Selasa, 11 Oktober 2011

MENTAL PEMBELAJAR SANTRI PONDOK PESANTREN

(diskusi psikologi
tentang manajemen belajar bagi santri di pondok pesantren)

Drs. Soleh Amini Yahman.Msi. Psi
Pondok pesantren sebagai Institusi pendidikan di Indonesia memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh institusi pendidikan pada umumnya. Secara sosio akdemik Pondok pesantren dipandang sebagai institusi pendidikan khusus yang membawa misi khusus dan memiliki pola pengelolaan yang khusus pula.

Pondok Pesantren.
Pesantren atau pondok pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum agama dan ajaran Islam datang di tanah Nusantara ini. Oleh karena itu nama pondok pesantren itu sendiri berasal dari dua kata bahasa asing yang berbeda. Pondok berasal dari bahasa arab funduq yang berarti tempat menginap atau asrama (Dhofier, 1994). Kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe - dan akhiran -an , Kata santri, berasal dari bahasa Tamil (India) yang berarti para penuntut ilmu atau diartikan juga guru mengaji (Dhofier, 1994). Akibat dari makna yang dikandung oleh namanya itu, sebuah pondok pesantren selalu mempertahankan unsur-unsur aslinya, yaitu : pondok, masjid, pengkajian kitab-kitab klasik, santri, dan kiai (Dhofier, 1994). Kelima unsur tersebut selalu ada dalam setiap pondok peasantren.
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pondok pesantren, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun pada saat ini telah banyak terjadi perubahan pada lembaga pondok pesantren, namun inti fungsi utama tersebut masih tetap melekat pada pesantren, meskipun fungsi pesantren telah melebar tidak hanya pada kedua fungsi tersebut. Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga penyiaran agama tetap dijaga dan dipelihara oleh pesantren dari pengaruh modernisasi. Ini dilakukan karena pesantren mempunyai wilayah sosial yang mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi (Daud, 1995).
Namun demikian lembaga pondok pesantren tidak semata-mata hanya dilihat sebagai salah satu manifestasi dari keislaman, melainkan harus dilihat pula sebagai sesuatu yang ’bersifat indonesia’ karena sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun, lembaga pondok sudah ada di Indonesia. Jelasnya, pondok adalah merupakan hasil penyerapan akulturasi dari masyarakat Indonesia terhadap kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam yang kemudian menjelmakan suatu lembaga yang lain, dengan warna Indonesia, yang berbeda dengan apa yang dijumpai di India atau Arab (Rahardja.1995).
Pondok dengan cara hidupnya yang kolektif barangkali malahan merupakan salah satu perwujudan atau wajah dari semangat dan tradisi dari lembaga gotong royong yang umum terdapat di masyarakat pedesaan. Nilai nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (tolong menolong atau koperasi), ittihad (persatuan), thalabul ‘ilmu (menuntut ilmu), ikhlas (ihlas), jihat (berjuang), thaat (patuh kepada tuhan, rasul, ulama, kiai dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin), dan berbagai nilai yang secara ekplisit tertulis sebagai ajaran Islam, ikut mendukung eksistensi pondok pesantren.
Inti pendidikan yang ditanamkan di pondok pesantren adalah pendidkan watak dan pendidikan keagamaan. Sebagai komunitas belajar keagamaan, pesantren mempunyai hubungan sangat erat dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam masyarakat pedesaan tradisionil, kehidupan keagamaan merupakan bagian yang menyatu dengan kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Tempat-tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan merupakan pusat kehidupan pedesaan, sedangkan pimpinan keagamaan di desa adalah merupakan sesepuh yang berwibawa yang diakui nasihat dan petunjuk-petunjuknya oleh masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan pesantren, kiai mempunyai kedudukan sangat penting, ia merupakan figur central dari dinamika sebuah pondok pesantren, terutama pada pondok pesantren tradisonal.
Pada tataran pondok pesantren tradisional, asal usul pesantren, biasanya memang diawali oleh bermukimnya seorang kiai pada suatu tempat tertentu. Tempat ini kemudian didatangi oleh para santri (pelajar) yang ingin belajar mengaji kepadanya. Para santri ini dilayani oleh kiai tersebut dengan suka rela. Setelah beberapa waktu, datanglah kepada kiai itu seorang demi seorang warga masyarakat sekitarnya, yang kemudian disusul oleh warga tetangga desa yang terdekat, orang dari daerah lain dan seterusnya ( Chirzin, 1979).
Sistem Pengajaran Pada Pesantren
Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren (tradisional) , dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, di mana di antara masing-masing sistem mempunyai ciri khas tersendiri , yaitu :
a. Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti ”sodoran atau yang disodorkan”. Yang dimaksud dengan sistem sorogan adalah sistem belajar seorang santri yang menyorog-kan (menyodorkan) kitab yang akan dikajinya kepada kiai, memohon agar dibimbing mempelajari kitab tersebut. Sistem sorogan ini memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar yang bersifat personal, karena santri dilayani sebagai pribadi oleh kiai, tidak bersama-sama dengan santri yang lain. Dalam sistem sorogan ini, seorang santri bebas menentukan program yang dipilihnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Ia bebas pula menentukan kitab-kitab yang akan dikajinya dan bebas pula memilih guru atau kiai yang membimbingnya. Santri yang memilih sistem ini mengevaluasi sendiri hasil studinya. Kenaikan tingkat pun ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan dengan berpindahnya buku kajian yang dipergunakan. Mereka yang telah tamat mengkaji buku-buku tertentu, tidak diberikan ijazah atau sertifikat oleh pesantren bersangkutan, karena ijazah, menurut kalangan pesantren diberikan oleh masyarakat kelak, kalau masyarakat menerima dia dan mengakui ilmu serta kecakapannya.
Kiai yang menangani pengajaran dengan sistem sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab. Sistem sorogan ini menggambarkan, bahwa seorang kiai di dalam memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.
Sistem sorogan yang memberikan pelayanan personal dan kebebasan kepada santri untuk menentukan program studinya itu, serta keikutsertaannya dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dirinya, merupakan sistem memberikan iklim yang baik bagi pertumbuhan pribadi santri yang bersangkutan, kemampuan berinovasi dan bertanggung jawab sendiri mengenai pilihan dan tindakan yang dilakukannya (Chirzin, 1979).
b. Bandongan
Sistem pengajaran bandongan ini sering disebut dengan halaqah. Dalam sistem ini kelompok santri yang terdiri lima sampai lima ratus orang santri, medengarkan seorang kiai atau guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri (menyimak) dan membuat catatan-catatan yang diperlukan ditempat-tempat kosong pada kitab yang dipegangnya. Dalam pelaksanaannya para santri duduk melingkar belajar bersama di bawah bimbingan seorang guru. Sistem bandongan ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi para santri.
Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah ini lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara kiai berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukalaf. Kiai tidak memperdulikan apa yang dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kiai dalam hal ini memandang penyelenggaraan pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah SWT.
Sistem bandongan ini relatif lebih sulit dibandingkan dengan sistem pengajaran sorogan. Karena sulitnya pelaksanaan sistem ini, banyak murid pengajian di daerah pedesaan yang gagal mengikutinya. Dalam bahasa SKS (satuan kredit semester) banyak santri yang DO (droup out) karenanya. Oleh karena itu, sistem sorogan seyogyanya dilakukan lebih dahulu, sebelum mengikuti sistem bandongan. Pelaksanaan pengajian/pengajaran dengan sistem bandongan ini oleh masyarakat pesantren di Jawa Timur sering disebut weton, atau sekurang-kurangnya membaurkan saja istilah tersebut.
c. Weton.
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian atau pengajaran weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada setiap hari Jum’at dan sebagainya. Apa yang hendak ’dibedah’ kiai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang biasanya atau dipastikan dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-kadang guru hanya memetik di sana sini saja. Peserta pengajian weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kiai kepada peserta pengajian bermacam-macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan secara bebas.
Tridharma Pondok Pesantren
di dalam menjalankan fungsi dan peranannya, kegiatan pondok pesantren tercakup dalam tri dharma pondok pesantren, yaitu :
1. Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
2. Pengembangan keilmuan yang bermanfaat’
3. Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara (Hasbullah, 1996)
Bagaimana Menata Belajar di Pesanten?
Berangkat dari kekhasan model pembelajaran yang ada di pesantren maka cara belajar siswa santri pondok pesantren pun sedikit berbeda dengan cara belajar siswa siswi pada umumnya. Letak pokok perbedaan tersebut adalah pada aspek kemandirian dan pengambilan keputusan dalam belajar. Di pondok pesantren (boarding school) siswa santri dituntut untuk secara mandiri mengambil keputusan dalam proses pembelajarannya. Meskipun secara psikologis siswa santri PP belum dapat digolongkan sebagai manusia dewasa penuh, tetepi mereka dipaksa harus bersikap secara dewasa. Namun secara umum (dalam tinjauan psikologis) apapun model pembelajaran yang dijalankan siswa/santri sebagai peserta didik adalah sama saja. Mari kita ikuti bersama pemaparan lebih jauh tentang cara belajar efektif di pesantren.
1. Apakah Belajar itu ?
Belajar adalah merupakan aktivitas mental tingkat tinggi yang melibatkan unsur kognisi, afeksi, konasi dan psikomotorik. Untuk dapat belajar secara baik, sehat dan benar diperlukan mental yang sehat, fisik yang sehat dan sikap yang sehat.
Landasan utama bagi pembentukan cara belajar yang baik pada setiap diri siswa/santri ialah memiliki sikap mental tertentu. Suatu sikap mental yang ditumbuhkan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya akan membuat seorang siswa/santri mempunyai senjata berupa kesediaan mental . Tanpa kesiapan mental itu para siswa/santri pada umumnya tidak akan dapat bertahan terhadap berbagai kesukaran-kesukaran yang dihadapi di bangku sekolah . Sikap mental yang perlu diusahakan oleh setiap mahasiswa sekurang-kurangnya meliputi empat segi, yaitu:

1. Tujuan Belajar
2. Minat terhadap Pelajaran
3. Kepercayaan pada diri sendiri
4. Keuletan

Tujuan Belajar
Belajar harus diarahkan kepada suatu cita-cita tertentu. Cita-cita yang diperjuangkan dengan berbagai kegiatan belajar itu lalu menjadi tujuan belajar dari setiapSiswa/santri. Biasanya tujuan belajar bersambung pula dengan tujuan hidupnya. Apakah kelak ia ingin menjadi ahli hukum, pengacara, notaris, akuntan, insinyur, dokter, militer, dai, kyai, ulama dan sebagainya. Tujuan belajar yang bersambung dengan cita-cita di masa depan itu akan merupakan suatu pendorong untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tanpa motif tertentu , semangat belajar seseorang siswa/santri akan mudah padam karena ia tidak merasa mempunyai sesuatu kepentingan yang harus diperjuangkan. Oleh karena itu, karena saat ini anda telah menentukan pilihan pada institusi pondok pesantren maka , bulatkan tekad dan cita-cita anda untuk menjadisantri yang baik. Kalau cita-cita anda di luar dunia pengetahuan agama maka lebih baik anda segera cabut dari Pesantren saat ini juga. Jangan sekolah/belajar karena prinsip” daripada nggak sekolah”, atau karena tidak diterima di sekolah lain !!
Dalam menentukan cita-cita itu, hendaklah seorang pelajar tidak semata-mata berpegang pada hasrat hatinya saja. Kemampuan diri sendiri juga harus diperhitungkan. Telitilah kelemahan-kelemahan diri sendiri berdasarkan angka-angka raport selama di sekolah sebelumnya. Kemampuan keuangan juga perlu diperhitungkan, jangan sampai sekolah berhenti di tengah jalan karena ketiadan biaya.
1. Minat Terhadap Pelajaran.
Setelah mulai belajar, hendaknya setiap siswa/santri menaruh minat yang sebasar-besarnya terhadap pelajaran yang diikuti. Minat itu tidak hanya ditujukan kepada satu atau dua mata pelajaran yang pokok saja, melainkan juga terhadap semua mata pelajaran. Suatu mata pelajaran (mata kuliah) hanya akan dapat dipelajari dengan baik apabila si pelajar dapat memusatkan perhatiannya terhadap pelajarannya itu. Minat merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya konsentrasi itu. Dengan kata lain tanpa minat tidak akan terjadi perhatian. Contoh misalnya : Seorang pecatur atau pemain kartu, dapat sehari penuh duduk dan memusatkan perhatian dan pikirannya bermain catur atau kartu, karena ia mempunyai minat yang besar terhadap catur dan kartu. Demikian pula seorang pemancing yang mampu duduk berjam-jam di tengah gelapnya malam atau teriknya matahari, karena ia sangat berminat dan menyukai pekerjaan memancing.
Minat selain memungkinkan pemusatan perhatian, juga akan menimbulkan kegembiraan dalam usaha belajar. Keriangan hati akan memperbesar daya kemampuan belajar seseorang dan juga membantunya untuk tidak mudah melupakan apa yang dipelajarinya itu. Belajar dengan perasaan yang tidak gembira akan membuat pelajaran itu terasa sangat berat.
2. Kepercayaan Pada Diri Sendiri.
Setiap siswa/santri harus yakin bahwa ia mempunyai kemampuan untuk memperoleh hasil yang baik dalam usaha belajarnya. Dengan adanya self confidance (rasa percaya diri ) dan self acceptance (penerimaan diri sendiri) ini mahasiswa pasti akan dapat mengikuti dan mengerti pelajaran-pelajaran di pesantrennya/disekolahnya dengan baik. Namun demikian, dalam membangun rasa percaya diri ini seorang siswa/santri juga harus rasional , dalam arti tidak asal percaya diri tanpa mempersiapkan diri dengan baik. Rasa percaya diri harus dibarengi dengan sikap waspada, sehingga siswa/santri tidak terjebak pada sikap “asal wani’ dan asal maju saja. Kalau ini yang terjadi, maka ini namanya sembrono.
Setelah belajar dengan baik, ujian-ujian hendaknya diikuti dengan penuh percaya diri. Jangan merasa ragu-ragu untuk menempuh ujian, selama anda telah benar-benar mempersiapkan diri dengan belajar sebelumnya. Kata “belajar” yang dimaksud di sini bukan sekedar menghafal materi pelajaran semalam suntuk, tetapi lebih pada memahami (understanding) pada isi pelajaran.
Siswa/santri yang memiliki rasa percaya diri postip, pasti tidak akan pernah melakukan kecurangan-kecurangan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Misalnya mencontek, menyalin pekerjaan teman atau memanipulasi tugas dengan membohongi guru/ustad-nya dan sebagainya. Menyontek adalah cerminan tidak adanya rasa percaya diri. Kalau masalahnya takut tidak lulus maka penyelesainnya bukan dengan cara menyontek, tetapi dialogkan dengan guru/ustad mengapa setelah menempuh 2 atau 3 kali ujian koq belum lulus juga. Hindari tindakan menyontek sejak awal anda sekolah. !!
Kepercayaan pada diri sendiri perlu sekali dipupuk sebagai salah satu persiapan rohani untuk berjuang disekolah/pondok pesantren. Kepercayaan itu dapat dipupuk dan dikembangkan dengan jalan belajar tekun. Hendaknya setiap siswa/santri menginsafi sepenuhnya bahwa tidak ada mata pelajaran yang tidak dapat dipahami kalau ia mau belajar dengan giat setiap hari. Selanjutnya hendaknya siswa/santri tidak terlampau bergantung diri kepada kawan di dalam usaha belajarnya. Tugas tugas mandiri (take home examination) cobalah selalu diselesaikan sendiri, baru kalau benar-benar mentok dibahas bersama-sama teman lainnya.
3. Keuletan
Yang memulia pekerjaan itu banyak, tetapi yang dapat bertahan hingga proses pekerjaan itu berakhir hanyalah sedikit, Demikian pula yang memasuki pondok pesantren setiap tahunnya sangat banyak, tetapi yang bisa bertahan sampai pelajarannya selesai tidaklah banyak.
Kehidupan siswa/santri selama belajar di PP itu penuh dengan kesulitan- kesulitan. Mulai dari kesulitan akademik, kesulitan finansial, kesulitan sosiokultural, kesulitan lingkungan dan sebagainya, Kesulitan-kesulitan tersebut akan lebih terasa bagi siswa/santri yang jauh dari keluarga atau berasal jauh dari luar kota. Oleh karena itu setiap siswa/santri harus mempunyai “keuletan” dan kesemamptaan jasmani rohani, mental maupun fsiknya. Keuletan rohani jasmani akan membuat mahasiswa beranai menghadapi segala kesulitan dan tidak mudah putus asa. Untuk memupuk keuletan itu maka hendaklah kesulitan itu ditempatkan / dipandang sebagai tantangan yang harus dihadapi bukan sebagai penghambat yang membuatnya nglokro. Motivasi yang kuat akan menjadi sumber yang besar dalam menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar