By. Soleh Amini Yahman.
Sabtu, 15 Oktober 2011
Etiologi munculnya aksi-aksi terorisme di Indonesia bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam kesempatan ini saya mencoba melihat masalah terorisme ini dari sudut pandang psikologi social dan sosiologi cultural. Secara psikologis aksi aksi terorisme di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh dua sebab utama yaitu (1) krisis kepercayaan kepada system kehidupan social politik dan cultural. Sebab ke dua adalah karena factor pelemahan idiologi psikologis pelaku itu sendiri.
1. Krisis kepercayaan atas system kehidupan social politik (termasuk ekonomi, pendidikan, hokum dll) menyebabkan sebagian orang merasa frustrasi, marah, jengkel dan bahkan kecewa dengan keadaan. Kondisi yang demikian ini menghantarkan kehidupan kejiwaann yang labil. Labilitas kehidupan jiwa inilah yang melemahkan pertahanan emosi seseorang sehingga kepadanya sangat mudah dipengaruhi, diprovokasi untuk melakukan pembencian terhadap system kehidupan social kenegaraan dan pemerintahan yang dianggap bertanggung jawab atas kehidupan social pada umumnya. Perilaku kebencian (hostility) ini dapat mewujut dalam perilaku individual, kelompok maupun perilaku yang lebih terorganisasi dalam bentuk bentuk kelompok yang mengaku atau mengatasnamakan agama, jihad, perjuangan fisabillilah, amar makruf/nahi mungkar dan lain sebagainya. Pada tataran ini, aksi terorisme mungkin saja belum mewujut dalam bentuk kekerasan frontal semacam peledakan bom atau penghancuran penghancuran yang sifatnya massif, tetapi baru sebatas aksi aksi massa seperti unjuk rasa. Target sementara gerakan terror macam ini adalah untuk menimbulkan rasa takut pada masyarakat, sehingga berefek pada tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan yang tidak stabil. Pemerintah diposisikan sebagai pihak yang tidak bisa melindungi atau tidak bisa memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Kondisi labil dalam tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan inilah yang sengaja diciptakan oleh penggerak penggerak aksi (terror) semacam ini. Meski aksi aksi ini belum frontal, tetapi hal ini merupakan potensi laten untuk terjadinya letupan terror yang lebih dahsyat berupa gerakan destruktif (penghancuran massal), agresif dan berkembanganya pola pola perilaku yang berbasis pada kekerasan atau violance. Kebencian adalah awal terjadinya petaka terror dalam kehidupan umat. Terorisme menjadi semakin subur ketika KITA tidak mampu menumpulkan rasa benci ,baik kebencian individu kepada individu maupun individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok.
2. Pelemahan idiologi psikologis
Aksi-aksi terror dalam bentuk bom bunuh diri lebih disebabkan oleh terjadinya pelemahan idiologi psikologis seseorang. Yaitu penumpulan intelektualitas tersengaja dan terstruktur yang dilakukan oleh pihak atau person-person tertentu yang mempunyai otoritas kharismatika yang kuat (luar biasa) kepada seseorang atau sekelompok orang yang secara idio psikologis tidak kuat (tidak percaya diri, konsep diri kagak jelas, kecewa atau frustrasi/patah hati, merasa tertindas dsb). Pelemahan idio psikologis melalui penumpulan inteketualitas tersengaja/terstruktur ini berakibat seperti cuci otak atau brain washing pada kehidupan individu atau kelompok sehingga mudah diindoktrinasi dengan nilai nilai tertentu (seperti jihad, kejuangan, bela Negara, bela islam dan aneka nilai yang seakan akan berujung pada kepahlawanan dsb walau semua itu sudah dibelokkan oleh sang indoktrinatornya). Pelemahan intelektualitas inilah sumber masuknya “kesediaan” bunuh diri pada para pelaku aksi bom bunuh diri. Mungkin saja secara akademik, pelaku bom bunuh diri ini bukanlah orang yang bodoh, bahkan merupakan lulusan terbaik dari sekolah atau lembaga pendidikan tertentu yang bonafid. Tetapi secara intektualitas dan sensitifitas afeksi mereka sangat bodoh. Kecerdasan afeksinya berada pada level terendah. Orang orang yang memiliki kecerdasan afektif rendah pada umumnya memang sangat mudah disulut untuk melakukan aksi aksi atau tindakaan yang sebenarnya konyol/tolol dan tidak bernilai, tetapi dipersepsikan sebagai tindkan mulia dan berpahala besar.
3. Pandangan Sosiologi : secara sosiologis, terorisme adalah merupakan sebuah paham yang mengajarkan cara cara “perjuangan” dengan cara menyebar terror atau melakukan aksi-aksi menyebar rasa takut demi mencapai tujuan tertentu, baik tujuan kelompok maupun tujuan pribadi. Pelaku aksi dapat mengerjakan aksi terornya secara orang perorang untuk pencapaian tujuan pribadi atau dilakukan secara bersama/terorganisasi untuk tujuan . Jadi apapun bentuk aksinya dan siapapun pelakunya, selama aksi tersebut menimbulkan ketakutan kolektif yang mencekam kehidupan masyarakat, maka aksi atau tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai aksi Terorisme.
4. Mengapa Melakukan Teror ? : aksi aksi terror yang belakangan ini kembali mengguncang ketentraman hidup masyarakat, disebabkan bukan oleh satu factor tunggal melainkan disebabkan oleh terjadinya interplay multifactor. Artinya aksi aksi tersebut bukan hanya disebabkan oleh satu factor saja (misalnya fanatisme agama) melainkan oleh banyak factor , dimana diantara factor factor penyebab tersebut terkait satu sama lain dan dimainkan secara bersama sama. Dari berbagai factor tersebut ada empat unsur pokok yang saya lihat menjadi factor dominan pecahnya aksi terorisme, yaitu : (1) ketidakadilan dan ketimpangan social ekonomi yang menyebabkan terbukanya perasaan terkoyak dan terdzalimi , (2) melemahnya konsep dasar intimitas relasi social oraganik yang menyebakan melebarnya ‘jarak sosial’ dan keruhnya ukhuwah wathaniah maupun ukhuwah social antar warga masyarakat, (3) masuknya (intervensi) nilai nilai baru dari berbagai belahan dunia sehingga merubah tata nilai social-kultural dan memporak porandakan sendi sendi kehidupan social indegenius masyarakat, (4) tidak berfungsinya lembaga-lembaga social kemasyarakat dalam memberdayakan potensi-potensi postif yang dipunyai masyarakat. Mereka lebih asyik berpolitik dan bercengkrama dengan kelompoknya sendiri-sendiri sehingga meminggirkan peran serta aktif masyarakat serta abai terhadap ‘urusan’ bersama. Nah akibatnya potensi positf yang semestinya menjadi modal pembangunan berbelok arah menjadi ledakan massif yang merusak tatanan pembangunan itu sendiri.
5. Apa yang Harus dibenahi ?
1. System pengelolaan tata kehidupan social politik yang selama ini cenderung berpusat pada kekuasaan dirubah menjadi system kehidupan social ekonomi politik yang berorientasi pada keseimbangan dan keadilan masyarakat.
2. Membenahi kualitas hubungan social –individual untuk mendekatkan/membangun proksimitas warga masyarakat (hal ini sudah banyak dilakukan oleh pemkot Surakarta, seperti membangun banyak open space yang dimaksud sebagai media srawung warga: Car Free Day setiap minggu di jl slamet riyadi, city walk, Sunday market, ngarsopura, galabo,merubah wajah wajah pasar tradisonal yang kumuh menjadi bersih, menutup usaha/tempat maksiat, membatasi ruang gerak peredaran miras, pagelaran dan festival budaya, atraksi seni dll).
3. Menyediakan fasiltas fasilitas pendidikan formal yang memadai dan merangsang tumbuhnya jiwa jiwa kreatif produktif, khususnya dikalangan anak anak muda.
4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar