam belajar kelompok

b. Simposium :

Kelebihan :
- Simposium menyajikan informasi untuk dijadikan suber rujukan khalayak dalam mengambil keputusan pada waktu yang akan datang
- Informasi diklasifikasikan berdasarkan urutan logis, perbedaan titik padang, atau pemecahan alternatif
- Setiap bagian dari pokok bahasan diulas oleh seorang pembicara pada waktu yang sudah ditentukan
- Hadirin dapat mendiskusikannya dalam forum yang diatur oleh moderator, sehingga proses diskusinya pun menjadi sangat teratur dan rapi.
- Dapat dipakai pada kelompok besar maupun kecil.
- Dapat mengemukakan informnasi banyak dalam waktu singkat.
- Pergantian pembicara menambah variasi dan sorotan dari berbagai segi akan menjadi sidang lebih menarik.
- Dapat direncanakan jauh sebelumnya.


Kekurangan :
- Kurang spontanitas dan kneatifitas karena pembahas maupun penyanggah sudah ditentukan.
- Kurang interaksi kelompok.
- Menekankan pokok pembicaraan.
- Agak terasa formal.
- Kepribadian pembicara dapat menekankan materi.
- Sulit mengadakan kontrol waktu.
- Secara umum membatasi pendapat pembicara.
- Membutuhkan perencanaan sebelumnya dengan hati-hati untuk menjamin jangkauan yang tepat.
- Cenderung dipakai secara berlebihan.


Contoh : Konfrensi Pers

c. Diskusi Panel :

Kelebihan :
- Membangkitkan pikiran.
- Mengemukakan pandangan yang berbeda-beda.
- Mendorong ke analisis lebih lanjut.
- Memanfaatkan para ahli untuk berpendapat dan proses pemikirannya dapat membelajarkan orang lain.

Kelemahan :
- Mudah tersesat bila moderator tidak terampil.
- Memungkinkan panelis berbicara terlalu banyak.
- Tidak memberi kesempatan peserta untuk berbicara.
- Cenderung menjadi serial pidato pendek.
- Membutuhkan persiapan yang cukup masak.

Contoh : Diskusi panel, biasanya untuk membahas suatu hal yang membutuhkan banyak pembicara (panelis I, Panelis II, Panelis III). Misalnya ketika terdapat diskusi tentang “pengelolaan sampah di bandung”, maka panelis2nya adalah orang-orang yang berhubungan dengan masalah tersebut dengan jabatan yang berbeda.

d. Kolokium :

Kelebihan :
- Memberian kesempatan kepada wakil-wakil khalayak untuk mengajukan pertanyaan yang sudah dipersiapkan kepada seorang atau beberapa orang ahli
- Bersifat teratur dan formal

Kekurangan :
- Diskusi diatur secara ketat oleh moderator sehingga penanya tidak dapat bertanya dengan leluasa
- Ahli biasanya hanya diizinkan menjawab pertanyaan, tidak boleh bertanya.

Contoh : di amerika biasanya terdapat perdebatan terbuka antar calon presiden ”public debate”

e. Forum (ceramah)

Kelebihan :
- Menambah pandangan dengan reaksi pengunjung.
- Dapat dipakai terutama pada kelompok yang besar.
- Dapat dipakai untuk menyajikan keterampilan yang banyak dalam waktu singkat.
- Pergantian pembicara menambah vaniasi.
- Reaksi pengunjung mendorong pengunjung untuk mendengarkan dengan lebih banyak perhatian.

Kelemahan :

- Membutuhkan banyak waktu.
- Pribadi masing-masing pembicara dapat memaksakan pada materi yang kurang tepat
- Tanggapan dari kelompok tertunda.

- Sulit mengendalikan waktu.
- Periode forum mudah terulur.

Contoh : Komunikator menggabungkan pertanyaannya sendiri, pertanyaan dari khalayak dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang digabungkan untuk menghasilkan suatu diskusi terbuka yang informatif dan menghibur.

f. Prosedur Parlementer


Kelebihan :
- diskusi akan berjalan sangat teratur karena terdapat peraturan tata tertib selama mengadakan diskusinya.
- secara ketat memaksa kelompok mendiskusikan hanya satu persoalan pada satu saat

Kekurangan :

- hanya dengan suara dua pertiga diskusi dapat dihentikan
- yang boleh bicara diatur oleh ketua. Sehingga orang lain yang mempunyai ide-ide kreatif akan tersendat bila tidak ditunjuk oleh ketuanya.
- Segala hal ditentukan dalam sidang sehingga, sudah dapat diramalkan waktu bicara seseorang.

Contoh : Sidang di Parlemen



by: http://jurusankomunikasi.blogspot.com/2009/04/apa-itu-psikologi-komunikasi.html

Jumat, 14 Oktober 2011

Diskusi Psikologi : Terorisme dalam Perspektif Psikologi dan Sosiologi

By. Soleh Amini Yahman.
Sabtu, 15 Oktober 2011


Etiologi munculnya aksi-aksi terorisme di Indonesia bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam kesempatan ini saya mencoba melihat masalah terorisme ini dari sudut pandang psikologi social dan sosiologi cultural. Secara psikologis aksi aksi terorisme di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh dua sebab utama yaitu (1) krisis kepercayaan kepada system kehidupan social politik dan cultural. Sebab ke dua adalah karena factor pelemahan idiologi psikologis pelaku itu sendiri.



1. Krisis kepercayaan atas system kehidupan social politik (termasuk ekonomi, pendidikan, hokum dll) menyebabkan sebagian orang merasa frustrasi, marah, jengkel dan bahkan kecewa dengan keadaan. Kondisi yang demikian ini menghantarkan kehidupan kejiwaann yang labil. Labilitas kehidupan jiwa inilah yang melemahkan pertahanan emosi seseorang sehingga kepadanya sangat mudah dipengaruhi, diprovokasi untuk melakukan pembencian terhadap system kehidupan social kenegaraan dan pemerintahan yang dianggap bertanggung jawab atas kehidupan social pada umumnya. Perilaku kebencian (hostility) ini dapat mewujut dalam perilaku individual, kelompok maupun perilaku yang lebih terorganisasi dalam bentuk bentuk kelompok yang mengaku atau mengatasnamakan agama, jihad, perjuangan fisabillilah, amar makruf/nahi mungkar dan lain sebagainya. Pada tataran ini, aksi terorisme mungkin saja belum mewujut dalam bentuk kekerasan frontal semacam peledakan bom atau penghancuran penghancuran yang sifatnya massif, tetapi baru sebatas aksi aksi massa seperti unjuk rasa. Target sementara gerakan terror macam ini adalah untuk menimbulkan rasa takut pada masyarakat, sehingga berefek pada tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan yang tidak stabil. Pemerintah diposisikan sebagai pihak yang tidak bisa melindungi atau tidak bisa memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Kondisi labil dalam tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan inilah yang sengaja diciptakan oleh penggerak penggerak aksi (terror) semacam ini. Meski aksi aksi ini belum frontal, tetapi hal ini merupakan potensi laten untuk terjadinya letupan terror yang lebih dahsyat berupa gerakan destruktif (penghancuran massal), agresif dan berkembanganya pola pola perilaku yang berbasis pada kekerasan atau violance. Kebencian adalah awal terjadinya petaka terror dalam kehidupan umat. Terorisme menjadi semakin subur ketika KITA tidak mampu menumpulkan rasa benci ,baik kebencian individu kepada individu maupun individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok.
2. Pelemahan idiologi psikologis
Aksi-aksi terror dalam bentuk bom bunuh diri lebih disebabkan oleh terjadinya pelemahan idiologi psikologis seseorang. Yaitu penumpulan intelektualitas tersengaja dan terstruktur yang dilakukan oleh pihak atau person-person tertentu yang mempunyai otoritas kharismatika yang kuat (luar biasa) kepada seseorang atau sekelompok orang yang secara idio psikologis tidak kuat (tidak percaya diri, konsep diri kagak jelas, kecewa atau frustrasi/patah hati, merasa tertindas dsb). Pelemahan idio psikologis melalui penumpulan inteketualitas tersengaja/terstruktur ini berakibat seperti cuci otak atau brain washing pada kehidupan individu atau kelompok sehingga mudah diindoktrinasi dengan nilai nilai tertentu (seperti jihad, kejuangan, bela Negara, bela islam dan aneka nilai yang seakan akan berujung pada kepahlawanan dsb walau semua itu sudah dibelokkan oleh sang indoktrinatornya). Pelemahan intelektualitas inilah sumber masuknya “kesediaan” bunuh diri pada para pelaku aksi bom bunuh diri. Mungkin saja secara akademik, pelaku bom bunuh diri ini bukanlah orang yang bodoh, bahkan merupakan lulusan terbaik dari sekolah atau lembaga pendidikan tertentu yang bonafid. Tetapi secara intektualitas dan sensitifitas afeksi mereka sangat bodoh. Kecerdasan afeksinya berada pada level terendah. Orang orang yang memiliki kecerdasan afektif rendah pada umumnya memang sangat mudah disulut untuk melakukan aksi aksi atau tindakaan yang sebenarnya konyol/tolol dan tidak bernilai, tetapi dipersepsikan sebagai tindkan mulia dan berpahala besar.
3. Pandangan Sosiologi : secara sosiologis, terorisme adalah merupakan sebuah paham yang mengajarkan cara cara “perjuangan” dengan cara menyebar terror atau melakukan aksi-aksi menyebar rasa takut demi mencapai tujuan tertentu, baik tujuan kelompok maupun tujuan pribadi. Pelaku aksi dapat mengerjakan aksi terornya secara orang perorang untuk pencapaian tujuan pribadi atau dilakukan secara bersama/terorganisasi untuk tujuan . Jadi apapun bentuk aksinya dan siapapun pelakunya, selama aksi tersebut menimbulkan ketakutan kolektif yang mencekam kehidupan masyarakat, maka aksi atau tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai aksi Terorisme.
4. Mengapa Melakukan Teror ? : aksi aksi terror yang belakangan ini kembali mengguncang ketentraman hidup masyarakat, disebabkan bukan oleh satu factor tunggal melainkan disebabkan oleh terjadinya interplay multifactor. Artinya aksi aksi tersebut bukan hanya disebabkan oleh satu factor saja (misalnya fanatisme agama) melainkan oleh banyak factor , dimana diantara factor factor penyebab tersebut terkait satu sama lain dan dimainkan secara bersama sama. Dari berbagai factor tersebut ada empat unsur pokok yang saya lihat menjadi factor dominan pecahnya aksi terorisme, yaitu : (1) ketidakadilan dan ketimpangan social ekonomi yang menyebabkan terbukanya perasaan terkoyak dan terdzalimi , (2) melemahnya konsep dasar intimitas relasi social oraganik yang menyebakan melebarnya ‘jarak sosial’ dan keruhnya ukhuwah wathaniah maupun ukhuwah social antar warga masyarakat, (3) masuknya (intervensi) nilai nilai baru dari berbagai belahan dunia sehingga merubah tata nilai social-kultural dan memporak porandakan sendi sendi kehidupan social indegenius masyarakat, (4) tidak berfungsinya lembaga-lembaga social kemasyarakat dalam memberdayakan potensi-potensi postif yang dipunyai masyarakat. Mereka lebih asyik berpolitik dan bercengkrama dengan kelompoknya sendiri-sendiri sehingga meminggirkan peran serta aktif masyarakat serta abai terhadap ‘urusan’ bersama. Nah akibatnya potensi positf yang semestinya menjadi modal pembangunan berbelok arah menjadi ledakan massif yang merusak tatanan pembangunan itu sendiri.

5. Apa yang Harus dibenahi ?
1. System pengelolaan tata kehidupan social politik yang selama ini cenderung berpusat pada kekuasaan dirubah menjadi system kehidupan social ekonomi politik yang berorientasi pada keseimbangan dan keadilan masyarakat.
2. Membenahi kualitas hubungan social –individual untuk mendekatkan/membangun proksimitas warga masyarakat (hal ini sudah banyak dilakukan oleh pemkot Surakarta, seperti membangun banyak open space yang dimaksud sebagai media srawung warga: Car Free Day setiap minggu di jl slamet riyadi, city walk, Sunday market, ngarsopura, galabo,merubah wajah wajah pasar tradisonal yang kumuh menjadi bersih, menutup usaha/tempat maksiat, membatasi ruang gerak peredaran miras, pagelaran dan festival budaya, atraksi seni dll).
3. Menyediakan fasiltas fasilitas pendidikan formal yang memadai dan merangsang tumbuhnya jiwa jiwa kreatif produktif, khususnya dikalangan anak anak muda.
4.

Selasa, 11 Oktober 2011

MENTAL PEMBELAJAR SANTRI PONDOK PESANTREN

(diskusi psikologi
tentang manajemen belajar bagi santri di pondok pesantren)

Drs. Soleh Amini Yahman.Msi. Psi
Pondok pesantren sebagai Institusi pendidikan di Indonesia memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh institusi pendidikan pada umumnya. Secara sosio akdemik Pondok pesantren dipandang sebagai institusi pendidikan khusus yang membawa misi khusus dan memiliki pola pengelolaan yang khusus pula.

Pondok Pesantren.
Pesantren atau pondok pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum agama dan ajaran Islam datang di tanah Nusantara ini. Oleh karena itu nama pondok pesantren itu sendiri berasal dari dua kata bahasa asing yang berbeda. Pondok berasal dari bahasa arab funduq yang berarti tempat menginap atau asrama (Dhofier, 1994). Kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe - dan akhiran -an , Kata santri, berasal dari bahasa Tamil (India) yang berarti para penuntut ilmu atau diartikan juga guru mengaji (Dhofier, 1994). Akibat dari makna yang dikandung oleh namanya itu, sebuah pondok pesantren selalu mempertahankan unsur-unsur aslinya, yaitu : pondok, masjid, pengkajian kitab-kitab klasik, santri, dan kiai (Dhofier, 1994). Kelima unsur tersebut selalu ada dalam setiap pondok peasantren.
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pondok pesantren, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun pada saat ini telah banyak terjadi perubahan pada lembaga pondok pesantren, namun inti fungsi utama tersebut masih tetap melekat pada pesantren, meskipun fungsi pesantren telah melebar tidak hanya pada kedua fungsi tersebut. Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga penyiaran agama tetap dijaga dan dipelihara oleh pesantren dari pengaruh modernisasi. Ini dilakukan karena pesantren mempunyai wilayah sosial yang mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi (Daud, 1995).
Namun demikian lembaga pondok pesantren tidak semata-mata hanya dilihat sebagai salah satu manifestasi dari keislaman, melainkan harus dilihat pula sebagai sesuatu yang ’bersifat indonesia’ karena sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun, lembaga pondok sudah ada di Indonesia. Jelasnya, pondok adalah merupakan hasil penyerapan akulturasi dari masyarakat Indonesia terhadap kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam yang kemudian menjelmakan suatu lembaga yang lain, dengan warna Indonesia, yang berbeda dengan apa yang dijumpai di India atau Arab (Rahardja.1995).
Pondok dengan cara hidupnya yang kolektif barangkali malahan merupakan salah satu perwujudan atau wajah dari semangat dan tradisi dari lembaga gotong royong yang umum terdapat di masyarakat pedesaan. Nilai nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (tolong menolong atau koperasi), ittihad (persatuan), thalabul ‘ilmu (menuntut ilmu), ikhlas (ihlas), jihat (berjuang), thaat (patuh kepada tuhan, rasul, ulama, kiai dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin), dan berbagai nilai yang secara ekplisit tertulis sebagai ajaran Islam, ikut mendukung eksistensi pondok pesantren.
Inti pendidikan yang ditanamkan di pondok pesantren adalah pendidkan watak dan pendidikan keagamaan. Sebagai komunitas belajar keagamaan, pesantren mempunyai hubungan sangat erat dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam masyarakat pedesaan tradisionil, kehidupan keagamaan merupakan bagian yang menyatu dengan kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Tempat-tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan merupakan pusat kehidupan pedesaan, sedangkan pimpinan keagamaan di desa adalah merupakan sesepuh yang berwibawa yang diakui nasihat dan petunjuk-petunjuknya oleh masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan pesantren, kiai mempunyai kedudukan sangat penting, ia merupakan figur central dari dinamika sebuah pondok pesantren, terutama pada pondok pesantren tradisonal.
Pada tataran pondok pesantren tradisional, asal usul pesantren, biasanya memang diawali oleh bermukimnya seorang kiai pada suatu tempat tertentu. Tempat ini kemudian didatangi oleh para santri (pelajar) yang ingin belajar mengaji kepadanya. Para santri ini dilayani oleh kiai tersebut dengan suka rela. Setelah beberapa waktu, datanglah kepada kiai itu seorang demi seorang warga masyarakat sekitarnya, yang kemudian disusul oleh warga tetangga desa yang terdekat, orang dari daerah lain dan seterusnya ( Chirzin, 1979).
Sistem Pengajaran Pada Pesantren
Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren (tradisional) , dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, di mana di antara masing-masing sistem mempunyai ciri khas tersendiri , yaitu :
a. Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti ”sodoran atau yang disodorkan”. Yang dimaksud dengan sistem sorogan adalah sistem belajar seorang santri yang menyorog-kan (menyodorkan) kitab yang akan dikajinya kepada kiai, memohon agar dibimbing mempelajari kitab tersebut. Sistem sorogan ini memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar yang bersifat personal, karena santri dilayani sebagai pribadi oleh kiai, tidak bersama-sama dengan santri yang lain. Dalam sistem sorogan ini, seorang santri bebas menentukan program yang dipilihnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Ia bebas pula menentukan kitab-kitab yang akan dikajinya dan bebas pula memilih guru atau kiai yang membimbingnya. Santri yang memilih sistem ini mengevaluasi sendiri hasil studinya. Kenaikan tingkat pun ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan dengan berpindahnya buku kajian yang dipergunakan. Mereka yang telah tamat mengkaji buku-buku tertentu, tidak diberikan ijazah atau sertifikat oleh pesantren bersangkutan, karena ijazah, menurut kalangan pesantren diberikan oleh masyarakat kelak, kalau masyarakat menerima dia dan mengakui ilmu serta kecakapannya.
Kiai yang menangani pengajaran dengan sistem sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab. Sistem sorogan ini menggambarkan, bahwa seorang kiai di dalam memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.
Sistem sorogan yang memberikan pelayanan personal dan kebebasan kepada santri untuk menentukan program studinya itu, serta keikutsertaannya dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dirinya, merupakan sistem memberikan iklim yang baik bagi pertumbuhan pribadi santri yang bersangkutan, kemampuan berinovasi dan bertanggung jawab sendiri mengenai pilihan dan tindakan yang dilakukannya (Chirzin, 1979).
b. Bandongan
Sistem pengajaran bandongan ini sering disebut dengan halaqah. Dalam sistem ini kelompok santri yang terdiri lima sampai lima ratus orang santri, medengarkan seorang kiai atau guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri (menyimak) dan membuat catatan-catatan yang diperlukan ditempat-tempat kosong pada kitab yang dipegangnya. Dalam pelaksanaannya para santri duduk melingkar belajar bersama di bawah bimbingan seorang guru. Sistem bandongan ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi para santri.
Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah ini lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara kiai berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukalaf. Kiai tidak memperdulikan apa yang dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kiai dalam hal ini memandang penyelenggaraan pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah SWT.
Sistem bandongan ini relatif lebih sulit dibandingkan dengan sistem pengajaran sorogan. Karena sulitnya pelaksanaan sistem ini, banyak murid pengajian di daerah pedesaan yang gagal mengikutinya. Dalam bahasa SKS (satuan kredit semester) banyak santri yang DO (droup out) karenanya. Oleh karena itu, sistem sorogan seyogyanya dilakukan lebih dahulu, sebelum mengikuti sistem bandongan. Pelaksanaan pengajian/pengajaran dengan sistem bandongan ini oleh masyarakat pesantren di Jawa Timur sering disebut weton, atau sekurang-kurangnya membaurkan saja istilah tersebut.
c. Weton.
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian atau pengajaran weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada setiap hari Jum’at dan sebagainya. Apa yang hendak ’dibedah’ kiai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang biasanya atau dipastikan dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-kadang guru hanya memetik di sana sini saja. Peserta pengajian weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kiai kepada peserta pengajian bermacam-macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan secara bebas.
Tridharma Pondok Pesantren
di dalam menjalankan fungsi dan peranannya, kegiatan pondok pesantren tercakup dalam tri dharma pondok pesantren, yaitu :
1. Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
2. Pengembangan keilmuan yang bermanfaat’
3. Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara (Hasbullah, 1996)
Bagaimana Menata Belajar di Pesanten?
Berangkat dari kekhasan model pembelajaran yang ada di pesantren maka cara belajar siswa santri pondok pesantren pun sedikit berbeda dengan cara belajar siswa siswi pada umumnya. Letak pokok perbedaan tersebut adalah pada aspek kemandirian dan pengambilan keputusan dalam belajar. Di pondok pesantren (boarding school) siswa santri dituntut untuk secara mandiri mengambil keputusan dalam proses pembelajarannya. Meskipun secara psikologis siswa santri PP belum dapat digolongkan sebagai manusia dewasa penuh, tetepi mereka dipaksa harus bersikap secara dewasa. Namun secara umum (dalam tinjauan psikologis) apapun model pembelajaran yang dijalankan siswa/santri sebagai peserta didik adalah sama saja. Mari kita ikuti bersama pemaparan lebih jauh tentang cara belajar efektif di pesantren.
1. Apakah Belajar itu ?
Belajar adalah merupakan aktivitas mental tingkat tinggi yang melibatkan unsur kognisi, afeksi, konasi dan psikomotorik. Untuk dapat belajar secara baik, sehat dan benar diperlukan mental yang sehat, fisik yang sehat dan sikap yang sehat.
Landasan utama bagi pembentukan cara belajar yang baik pada setiap diri siswa/santri ialah memiliki sikap mental tertentu. Suatu sikap mental yang ditumbuhkan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya akan membuat seorang siswa/santri mempunyai senjata berupa kesediaan mental . Tanpa kesiapan mental itu para siswa/santri pada umumnya tidak akan dapat bertahan terhadap berbagai kesukaran-kesukaran yang dihadapi di bangku sekolah . Sikap mental yang perlu diusahakan oleh setiap mahasiswa sekurang-kurangnya meliputi empat segi, yaitu:

1. Tujuan Belajar
2. Minat terhadap Pelajaran
3. Kepercayaan pada diri sendiri
4. Keuletan

Tujuan Belajar
Belajar harus diarahkan kepada suatu cita-cita tertentu. Cita-cita yang diperjuangkan dengan berbagai kegiatan belajar itu lalu menjadi tujuan belajar dari setiapSiswa/santri. Biasanya tujuan belajar bersambung pula dengan tujuan hidupnya. Apakah kelak ia ingin menjadi ahli hukum, pengacara, notaris, akuntan, insinyur, dokter, militer, dai, kyai, ulama dan sebagainya. Tujuan belajar yang bersambung dengan cita-cita di masa depan itu akan merupakan suatu pendorong untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tanpa motif tertentu , semangat belajar seseorang siswa/santri akan mudah padam karena ia tidak merasa mempunyai sesuatu kepentingan yang harus diperjuangkan. Oleh karena itu, karena saat ini anda telah menentukan pilihan pada institusi pondok pesantren maka , bulatkan tekad dan cita-cita anda untuk menjadisantri yang baik. Kalau cita-cita anda di luar dunia pengetahuan agama maka lebih baik anda segera cabut dari Pesantren saat ini juga. Jangan sekolah/belajar karena prinsip” daripada nggak sekolah”, atau karena tidak diterima di sekolah lain !!
Dalam menentukan cita-cita itu, hendaklah seorang pelajar tidak semata-mata berpegang pada hasrat hatinya saja. Kemampuan diri sendiri juga harus diperhitungkan. Telitilah kelemahan-kelemahan diri sendiri berdasarkan angka-angka raport selama di sekolah sebelumnya. Kemampuan keuangan juga perlu diperhitungkan, jangan sampai sekolah berhenti di tengah jalan karena ketiadan biaya.
1. Minat Terhadap Pelajaran.
Setelah mulai belajar, hendaknya setiap siswa/santri menaruh minat yang sebasar-besarnya terhadap pelajaran yang diikuti. Minat itu tidak hanya ditujukan kepada satu atau dua mata pelajaran yang pokok saja, melainkan juga terhadap semua mata pelajaran. Suatu mata pelajaran (mata kuliah) hanya akan dapat dipelajari dengan baik apabila si pelajar dapat memusatkan perhatiannya terhadap pelajarannya itu. Minat merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya konsentrasi itu. Dengan kata lain tanpa minat tidak akan terjadi perhatian. Contoh misalnya : Seorang pecatur atau pemain kartu, dapat sehari penuh duduk dan memusatkan perhatian dan pikirannya bermain catur atau kartu, karena ia mempunyai minat yang besar terhadap catur dan kartu. Demikian pula seorang pemancing yang mampu duduk berjam-jam di tengah gelapnya malam atau teriknya matahari, karena ia sangat berminat dan menyukai pekerjaan memancing.
Minat selain memungkinkan pemusatan perhatian, juga akan menimbulkan kegembiraan dalam usaha belajar. Keriangan hati akan memperbesar daya kemampuan belajar seseorang dan juga membantunya untuk tidak mudah melupakan apa yang dipelajarinya itu. Belajar dengan perasaan yang tidak gembira akan membuat pelajaran itu terasa sangat berat.
2. Kepercayaan Pada Diri Sendiri.
Setiap siswa/santri harus yakin bahwa ia mempunyai kemampuan untuk memperoleh hasil yang baik dalam usaha belajarnya. Dengan adanya self confidance (rasa percaya diri ) dan self acceptance (penerimaan diri sendiri) ini mahasiswa pasti akan dapat mengikuti dan mengerti pelajaran-pelajaran di pesantrennya/disekolahnya dengan baik. Namun demikian, dalam membangun rasa percaya diri ini seorang siswa/santri juga harus rasional , dalam arti tidak asal percaya diri tanpa mempersiapkan diri dengan baik. Rasa percaya diri harus dibarengi dengan sikap waspada, sehingga siswa/santri tidak terjebak pada sikap “asal wani’ dan asal maju saja. Kalau ini yang terjadi, maka ini namanya sembrono.
Setelah belajar dengan baik, ujian-ujian hendaknya diikuti dengan penuh percaya diri. Jangan merasa ragu-ragu untuk menempuh ujian, selama anda telah benar-benar mempersiapkan diri dengan belajar sebelumnya. Kata “belajar” yang dimaksud di sini bukan sekedar menghafal materi pelajaran semalam suntuk, tetapi lebih pada memahami (understanding) pada isi pelajaran.
Siswa/santri yang memiliki rasa percaya diri postip, pasti tidak akan pernah melakukan kecurangan-kecurangan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Misalnya mencontek, menyalin pekerjaan teman atau memanipulasi tugas dengan membohongi guru/ustad-nya dan sebagainya. Menyontek adalah cerminan tidak adanya rasa percaya diri. Kalau masalahnya takut tidak lulus maka penyelesainnya bukan dengan cara menyontek, tetapi dialogkan dengan guru/ustad mengapa setelah menempuh 2 atau 3 kali ujian koq belum lulus juga. Hindari tindakan menyontek sejak awal anda sekolah. !!
Kepercayaan pada diri sendiri perlu sekali dipupuk sebagai salah satu persiapan rohani untuk berjuang disekolah/pondok pesantren. Kepercayaan itu dapat dipupuk dan dikembangkan dengan jalan belajar tekun. Hendaknya setiap siswa/santri menginsafi sepenuhnya bahwa tidak ada mata pelajaran yang tidak dapat dipahami kalau ia mau belajar dengan giat setiap hari. Selanjutnya hendaknya siswa/santri tidak terlampau bergantung diri kepada kawan di dalam usaha belajarnya. Tugas tugas mandiri (take home examination) cobalah selalu diselesaikan sendiri, baru kalau benar-benar mentok dibahas bersama-sama teman lainnya.
3. Keuletan
Yang memulia pekerjaan itu banyak, tetapi yang dapat bertahan hingga proses pekerjaan itu berakhir hanyalah sedikit, Demikian pula yang memasuki pondok pesantren setiap tahunnya sangat banyak, tetapi yang bisa bertahan sampai pelajarannya selesai tidaklah banyak.
Kehidupan siswa/santri selama belajar di PP itu penuh dengan kesulitan- kesulitan. Mulai dari kesulitan akademik, kesulitan finansial, kesulitan sosiokultural, kesulitan lingkungan dan sebagainya, Kesulitan-kesulitan tersebut akan lebih terasa bagi siswa/santri yang jauh dari keluarga atau berasal jauh dari luar kota. Oleh karena itu setiap siswa/santri harus mempunyai “keuletan” dan kesemamptaan jasmani rohani, mental maupun fsiknya. Keuletan rohani jasmani akan membuat mahasiswa beranai menghadapi segala kesulitan dan tidak mudah putus asa. Untuk memupuk keuletan itu maka hendaklah kesulitan itu ditempatkan / dipandang sebagai tantangan yang harus dihadapi bukan sebagai penghambat yang membuatnya nglokro. Motivasi yang kuat akan menjadi sumber yang besar dalam menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan tadi.

Individu dan Kelompok (Ringkasan Kuliah)

Di dalam interaksi sosial akan menyebabkan munculnya suasana kebersamaan (togetherness) diantara individu-individu yang terlibat. Di dalam psikologi sosial kemudan muncul istilah situasi sosial , yaitu tiap-tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Menurut M Sherif, situasi sosial dapat di bagi ke dalam dua golongan :


1. Situasi Kebersamaan (togetherness situation)
Situasi dimana sejumlah orang berkumpul pada lokasi dan waktu tertentu. Diantara orang orang tersebut mungkin tidak saling kenal karena merupakan sutau kebetulan. Faktor-faktor yang penting dalam situasi kebersamaan ini adalah bukan interaksi sosial yang mendalam tetapi adanya sejumlah orang, karena kepentingan bersama, dan berkumpul di suatu tempat. Misalnya orang yang berkumpul pada sebuah warung.
2. Situasi Kelompok Sosial (Group Situation)
Di dalam situasi kelompok selain individu-individu tersebut melakukan interaksi, mereka juga saling mengenal. Hubungan yang terjadi selain hubungan pribadi juga terjadi hubungan struktural dan hierarkis. Ada pembagian tugas diantara anggotanya, ada aturan-aturan atau norma yang berlaku.
Situasi kebersamaan sangat mungkin berubah menjadi situasi kelompok. Jika tidak terkendali situasi kebersamaan juga bisa berubah menjadi massa (colective behavior), yang sangat mungkin juga berubah menjadi crowd (social movement). Ciri-ciri crowd adalah suatu masa yang kacau dan bersifat agresif.
Timbulnya massa biasanya disebabkan : kurangnya kebutuhan pokok, ancaman dari luar, ada kejadian yang menarik.
Kelompok Sosial
Secara umum diartikan sebagai kumpulan individu yang sering mengadakan interkasi (face to face), selain terdapat hubungan pribadi juga terdapat hubungan struktural dan hirarkis (hubungan antara yang memimpin dengan yang dipimpin).
Sifat-sifat kelompok :
1. Saling tergantung diantara para anggota kelompok sehingga membentuk pola ertentu yang mengikat mereka
2. Tiap orang / anggota mengakui dan mentaati nilai-nilai, norma-norma serta pedoman tingkah laku di dalam kelompok itu.
Pada setiap kelompok akan selalu muncul norma-norma yang digunakan dakan kelompok tersebut. Norma secara umum merupakan ukuran-ukuran atau peratura-peraturan bagi perbuatan manusia. Menurut Sherif & Sherif norma adalah pengertian yang seragam antara anggota kelompok mengenai cara-cara bertingkah laku yang patut dilakukan oleh anggota kelompok bila mereka berhadapan dengan situasi yang berkaitan dengan kehidupan kelompok.
Pada setiap masyarakat sebenarnya ada nilai-nilai yang dipegang oleh para angotanya dan terwujud dalam pola tingkah laku masyarakat atau dalam sistem norma sosial. Masing-masing kelompok atau masing-masing masyarakat biasanya mempunyai norma yang berbeda-beda, hal ini biasanya disebabkan oleh
- faktor geografis
- status sosial
- faktor perbedaan tujuan kelompok.
Secara umum norma ada 2 yaitu norma tertulis dan tidak tertulis.
Ada beberapa alasan atau sebab mengapa seseorang memasuki atau bergabung dengan sebuah kemompok :
1. Tertarik pada individu di dalam kelompok tersebut
2. Tujuan kelompok dinilai sebagai tujuan yang bermanfaat
3. Ingin berinteraksi dengan individu lain
4. Aktivitas yang dilakukan kelompok merupakan aktivitas yang menarik
5. Agar dapat mencapai tujuan sekunder.
Hasil dari semua kekuatan yang ada pada anggota kelompok untuk tetap tingal dalam kelompok atau untuk meninggalkan kelompok disebut Kepaduan Kelompok (Group Cohesiveness), (Festinger, 1950).
Tahap-tahap Terbentuknya Kelompok (Tuckman, 1965 dan Have 1976) adalah :
1. Fase Forming
Yaitu suatu fase dimana anggota kelompok harus mencoba menemukan sifat dan batasan tugas dan memperhatikan tingkah laku orang lain atau anggota lain.
2. Fase Storming
Pada fase ini ditandai adanya ketegangan dan seringkali dijumpai adanya konflik diantara anggota kelompok. Hal ini terjadi karena masing-masing anggota nenunjukkan kepentingannya masing-masing.
3. Fase Norming
Dalam fase ini mulai ada proses yang lancar, mulai ada saling pengertian dan harmonis, mulai terbentuk kepaduan dimana anggota saling menerima satu sama lain, mulai mengembangkan struktur kelompok dan peranan anggota dalam kelompok. Interaksi yang terjadi ditandai saling hormat.
4. Fase Performing
Orientasi kelompok pada fase ini sudah memusat pada tugas dan tujuan.
Seiring dengan terbentuknya kelompok, maka akan terbentuk pula kohesivitas kelompok. Menurut Sherif & Sherif (1969), indikator kohesivitas kelompok adalah :
1. Interpersonal attractiveness. Yaitu ketertarikan terhadap anggota kelompok.
2. Attractives of the group. Yaitu ketertarikan seseorang terhadap kelompok, misalnya ada rasa bangga dengan kelompok.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepaduan kelompok :
1. Penderitaan / siksaan bersama
2. Gaya kepemimpinan
3. Jumlah anggota
4. Kesuksesan kelompok dalam merealisir tujuan
5. Ancaman dari luar
Konformitas
Konformitas adalah menyerahnya seseorang untuk menerima tekanan kelompok. Berlawanan dengan perilaku konformitas maka ada perilaku yang berlawanan yaitu perilaku non-konformis.
Ada 2 tipe parilaku non-konformis :
1. Anti konformitas
Terjadi bila seseorang justru mempunyai pendapat, sikap, atau perilaku yang berbeda atau berlawanan dengan kelompok.
2. Independent
Perbedaan independen dengan anti konformitas adalah seseorang melakukan atau mempunyai sikap yang berbeda dengan tidak terpengaruh oleh orang lain tetapi karena memang sesuai dengan isi pikirannya.
Sikap atau perilaku non-konformis bisa disebabkan oleh :
1. Reactance (penolakan)
Terjadi karena individu merasa kebebasan dirinya dirampas melalui tekanan konformitas. Teori ini pertama kali disampaikan oleh Brahm (1966).
2. Mencari perhatian
Pada umumnya orang yang meminta perhatian terhadap lingkungan terlalu berlebihan dan apabila lingkungan tidak memberikan hal tersebut akan berakibat orang tersebut menjadi non konformis.
3. Ingin menjadi unik
Menurut Maslach (1982) bahwa orang yang menilai tinggi keunikan cenderung menolak konformitas. Selain itu ada sejumlah orang yang memang senang apabila dirinya bisa menjadi beda dengan kebanyakan orang, eksklusif.
4. De-individuation
Yaitu seseorang yang tidak mempunyai tanggung jawab pribadi karena berada dalam situasi kelompok. De-individuasi bisa mendorong orang untuk tidak konform dengan kelompoknya karena orang tidak di kenal identitasnya. Orang itu akan merasa lebih bebas melakukan segala sesuatu menurut kehendaknya. Dengan tanpa identitas diri ia merasa lebih mudah untuk melepas tanggung jawab yang sebenarnya ditanggung

Senin, 03 Oktober 2011

Film Tentang Cinta Melati 


Melati adalah seorang mahasiswi dan juga pekerja, ia bekerja untuk mengusir rasa kesepian karena seluruh keluarganya sibuk. Melati mempunyai pacar bernama Jaka dan dia adalah lelaki kasar yang juga matre.
Jaka sangat suka melakukan kekerasan fisik kepada melati.
Saya menonton film ini dan berpendapat bahwa tindakan Jaka yang kasar adalah kelainan psikologis yang di turunkan dari ayahnya, dan Melati yang terlalu penurut yang membuat Jaka semakin semena - mena.
Bagi saya seharusnya Melati tidak harus takut kehilangan Jaka dan merasa kesepian karena Jaka terlihat memeanfaatkan kelemahan Melati. Tetapi akhirnya Melati sadar dan sering hang out bersama teman - temannya dan meninggalkan Jaka, menurut saya itu adalah tindakan yang tepat yang harus dilakukan Melati 
Mencari kesibukan dan menghabiska waktu bersama teman - teman adalah cara yang tepat untuk mengusir kesepian.