Rabu, 08 Juni 2011
Ciri-Ciri Sekolah yang Melaksanakan Pembelajaran Aktif
Pembelajaran Aktif merupakan sebuah konsep pembelajaran yang dipandang sesuai dengan tuntutan pembelajaran mutakhir. Oleh karena itu, setiap sekolah seyogyanya dapat mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran aktif ini dengan sebaik mungkin. Dengan merujuk pada gagasan dari Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2010), berikut ini disajikan sejumlah indikator atau ciri-ciri sekolah yang telah melaksanakan proses pembelajaran aktif ditinjau dari aspek: (a) ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi; (b) sumber daya manusia; (c) lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar; dan (d) proses belajar-mengajar dan penilaian.
A. EKSPEKTASI SEKOLAH, KREATIVITAS, DAN INOVASI
Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, po bunga, tempat sampah)
Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali dalam satu tahun.
Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
Iklim sekolah lebih demokratis.
Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin.
Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan lainnya secara rutin.
Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang terkait (stakeholders).
B. SUMBER DAYA MANUSIA
Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta didik maupun guru.
Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang tua/komite sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan verbal kepada peserta didik.
Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan kegiatan belajar.
Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar kelas.
Peserta didik berani bertanya kepada guru.
Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.
C. LINGKUNGAN, FASILITAS, DAN SUMBER BELAJAR
Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan karya peserta didik yang baru.
Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga berdebu.
Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam buku cukup tinggi.
Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
Ada sarana belajar yang bervariasi.
Digunakan beragam sumber belajar.
D. PROSES BELAJAR-MENGAJAR DAN PENILAIAN
Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar antarmata pelajaran yang relevan.
Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar mengajar.
Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang dinilai. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk yang dihasilkan.
Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang dibutuhkan peserta didik.
Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian, sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam kompetensi tertentu.
==========
Sumber: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan Belajar Aktif; Buku I Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta.
==============
REFLEKSI:
Sejauhmana sekolah Anda telah mampu memenuhi indikator di atas?
Upaya apa yang bisa dilakukan agar sekolah-sekolah kita dapat memenuhi ciri-ciri di atas?
Note: Ini bukan tulisan saya, lebih lengkapnya silahkan Anda baca di AKHMAD SUDRAJAT: TENTANG PENDIDIKAN
Minggu, 05 Juni 2011
PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL
Oleh Amirul Mukminin
Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya?Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.
PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.
Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.
Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.
Sumber: http://re-searchengines.com/amukminin.html
Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya?Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.
PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.
Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.
Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.
Sumber: http://re-searchengines.com/amukminin.html
Langganan:
Postingan (Atom)