By. Soleh Amini Yahman.
Sabtu, 15 Oktober 2011
Etiologi munculnya aksi-aksi terorisme di Indonesia bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam kesempatan ini saya mencoba melihat masalah terorisme ini dari sudut pandang psikologi social dan sosiologi cultural. Secara psikologis aksi aksi terorisme di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh dua sebab utama yaitu (1) krisis kepercayaan kepada system kehidupan social politik dan cultural. Sebab ke dua adalah karena factor pelemahan idiologi psikologis pelaku itu sendiri.
1. Krisis kepercayaan atas system kehidupan social politik (termasuk ekonomi, pendidikan, hokum dll) menyebabkan sebagian orang merasa frustrasi, marah, jengkel dan bahkan kecewa dengan keadaan. Kondisi yang demikian ini menghantarkan kehidupan kejiwaann yang labil. Labilitas kehidupan jiwa inilah yang melemahkan pertahanan emosi seseorang sehingga kepadanya sangat mudah dipengaruhi, diprovokasi untuk melakukan pembencian terhadap system kehidupan social kenegaraan dan pemerintahan yang dianggap bertanggung jawab atas kehidupan social pada umumnya. Perilaku kebencian (hostility) ini dapat mewujut dalam perilaku individual, kelompok maupun perilaku yang lebih terorganisasi dalam bentuk bentuk kelompok yang mengaku atau mengatasnamakan agama, jihad, perjuangan fisabillilah, amar makruf/nahi mungkar dan lain sebagainya. Pada tataran ini, aksi terorisme mungkin saja belum mewujut dalam bentuk kekerasan frontal semacam peledakan bom atau penghancuran penghancuran yang sifatnya massif, tetapi baru sebatas aksi aksi massa seperti unjuk rasa. Target sementara gerakan terror macam ini adalah untuk menimbulkan rasa takut pada masyarakat, sehingga berefek pada tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan yang tidak stabil. Pemerintah diposisikan sebagai pihak yang tidak bisa melindungi atau tidak bisa memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Kondisi labil dalam tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan inilah yang sengaja diciptakan oleh penggerak penggerak aksi (terror) semacam ini. Meski aksi aksi ini belum frontal, tetapi hal ini merupakan potensi laten untuk terjadinya letupan terror yang lebih dahsyat berupa gerakan destruktif (penghancuran massal), agresif dan berkembanganya pola pola perilaku yang berbasis pada kekerasan atau violance. Kebencian adalah awal terjadinya petaka terror dalam kehidupan umat. Terorisme menjadi semakin subur ketika KITA tidak mampu menumpulkan rasa benci ,baik kebencian individu kepada individu maupun individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok.
2. Pelemahan idiologi psikologis
Aksi-aksi terror dalam bentuk bom bunuh diri lebih disebabkan oleh terjadinya pelemahan idiologi psikologis seseorang. Yaitu penumpulan intelektualitas tersengaja dan terstruktur yang dilakukan oleh pihak atau person-person tertentu yang mempunyai otoritas kharismatika yang kuat (luar biasa) kepada seseorang atau sekelompok orang yang secara idio psikologis tidak kuat (tidak percaya diri, konsep diri kagak jelas, kecewa atau frustrasi/patah hati, merasa tertindas dsb). Pelemahan idio psikologis melalui penumpulan inteketualitas tersengaja/terstruktur ini berakibat seperti cuci otak atau brain washing pada kehidupan individu atau kelompok sehingga mudah diindoktrinasi dengan nilai nilai tertentu (seperti jihad, kejuangan, bela Negara, bela islam dan aneka nilai yang seakan akan berujung pada kepahlawanan dsb walau semua itu sudah dibelokkan oleh sang indoktrinatornya). Pelemahan intelektualitas inilah sumber masuknya “kesediaan” bunuh diri pada para pelaku aksi bom bunuh diri. Mungkin saja secara akademik, pelaku bom bunuh diri ini bukanlah orang yang bodoh, bahkan merupakan lulusan terbaik dari sekolah atau lembaga pendidikan tertentu yang bonafid. Tetapi secara intektualitas dan sensitifitas afeksi mereka sangat bodoh. Kecerdasan afeksinya berada pada level terendah. Orang orang yang memiliki kecerdasan afektif rendah pada umumnya memang sangat mudah disulut untuk melakukan aksi aksi atau tindakaan yang sebenarnya konyol/tolol dan tidak bernilai, tetapi dipersepsikan sebagai tindkan mulia dan berpahala besar.
3. Pandangan Sosiologi : secara sosiologis, terorisme adalah merupakan sebuah paham yang mengajarkan cara cara “perjuangan” dengan cara menyebar terror atau melakukan aksi-aksi menyebar rasa takut demi mencapai tujuan tertentu, baik tujuan kelompok maupun tujuan pribadi. Pelaku aksi dapat mengerjakan aksi terornya secara orang perorang untuk pencapaian tujuan pribadi atau dilakukan secara bersama/terorganisasi untuk tujuan . Jadi apapun bentuk aksinya dan siapapun pelakunya, selama aksi tersebut menimbulkan ketakutan kolektif yang mencekam kehidupan masyarakat, maka aksi atau tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai aksi Terorisme.
4. Mengapa Melakukan Teror ? : aksi aksi terror yang belakangan ini kembali mengguncang ketentraman hidup masyarakat, disebabkan bukan oleh satu factor tunggal melainkan disebabkan oleh terjadinya interplay multifactor. Artinya aksi aksi tersebut bukan hanya disebabkan oleh satu factor saja (misalnya fanatisme agama) melainkan oleh banyak factor , dimana diantara factor factor penyebab tersebut terkait satu sama lain dan dimainkan secara bersama sama. Dari berbagai factor tersebut ada empat unsur pokok yang saya lihat menjadi factor dominan pecahnya aksi terorisme, yaitu : (1) ketidakadilan dan ketimpangan social ekonomi yang menyebabkan terbukanya perasaan terkoyak dan terdzalimi , (2) melemahnya konsep dasar intimitas relasi social oraganik yang menyebakan melebarnya ‘jarak sosial’ dan keruhnya ukhuwah wathaniah maupun ukhuwah social antar warga masyarakat, (3) masuknya (intervensi) nilai nilai baru dari berbagai belahan dunia sehingga merubah tata nilai social-kultural dan memporak porandakan sendi sendi kehidupan social indegenius masyarakat, (4) tidak berfungsinya lembaga-lembaga social kemasyarakat dalam memberdayakan potensi-potensi postif yang dipunyai masyarakat. Mereka lebih asyik berpolitik dan bercengkrama dengan kelompoknya sendiri-sendiri sehingga meminggirkan peran serta aktif masyarakat serta abai terhadap ‘urusan’ bersama. Nah akibatnya potensi positf yang semestinya menjadi modal pembangunan berbelok arah menjadi ledakan massif yang merusak tatanan pembangunan itu sendiri.
5. Apa yang Harus dibenahi ?
1. System pengelolaan tata kehidupan social politik yang selama ini cenderung berpusat pada kekuasaan dirubah menjadi system kehidupan social ekonomi politik yang berorientasi pada keseimbangan dan keadilan masyarakat.
2. Membenahi kualitas hubungan social –individual untuk mendekatkan/membangun proksimitas warga masyarakat (hal ini sudah banyak dilakukan oleh pemkot Surakarta, seperti membangun banyak open space yang dimaksud sebagai media srawung warga: Car Free Day setiap minggu di jl slamet riyadi, city walk, Sunday market, ngarsopura, galabo,merubah wajah wajah pasar tradisonal yang kumuh menjadi bersih, menutup usaha/tempat maksiat, membatasi ruang gerak peredaran miras, pagelaran dan festival budaya, atraksi seni dll).
3. Menyediakan fasiltas fasilitas pendidikan formal yang memadai dan merangsang tumbuhnya jiwa jiwa kreatif produktif, khususnya dikalangan anak anak muda.
4.
Jumat, 14 Oktober 2011
Selasa, 11 Oktober 2011
MENTAL PEMBELAJAR SANTRI PONDOK PESANTREN
(diskusi psikologi
tentang manajemen belajar bagi santri di pondok pesantren)
Drs. Soleh Amini Yahman.Msi. Psi
Pondok pesantren sebagai Institusi pendidikan di Indonesia memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh institusi pendidikan pada umumnya. Secara sosio akdemik Pondok pesantren dipandang sebagai institusi pendidikan khusus yang membawa misi khusus dan memiliki pola pengelolaan yang khusus pula.
Pondok Pesantren.
Pesantren atau pondok pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum agama dan ajaran Islam datang di tanah Nusantara ini. Oleh karena itu nama pondok pesantren itu sendiri berasal dari dua kata bahasa asing yang berbeda. Pondok berasal dari bahasa arab funduq yang berarti tempat menginap atau asrama (Dhofier, 1994). Kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe - dan akhiran -an , Kata santri, berasal dari bahasa Tamil (India) yang berarti para penuntut ilmu atau diartikan juga guru mengaji (Dhofier, 1994). Akibat dari makna yang dikandung oleh namanya itu, sebuah pondok pesantren selalu mempertahankan unsur-unsur aslinya, yaitu : pondok, masjid, pengkajian kitab-kitab klasik, santri, dan kiai (Dhofier, 1994). Kelima unsur tersebut selalu ada dalam setiap pondok peasantren.
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pondok pesantren, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun pada saat ini telah banyak terjadi perubahan pada lembaga pondok pesantren, namun inti fungsi utama tersebut masih tetap melekat pada pesantren, meskipun fungsi pesantren telah melebar tidak hanya pada kedua fungsi tersebut. Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga penyiaran agama tetap dijaga dan dipelihara oleh pesantren dari pengaruh modernisasi. Ini dilakukan karena pesantren mempunyai wilayah sosial yang mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi (Daud, 1995).
Namun demikian lembaga pondok pesantren tidak semata-mata hanya dilihat sebagai salah satu manifestasi dari keislaman, melainkan harus dilihat pula sebagai sesuatu yang ’bersifat indonesia’ karena sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun, lembaga pondok sudah ada di Indonesia. Jelasnya, pondok adalah merupakan hasil penyerapan akulturasi dari masyarakat Indonesia terhadap kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam yang kemudian menjelmakan suatu lembaga yang lain, dengan warna Indonesia, yang berbeda dengan apa yang dijumpai di India atau Arab (Rahardja.1995).
Pondok dengan cara hidupnya yang kolektif barangkali malahan merupakan salah satu perwujudan atau wajah dari semangat dan tradisi dari lembaga gotong royong yang umum terdapat di masyarakat pedesaan. Nilai nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (tolong menolong atau koperasi), ittihad (persatuan), thalabul ‘ilmu (menuntut ilmu), ikhlas (ihlas), jihat (berjuang), thaat (patuh kepada tuhan, rasul, ulama, kiai dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin), dan berbagai nilai yang secara ekplisit tertulis sebagai ajaran Islam, ikut mendukung eksistensi pondok pesantren.
Inti pendidikan yang ditanamkan di pondok pesantren adalah pendidkan watak dan pendidikan keagamaan. Sebagai komunitas belajar keagamaan, pesantren mempunyai hubungan sangat erat dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam masyarakat pedesaan tradisionil, kehidupan keagamaan merupakan bagian yang menyatu dengan kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Tempat-tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan merupakan pusat kehidupan pedesaan, sedangkan pimpinan keagamaan di desa adalah merupakan sesepuh yang berwibawa yang diakui nasihat dan petunjuk-petunjuknya oleh masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan pesantren, kiai mempunyai kedudukan sangat penting, ia merupakan figur central dari dinamika sebuah pondok pesantren, terutama pada pondok pesantren tradisonal.
Pada tataran pondok pesantren tradisional, asal usul pesantren, biasanya memang diawali oleh bermukimnya seorang kiai pada suatu tempat tertentu. Tempat ini kemudian didatangi oleh para santri (pelajar) yang ingin belajar mengaji kepadanya. Para santri ini dilayani oleh kiai tersebut dengan suka rela. Setelah beberapa waktu, datanglah kepada kiai itu seorang demi seorang warga masyarakat sekitarnya, yang kemudian disusul oleh warga tetangga desa yang terdekat, orang dari daerah lain dan seterusnya ( Chirzin, 1979).
Sistem Pengajaran Pada Pesantren
Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren (tradisional) , dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, di mana di antara masing-masing sistem mempunyai ciri khas tersendiri , yaitu :
a. Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti ”sodoran atau yang disodorkan”. Yang dimaksud dengan sistem sorogan adalah sistem belajar seorang santri yang menyorog-kan (menyodorkan) kitab yang akan dikajinya kepada kiai, memohon agar dibimbing mempelajari kitab tersebut. Sistem sorogan ini memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar yang bersifat personal, karena santri dilayani sebagai pribadi oleh kiai, tidak bersama-sama dengan santri yang lain. Dalam sistem sorogan ini, seorang santri bebas menentukan program yang dipilihnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Ia bebas pula menentukan kitab-kitab yang akan dikajinya dan bebas pula memilih guru atau kiai yang membimbingnya. Santri yang memilih sistem ini mengevaluasi sendiri hasil studinya. Kenaikan tingkat pun ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan dengan berpindahnya buku kajian yang dipergunakan. Mereka yang telah tamat mengkaji buku-buku tertentu, tidak diberikan ijazah atau sertifikat oleh pesantren bersangkutan, karena ijazah, menurut kalangan pesantren diberikan oleh masyarakat kelak, kalau masyarakat menerima dia dan mengakui ilmu serta kecakapannya.
Kiai yang menangani pengajaran dengan sistem sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab. Sistem sorogan ini menggambarkan, bahwa seorang kiai di dalam memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.
Sistem sorogan yang memberikan pelayanan personal dan kebebasan kepada santri untuk menentukan program studinya itu, serta keikutsertaannya dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dirinya, merupakan sistem memberikan iklim yang baik bagi pertumbuhan pribadi santri yang bersangkutan, kemampuan berinovasi dan bertanggung jawab sendiri mengenai pilihan dan tindakan yang dilakukannya (Chirzin, 1979).
b. Bandongan
Sistem pengajaran bandongan ini sering disebut dengan halaqah. Dalam sistem ini kelompok santri yang terdiri lima sampai lima ratus orang santri, medengarkan seorang kiai atau guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri (menyimak) dan membuat catatan-catatan yang diperlukan ditempat-tempat kosong pada kitab yang dipegangnya. Dalam pelaksanaannya para santri duduk melingkar belajar bersama di bawah bimbingan seorang guru. Sistem bandongan ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi para santri.
Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah ini lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara kiai berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukalaf. Kiai tidak memperdulikan apa yang dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kiai dalam hal ini memandang penyelenggaraan pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah SWT.
Sistem bandongan ini relatif lebih sulit dibandingkan dengan sistem pengajaran sorogan. Karena sulitnya pelaksanaan sistem ini, banyak murid pengajian di daerah pedesaan yang gagal mengikutinya. Dalam bahasa SKS (satuan kredit semester) banyak santri yang DO (droup out) karenanya. Oleh karena itu, sistem sorogan seyogyanya dilakukan lebih dahulu, sebelum mengikuti sistem bandongan. Pelaksanaan pengajian/pengajaran dengan sistem bandongan ini oleh masyarakat pesantren di Jawa Timur sering disebut weton, atau sekurang-kurangnya membaurkan saja istilah tersebut.
c. Weton.
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian atau pengajaran weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada setiap hari Jum’at dan sebagainya. Apa yang hendak ’dibedah’ kiai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang biasanya atau dipastikan dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-kadang guru hanya memetik di sana sini saja. Peserta pengajian weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kiai kepada peserta pengajian bermacam-macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan secara bebas.
Tridharma Pondok Pesantren
di dalam menjalankan fungsi dan peranannya, kegiatan pondok pesantren tercakup dalam tri dharma pondok pesantren, yaitu :
1. Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
2. Pengembangan keilmuan yang bermanfaat’
3. Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara (Hasbullah, 1996)
Bagaimana Menata Belajar di Pesanten?
Berangkat dari kekhasan model pembelajaran yang ada di pesantren maka cara belajar siswa santri pondok pesantren pun sedikit berbeda dengan cara belajar siswa siswi pada umumnya. Letak pokok perbedaan tersebut adalah pada aspek kemandirian dan pengambilan keputusan dalam belajar. Di pondok pesantren (boarding school) siswa santri dituntut untuk secara mandiri mengambil keputusan dalam proses pembelajarannya. Meskipun secara psikologis siswa santri PP belum dapat digolongkan sebagai manusia dewasa penuh, tetepi mereka dipaksa harus bersikap secara dewasa. Namun secara umum (dalam tinjauan psikologis) apapun model pembelajaran yang dijalankan siswa/santri sebagai peserta didik adalah sama saja. Mari kita ikuti bersama pemaparan lebih jauh tentang cara belajar efektif di pesantren.
1. Apakah Belajar itu ?
Belajar adalah merupakan aktivitas mental tingkat tinggi yang melibatkan unsur kognisi, afeksi, konasi dan psikomotorik. Untuk dapat belajar secara baik, sehat dan benar diperlukan mental yang sehat, fisik yang sehat dan sikap yang sehat.
Landasan utama bagi pembentukan cara belajar yang baik pada setiap diri siswa/santri ialah memiliki sikap mental tertentu. Suatu sikap mental yang ditumbuhkan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya akan membuat seorang siswa/santri mempunyai senjata berupa kesediaan mental . Tanpa kesiapan mental itu para siswa/santri pada umumnya tidak akan dapat bertahan terhadap berbagai kesukaran-kesukaran yang dihadapi di bangku sekolah . Sikap mental yang perlu diusahakan oleh setiap mahasiswa sekurang-kurangnya meliputi empat segi, yaitu:
1. Tujuan Belajar
2. Minat terhadap Pelajaran
3. Kepercayaan pada diri sendiri
4. Keuletan
Tujuan Belajar
Belajar harus diarahkan kepada suatu cita-cita tertentu. Cita-cita yang diperjuangkan dengan berbagai kegiatan belajar itu lalu menjadi tujuan belajar dari setiapSiswa/santri. Biasanya tujuan belajar bersambung pula dengan tujuan hidupnya. Apakah kelak ia ingin menjadi ahli hukum, pengacara, notaris, akuntan, insinyur, dokter, militer, dai, kyai, ulama dan sebagainya. Tujuan belajar yang bersambung dengan cita-cita di masa depan itu akan merupakan suatu pendorong untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tanpa motif tertentu , semangat belajar seseorang siswa/santri akan mudah padam karena ia tidak merasa mempunyai sesuatu kepentingan yang harus diperjuangkan. Oleh karena itu, karena saat ini anda telah menentukan pilihan pada institusi pondok pesantren maka , bulatkan tekad dan cita-cita anda untuk menjadisantri yang baik. Kalau cita-cita anda di luar dunia pengetahuan agama maka lebih baik anda segera cabut dari Pesantren saat ini juga. Jangan sekolah/belajar karena prinsip” daripada nggak sekolah”, atau karena tidak diterima di sekolah lain !!
Dalam menentukan cita-cita itu, hendaklah seorang pelajar tidak semata-mata berpegang pada hasrat hatinya saja. Kemampuan diri sendiri juga harus diperhitungkan. Telitilah kelemahan-kelemahan diri sendiri berdasarkan angka-angka raport selama di sekolah sebelumnya. Kemampuan keuangan juga perlu diperhitungkan, jangan sampai sekolah berhenti di tengah jalan karena ketiadan biaya.
1. Minat Terhadap Pelajaran.
Setelah mulai belajar, hendaknya setiap siswa/santri menaruh minat yang sebasar-besarnya terhadap pelajaran yang diikuti. Minat itu tidak hanya ditujukan kepada satu atau dua mata pelajaran yang pokok saja, melainkan juga terhadap semua mata pelajaran. Suatu mata pelajaran (mata kuliah) hanya akan dapat dipelajari dengan baik apabila si pelajar dapat memusatkan perhatiannya terhadap pelajarannya itu. Minat merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya konsentrasi itu. Dengan kata lain tanpa minat tidak akan terjadi perhatian. Contoh misalnya : Seorang pecatur atau pemain kartu, dapat sehari penuh duduk dan memusatkan perhatian dan pikirannya bermain catur atau kartu, karena ia mempunyai minat yang besar terhadap catur dan kartu. Demikian pula seorang pemancing yang mampu duduk berjam-jam di tengah gelapnya malam atau teriknya matahari, karena ia sangat berminat dan menyukai pekerjaan memancing.
Minat selain memungkinkan pemusatan perhatian, juga akan menimbulkan kegembiraan dalam usaha belajar. Keriangan hati akan memperbesar daya kemampuan belajar seseorang dan juga membantunya untuk tidak mudah melupakan apa yang dipelajarinya itu. Belajar dengan perasaan yang tidak gembira akan membuat pelajaran itu terasa sangat berat.
2. Kepercayaan Pada Diri Sendiri.
Setiap siswa/santri harus yakin bahwa ia mempunyai kemampuan untuk memperoleh hasil yang baik dalam usaha belajarnya. Dengan adanya self confidance (rasa percaya diri ) dan self acceptance (penerimaan diri sendiri) ini mahasiswa pasti akan dapat mengikuti dan mengerti pelajaran-pelajaran di pesantrennya/disekolahnya dengan baik. Namun demikian, dalam membangun rasa percaya diri ini seorang siswa/santri juga harus rasional , dalam arti tidak asal percaya diri tanpa mempersiapkan diri dengan baik. Rasa percaya diri harus dibarengi dengan sikap waspada, sehingga siswa/santri tidak terjebak pada sikap “asal wani’ dan asal maju saja. Kalau ini yang terjadi, maka ini namanya sembrono.
Setelah belajar dengan baik, ujian-ujian hendaknya diikuti dengan penuh percaya diri. Jangan merasa ragu-ragu untuk menempuh ujian, selama anda telah benar-benar mempersiapkan diri dengan belajar sebelumnya. Kata “belajar” yang dimaksud di sini bukan sekedar menghafal materi pelajaran semalam suntuk, tetapi lebih pada memahami (understanding) pada isi pelajaran.
Siswa/santri yang memiliki rasa percaya diri postip, pasti tidak akan pernah melakukan kecurangan-kecurangan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Misalnya mencontek, menyalin pekerjaan teman atau memanipulasi tugas dengan membohongi guru/ustad-nya dan sebagainya. Menyontek adalah cerminan tidak adanya rasa percaya diri. Kalau masalahnya takut tidak lulus maka penyelesainnya bukan dengan cara menyontek, tetapi dialogkan dengan guru/ustad mengapa setelah menempuh 2 atau 3 kali ujian koq belum lulus juga. Hindari tindakan menyontek sejak awal anda sekolah. !!
Kepercayaan pada diri sendiri perlu sekali dipupuk sebagai salah satu persiapan rohani untuk berjuang disekolah/pondok pesantren. Kepercayaan itu dapat dipupuk dan dikembangkan dengan jalan belajar tekun. Hendaknya setiap siswa/santri menginsafi sepenuhnya bahwa tidak ada mata pelajaran yang tidak dapat dipahami kalau ia mau belajar dengan giat setiap hari. Selanjutnya hendaknya siswa/santri tidak terlampau bergantung diri kepada kawan di dalam usaha belajarnya. Tugas tugas mandiri (take home examination) cobalah selalu diselesaikan sendiri, baru kalau benar-benar mentok dibahas bersama-sama teman lainnya.
3. Keuletan
Yang memulia pekerjaan itu banyak, tetapi yang dapat bertahan hingga proses pekerjaan itu berakhir hanyalah sedikit, Demikian pula yang memasuki pondok pesantren setiap tahunnya sangat banyak, tetapi yang bisa bertahan sampai pelajarannya selesai tidaklah banyak.
Kehidupan siswa/santri selama belajar di PP itu penuh dengan kesulitan- kesulitan. Mulai dari kesulitan akademik, kesulitan finansial, kesulitan sosiokultural, kesulitan lingkungan dan sebagainya, Kesulitan-kesulitan tersebut akan lebih terasa bagi siswa/santri yang jauh dari keluarga atau berasal jauh dari luar kota. Oleh karena itu setiap siswa/santri harus mempunyai “keuletan” dan kesemamptaan jasmani rohani, mental maupun fsiknya. Keuletan rohani jasmani akan membuat mahasiswa beranai menghadapi segala kesulitan dan tidak mudah putus asa. Untuk memupuk keuletan itu maka hendaklah kesulitan itu ditempatkan / dipandang sebagai tantangan yang harus dihadapi bukan sebagai penghambat yang membuatnya nglokro. Motivasi yang kuat akan menjadi sumber yang besar dalam menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan tadi.
tentang manajemen belajar bagi santri di pondok pesantren)
Drs. Soleh Amini Yahman.Msi. Psi
Pondok pesantren sebagai Institusi pendidikan di Indonesia memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh institusi pendidikan pada umumnya. Secara sosio akdemik Pondok pesantren dipandang sebagai institusi pendidikan khusus yang membawa misi khusus dan memiliki pola pengelolaan yang khusus pula.
Pondok Pesantren.
Pesantren atau pondok pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum agama dan ajaran Islam datang di tanah Nusantara ini. Oleh karena itu nama pondok pesantren itu sendiri berasal dari dua kata bahasa asing yang berbeda. Pondok berasal dari bahasa arab funduq yang berarti tempat menginap atau asrama (Dhofier, 1994). Kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe - dan akhiran -an , Kata santri, berasal dari bahasa Tamil (India) yang berarti para penuntut ilmu atau diartikan juga guru mengaji (Dhofier, 1994). Akibat dari makna yang dikandung oleh namanya itu, sebuah pondok pesantren selalu mempertahankan unsur-unsur aslinya, yaitu : pondok, masjid, pengkajian kitab-kitab klasik, santri, dan kiai (Dhofier, 1994). Kelima unsur tersebut selalu ada dalam setiap pondok peasantren.
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pondok pesantren, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun pada saat ini telah banyak terjadi perubahan pada lembaga pondok pesantren, namun inti fungsi utama tersebut masih tetap melekat pada pesantren, meskipun fungsi pesantren telah melebar tidak hanya pada kedua fungsi tersebut. Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga penyiaran agama tetap dijaga dan dipelihara oleh pesantren dari pengaruh modernisasi. Ini dilakukan karena pesantren mempunyai wilayah sosial yang mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi (Daud, 1995).
Namun demikian lembaga pondok pesantren tidak semata-mata hanya dilihat sebagai salah satu manifestasi dari keislaman, melainkan harus dilihat pula sebagai sesuatu yang ’bersifat indonesia’ karena sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun, lembaga pondok sudah ada di Indonesia. Jelasnya, pondok adalah merupakan hasil penyerapan akulturasi dari masyarakat Indonesia terhadap kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam yang kemudian menjelmakan suatu lembaga yang lain, dengan warna Indonesia, yang berbeda dengan apa yang dijumpai di India atau Arab (Rahardja.1995).
Pondok dengan cara hidupnya yang kolektif barangkali malahan merupakan salah satu perwujudan atau wajah dari semangat dan tradisi dari lembaga gotong royong yang umum terdapat di masyarakat pedesaan. Nilai nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (tolong menolong atau koperasi), ittihad (persatuan), thalabul ‘ilmu (menuntut ilmu), ikhlas (ihlas), jihat (berjuang), thaat (patuh kepada tuhan, rasul, ulama, kiai dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin), dan berbagai nilai yang secara ekplisit tertulis sebagai ajaran Islam, ikut mendukung eksistensi pondok pesantren.
Inti pendidikan yang ditanamkan di pondok pesantren adalah pendidkan watak dan pendidikan keagamaan. Sebagai komunitas belajar keagamaan, pesantren mempunyai hubungan sangat erat dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam masyarakat pedesaan tradisionil, kehidupan keagamaan merupakan bagian yang menyatu dengan kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Tempat-tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan merupakan pusat kehidupan pedesaan, sedangkan pimpinan keagamaan di desa adalah merupakan sesepuh yang berwibawa yang diakui nasihat dan petunjuk-petunjuknya oleh masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan pesantren, kiai mempunyai kedudukan sangat penting, ia merupakan figur central dari dinamika sebuah pondok pesantren, terutama pada pondok pesantren tradisonal.
Pada tataran pondok pesantren tradisional, asal usul pesantren, biasanya memang diawali oleh bermukimnya seorang kiai pada suatu tempat tertentu. Tempat ini kemudian didatangi oleh para santri (pelajar) yang ingin belajar mengaji kepadanya. Para santri ini dilayani oleh kiai tersebut dengan suka rela. Setelah beberapa waktu, datanglah kepada kiai itu seorang demi seorang warga masyarakat sekitarnya, yang kemudian disusul oleh warga tetangga desa yang terdekat, orang dari daerah lain dan seterusnya ( Chirzin, 1979).
Sistem Pengajaran Pada Pesantren
Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren (tradisional) , dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, di mana di antara masing-masing sistem mempunyai ciri khas tersendiri , yaitu :
a. Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti ”sodoran atau yang disodorkan”. Yang dimaksud dengan sistem sorogan adalah sistem belajar seorang santri yang menyorog-kan (menyodorkan) kitab yang akan dikajinya kepada kiai, memohon agar dibimbing mempelajari kitab tersebut. Sistem sorogan ini memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar yang bersifat personal, karena santri dilayani sebagai pribadi oleh kiai, tidak bersama-sama dengan santri yang lain. Dalam sistem sorogan ini, seorang santri bebas menentukan program yang dipilihnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Ia bebas pula menentukan kitab-kitab yang akan dikajinya dan bebas pula memilih guru atau kiai yang membimbingnya. Santri yang memilih sistem ini mengevaluasi sendiri hasil studinya. Kenaikan tingkat pun ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan dengan berpindahnya buku kajian yang dipergunakan. Mereka yang telah tamat mengkaji buku-buku tertentu, tidak diberikan ijazah atau sertifikat oleh pesantren bersangkutan, karena ijazah, menurut kalangan pesantren diberikan oleh masyarakat kelak, kalau masyarakat menerima dia dan mengakui ilmu serta kecakapannya.
Kiai yang menangani pengajaran dengan sistem sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab. Sistem sorogan ini menggambarkan, bahwa seorang kiai di dalam memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.
Sistem sorogan yang memberikan pelayanan personal dan kebebasan kepada santri untuk menentukan program studinya itu, serta keikutsertaannya dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dirinya, merupakan sistem memberikan iklim yang baik bagi pertumbuhan pribadi santri yang bersangkutan, kemampuan berinovasi dan bertanggung jawab sendiri mengenai pilihan dan tindakan yang dilakukannya (Chirzin, 1979).
b. Bandongan
Sistem pengajaran bandongan ini sering disebut dengan halaqah. Dalam sistem ini kelompok santri yang terdiri lima sampai lima ratus orang santri, medengarkan seorang kiai atau guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri (menyimak) dan membuat catatan-catatan yang diperlukan ditempat-tempat kosong pada kitab yang dipegangnya. Dalam pelaksanaannya para santri duduk melingkar belajar bersama di bawah bimbingan seorang guru. Sistem bandongan ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi para santri.
Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah ini lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara kiai berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukalaf. Kiai tidak memperdulikan apa yang dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kiai dalam hal ini memandang penyelenggaraan pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah SWT.
Sistem bandongan ini relatif lebih sulit dibandingkan dengan sistem pengajaran sorogan. Karena sulitnya pelaksanaan sistem ini, banyak murid pengajian di daerah pedesaan yang gagal mengikutinya. Dalam bahasa SKS (satuan kredit semester) banyak santri yang DO (droup out) karenanya. Oleh karena itu, sistem sorogan seyogyanya dilakukan lebih dahulu, sebelum mengikuti sistem bandongan. Pelaksanaan pengajian/pengajaran dengan sistem bandongan ini oleh masyarakat pesantren di Jawa Timur sering disebut weton, atau sekurang-kurangnya membaurkan saja istilah tersebut.
c. Weton.
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian atau pengajaran weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada setiap hari Jum’at dan sebagainya. Apa yang hendak ’dibedah’ kiai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang biasanya atau dipastikan dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-kadang guru hanya memetik di sana sini saja. Peserta pengajian weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kiai kepada peserta pengajian bermacam-macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan secara bebas.
Tridharma Pondok Pesantren
di dalam menjalankan fungsi dan peranannya, kegiatan pondok pesantren tercakup dalam tri dharma pondok pesantren, yaitu :
1. Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
2. Pengembangan keilmuan yang bermanfaat’
3. Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara (Hasbullah, 1996)
Bagaimana Menata Belajar di Pesanten?
Berangkat dari kekhasan model pembelajaran yang ada di pesantren maka cara belajar siswa santri pondok pesantren pun sedikit berbeda dengan cara belajar siswa siswi pada umumnya. Letak pokok perbedaan tersebut adalah pada aspek kemandirian dan pengambilan keputusan dalam belajar. Di pondok pesantren (boarding school) siswa santri dituntut untuk secara mandiri mengambil keputusan dalam proses pembelajarannya. Meskipun secara psikologis siswa santri PP belum dapat digolongkan sebagai manusia dewasa penuh, tetepi mereka dipaksa harus bersikap secara dewasa. Namun secara umum (dalam tinjauan psikologis) apapun model pembelajaran yang dijalankan siswa/santri sebagai peserta didik adalah sama saja. Mari kita ikuti bersama pemaparan lebih jauh tentang cara belajar efektif di pesantren.
1. Apakah Belajar itu ?
Belajar adalah merupakan aktivitas mental tingkat tinggi yang melibatkan unsur kognisi, afeksi, konasi dan psikomotorik. Untuk dapat belajar secara baik, sehat dan benar diperlukan mental yang sehat, fisik yang sehat dan sikap yang sehat.
Landasan utama bagi pembentukan cara belajar yang baik pada setiap diri siswa/santri ialah memiliki sikap mental tertentu. Suatu sikap mental yang ditumbuhkan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya akan membuat seorang siswa/santri mempunyai senjata berupa kesediaan mental . Tanpa kesiapan mental itu para siswa/santri pada umumnya tidak akan dapat bertahan terhadap berbagai kesukaran-kesukaran yang dihadapi di bangku sekolah . Sikap mental yang perlu diusahakan oleh setiap mahasiswa sekurang-kurangnya meliputi empat segi, yaitu:
1. Tujuan Belajar
2. Minat terhadap Pelajaran
3. Kepercayaan pada diri sendiri
4. Keuletan
Tujuan Belajar
Belajar harus diarahkan kepada suatu cita-cita tertentu. Cita-cita yang diperjuangkan dengan berbagai kegiatan belajar itu lalu menjadi tujuan belajar dari setiapSiswa/santri. Biasanya tujuan belajar bersambung pula dengan tujuan hidupnya. Apakah kelak ia ingin menjadi ahli hukum, pengacara, notaris, akuntan, insinyur, dokter, militer, dai, kyai, ulama dan sebagainya. Tujuan belajar yang bersambung dengan cita-cita di masa depan itu akan merupakan suatu pendorong untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tanpa motif tertentu , semangat belajar seseorang siswa/santri akan mudah padam karena ia tidak merasa mempunyai sesuatu kepentingan yang harus diperjuangkan. Oleh karena itu, karena saat ini anda telah menentukan pilihan pada institusi pondok pesantren maka , bulatkan tekad dan cita-cita anda untuk menjadisantri yang baik. Kalau cita-cita anda di luar dunia pengetahuan agama maka lebih baik anda segera cabut dari Pesantren saat ini juga. Jangan sekolah/belajar karena prinsip” daripada nggak sekolah”, atau karena tidak diterima di sekolah lain !!
Dalam menentukan cita-cita itu, hendaklah seorang pelajar tidak semata-mata berpegang pada hasrat hatinya saja. Kemampuan diri sendiri juga harus diperhitungkan. Telitilah kelemahan-kelemahan diri sendiri berdasarkan angka-angka raport selama di sekolah sebelumnya. Kemampuan keuangan juga perlu diperhitungkan, jangan sampai sekolah berhenti di tengah jalan karena ketiadan biaya.
1. Minat Terhadap Pelajaran.
Setelah mulai belajar, hendaknya setiap siswa/santri menaruh minat yang sebasar-besarnya terhadap pelajaran yang diikuti. Minat itu tidak hanya ditujukan kepada satu atau dua mata pelajaran yang pokok saja, melainkan juga terhadap semua mata pelajaran. Suatu mata pelajaran (mata kuliah) hanya akan dapat dipelajari dengan baik apabila si pelajar dapat memusatkan perhatiannya terhadap pelajarannya itu. Minat merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya konsentrasi itu. Dengan kata lain tanpa minat tidak akan terjadi perhatian. Contoh misalnya : Seorang pecatur atau pemain kartu, dapat sehari penuh duduk dan memusatkan perhatian dan pikirannya bermain catur atau kartu, karena ia mempunyai minat yang besar terhadap catur dan kartu. Demikian pula seorang pemancing yang mampu duduk berjam-jam di tengah gelapnya malam atau teriknya matahari, karena ia sangat berminat dan menyukai pekerjaan memancing.
Minat selain memungkinkan pemusatan perhatian, juga akan menimbulkan kegembiraan dalam usaha belajar. Keriangan hati akan memperbesar daya kemampuan belajar seseorang dan juga membantunya untuk tidak mudah melupakan apa yang dipelajarinya itu. Belajar dengan perasaan yang tidak gembira akan membuat pelajaran itu terasa sangat berat.
2. Kepercayaan Pada Diri Sendiri.
Setiap siswa/santri harus yakin bahwa ia mempunyai kemampuan untuk memperoleh hasil yang baik dalam usaha belajarnya. Dengan adanya self confidance (rasa percaya diri ) dan self acceptance (penerimaan diri sendiri) ini mahasiswa pasti akan dapat mengikuti dan mengerti pelajaran-pelajaran di pesantrennya/disekolahnya dengan baik. Namun demikian, dalam membangun rasa percaya diri ini seorang siswa/santri juga harus rasional , dalam arti tidak asal percaya diri tanpa mempersiapkan diri dengan baik. Rasa percaya diri harus dibarengi dengan sikap waspada, sehingga siswa/santri tidak terjebak pada sikap “asal wani’ dan asal maju saja. Kalau ini yang terjadi, maka ini namanya sembrono.
Setelah belajar dengan baik, ujian-ujian hendaknya diikuti dengan penuh percaya diri. Jangan merasa ragu-ragu untuk menempuh ujian, selama anda telah benar-benar mempersiapkan diri dengan belajar sebelumnya. Kata “belajar” yang dimaksud di sini bukan sekedar menghafal materi pelajaran semalam suntuk, tetapi lebih pada memahami (understanding) pada isi pelajaran.
Siswa/santri yang memiliki rasa percaya diri postip, pasti tidak akan pernah melakukan kecurangan-kecurangan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Misalnya mencontek, menyalin pekerjaan teman atau memanipulasi tugas dengan membohongi guru/ustad-nya dan sebagainya. Menyontek adalah cerminan tidak adanya rasa percaya diri. Kalau masalahnya takut tidak lulus maka penyelesainnya bukan dengan cara menyontek, tetapi dialogkan dengan guru/ustad mengapa setelah menempuh 2 atau 3 kali ujian koq belum lulus juga. Hindari tindakan menyontek sejak awal anda sekolah. !!
Kepercayaan pada diri sendiri perlu sekali dipupuk sebagai salah satu persiapan rohani untuk berjuang disekolah/pondok pesantren. Kepercayaan itu dapat dipupuk dan dikembangkan dengan jalan belajar tekun. Hendaknya setiap siswa/santri menginsafi sepenuhnya bahwa tidak ada mata pelajaran yang tidak dapat dipahami kalau ia mau belajar dengan giat setiap hari. Selanjutnya hendaknya siswa/santri tidak terlampau bergantung diri kepada kawan di dalam usaha belajarnya. Tugas tugas mandiri (take home examination) cobalah selalu diselesaikan sendiri, baru kalau benar-benar mentok dibahas bersama-sama teman lainnya.
3. Keuletan
Yang memulia pekerjaan itu banyak, tetapi yang dapat bertahan hingga proses pekerjaan itu berakhir hanyalah sedikit, Demikian pula yang memasuki pondok pesantren setiap tahunnya sangat banyak, tetapi yang bisa bertahan sampai pelajarannya selesai tidaklah banyak.
Kehidupan siswa/santri selama belajar di PP itu penuh dengan kesulitan- kesulitan. Mulai dari kesulitan akademik, kesulitan finansial, kesulitan sosiokultural, kesulitan lingkungan dan sebagainya, Kesulitan-kesulitan tersebut akan lebih terasa bagi siswa/santri yang jauh dari keluarga atau berasal jauh dari luar kota. Oleh karena itu setiap siswa/santri harus mempunyai “keuletan” dan kesemamptaan jasmani rohani, mental maupun fsiknya. Keuletan rohani jasmani akan membuat mahasiswa beranai menghadapi segala kesulitan dan tidak mudah putus asa. Untuk memupuk keuletan itu maka hendaklah kesulitan itu ditempatkan / dipandang sebagai tantangan yang harus dihadapi bukan sebagai penghambat yang membuatnya nglokro. Motivasi yang kuat akan menjadi sumber yang besar dalam menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan tadi.
Individu dan Kelompok (Ringkasan Kuliah)
Di dalam interaksi sosial akan menyebabkan munculnya suasana kebersamaan (togetherness) diantara individu-individu yang terlibat. Di dalam psikologi sosial kemudan muncul istilah situasi sosial , yaitu tiap-tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Menurut M Sherif, situasi sosial dapat di bagi ke dalam dua golongan :
1. Situasi Kebersamaan (togetherness situation)
Situasi dimana sejumlah orang berkumpul pada lokasi dan waktu tertentu. Diantara orang orang tersebut mungkin tidak saling kenal karena merupakan sutau kebetulan. Faktor-faktor yang penting dalam situasi kebersamaan ini adalah bukan interaksi sosial yang mendalam tetapi adanya sejumlah orang, karena kepentingan bersama, dan berkumpul di suatu tempat. Misalnya orang yang berkumpul pada sebuah warung.
2. Situasi Kelompok Sosial (Group Situation)
Di dalam situasi kelompok selain individu-individu tersebut melakukan interaksi, mereka juga saling mengenal. Hubungan yang terjadi selain hubungan pribadi juga terjadi hubungan struktural dan hierarkis. Ada pembagian tugas diantara anggotanya, ada aturan-aturan atau norma yang berlaku.
Situasi kebersamaan sangat mungkin berubah menjadi situasi kelompok. Jika tidak terkendali situasi kebersamaan juga bisa berubah menjadi massa (colective behavior), yang sangat mungkin juga berubah menjadi crowd (social movement). Ciri-ciri crowd adalah suatu masa yang kacau dan bersifat agresif.
Timbulnya massa biasanya disebabkan : kurangnya kebutuhan pokok, ancaman dari luar, ada kejadian yang menarik.
Kelompok Sosial
Secara umum diartikan sebagai kumpulan individu yang sering mengadakan interkasi (face to face), selain terdapat hubungan pribadi juga terdapat hubungan struktural dan hirarkis (hubungan antara yang memimpin dengan yang dipimpin).
Sifat-sifat kelompok :
1. Saling tergantung diantara para anggota kelompok sehingga membentuk pola ertentu yang mengikat mereka
2. Tiap orang / anggota mengakui dan mentaati nilai-nilai, norma-norma serta pedoman tingkah laku di dalam kelompok itu.
Pada setiap kelompok akan selalu muncul norma-norma yang digunakan dakan kelompok tersebut. Norma secara umum merupakan ukuran-ukuran atau peratura-peraturan bagi perbuatan manusia. Menurut Sherif & Sherif norma adalah pengertian yang seragam antara anggota kelompok mengenai cara-cara bertingkah laku yang patut dilakukan oleh anggota kelompok bila mereka berhadapan dengan situasi yang berkaitan dengan kehidupan kelompok.
Pada setiap masyarakat sebenarnya ada nilai-nilai yang dipegang oleh para angotanya dan terwujud dalam pola tingkah laku masyarakat atau dalam sistem norma sosial. Masing-masing kelompok atau masing-masing masyarakat biasanya mempunyai norma yang berbeda-beda, hal ini biasanya disebabkan oleh
- faktor geografis
- status sosial
- faktor perbedaan tujuan kelompok.
Secara umum norma ada 2 yaitu norma tertulis dan tidak tertulis.
Ada beberapa alasan atau sebab mengapa seseorang memasuki atau bergabung dengan sebuah kemompok :
1. Tertarik pada individu di dalam kelompok tersebut
2. Tujuan kelompok dinilai sebagai tujuan yang bermanfaat
3. Ingin berinteraksi dengan individu lain
4. Aktivitas yang dilakukan kelompok merupakan aktivitas yang menarik
5. Agar dapat mencapai tujuan sekunder.
Hasil dari semua kekuatan yang ada pada anggota kelompok untuk tetap tingal dalam kelompok atau untuk meninggalkan kelompok disebut Kepaduan Kelompok (Group Cohesiveness), (Festinger, 1950).
Tahap-tahap Terbentuknya Kelompok (Tuckman, 1965 dan Have 1976) adalah :
1. Fase Forming
Yaitu suatu fase dimana anggota kelompok harus mencoba menemukan sifat dan batasan tugas dan memperhatikan tingkah laku orang lain atau anggota lain.
2. Fase Storming
Pada fase ini ditandai adanya ketegangan dan seringkali dijumpai adanya konflik diantara anggota kelompok. Hal ini terjadi karena masing-masing anggota nenunjukkan kepentingannya masing-masing.
3. Fase Norming
Dalam fase ini mulai ada proses yang lancar, mulai ada saling pengertian dan harmonis, mulai terbentuk kepaduan dimana anggota saling menerima satu sama lain, mulai mengembangkan struktur kelompok dan peranan anggota dalam kelompok. Interaksi yang terjadi ditandai saling hormat.
4. Fase Performing
Orientasi kelompok pada fase ini sudah memusat pada tugas dan tujuan.
Seiring dengan terbentuknya kelompok, maka akan terbentuk pula kohesivitas kelompok. Menurut Sherif & Sherif (1969), indikator kohesivitas kelompok adalah :
1. Interpersonal attractiveness. Yaitu ketertarikan terhadap anggota kelompok.
2. Attractives of the group. Yaitu ketertarikan seseorang terhadap kelompok, misalnya ada rasa bangga dengan kelompok.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepaduan kelompok :
1. Penderitaan / siksaan bersama
2. Gaya kepemimpinan
3. Jumlah anggota
4. Kesuksesan kelompok dalam merealisir tujuan
5. Ancaman dari luar
Konformitas
Konformitas adalah menyerahnya seseorang untuk menerima tekanan kelompok. Berlawanan dengan perilaku konformitas maka ada perilaku yang berlawanan yaitu perilaku non-konformis.
Ada 2 tipe parilaku non-konformis :
1. Anti konformitas
Terjadi bila seseorang justru mempunyai pendapat, sikap, atau perilaku yang berbeda atau berlawanan dengan kelompok.
2. Independent
Perbedaan independen dengan anti konformitas adalah seseorang melakukan atau mempunyai sikap yang berbeda dengan tidak terpengaruh oleh orang lain tetapi karena memang sesuai dengan isi pikirannya.
Sikap atau perilaku non-konformis bisa disebabkan oleh :
1. Reactance (penolakan)
Terjadi karena individu merasa kebebasan dirinya dirampas melalui tekanan konformitas. Teori ini pertama kali disampaikan oleh Brahm (1966).
2. Mencari perhatian
Pada umumnya orang yang meminta perhatian terhadap lingkungan terlalu berlebihan dan apabila lingkungan tidak memberikan hal tersebut akan berakibat orang tersebut menjadi non konformis.
3. Ingin menjadi unik
Menurut Maslach (1982) bahwa orang yang menilai tinggi keunikan cenderung menolak konformitas. Selain itu ada sejumlah orang yang memang senang apabila dirinya bisa menjadi beda dengan kebanyakan orang, eksklusif.
4. De-individuation
Yaitu seseorang yang tidak mempunyai tanggung jawab pribadi karena berada dalam situasi kelompok. De-individuasi bisa mendorong orang untuk tidak konform dengan kelompoknya karena orang tidak di kenal identitasnya. Orang itu akan merasa lebih bebas melakukan segala sesuatu menurut kehendaknya. Dengan tanpa identitas diri ia merasa lebih mudah untuk melepas tanggung jawab yang sebenarnya ditanggung
1. Situasi Kebersamaan (togetherness situation)
Situasi dimana sejumlah orang berkumpul pada lokasi dan waktu tertentu. Diantara orang orang tersebut mungkin tidak saling kenal karena merupakan sutau kebetulan. Faktor-faktor yang penting dalam situasi kebersamaan ini adalah bukan interaksi sosial yang mendalam tetapi adanya sejumlah orang, karena kepentingan bersama, dan berkumpul di suatu tempat. Misalnya orang yang berkumpul pada sebuah warung.
2. Situasi Kelompok Sosial (Group Situation)
Di dalam situasi kelompok selain individu-individu tersebut melakukan interaksi, mereka juga saling mengenal. Hubungan yang terjadi selain hubungan pribadi juga terjadi hubungan struktural dan hierarkis. Ada pembagian tugas diantara anggotanya, ada aturan-aturan atau norma yang berlaku.
Situasi kebersamaan sangat mungkin berubah menjadi situasi kelompok. Jika tidak terkendali situasi kebersamaan juga bisa berubah menjadi massa (colective behavior), yang sangat mungkin juga berubah menjadi crowd (social movement). Ciri-ciri crowd adalah suatu masa yang kacau dan bersifat agresif.
Timbulnya massa biasanya disebabkan : kurangnya kebutuhan pokok, ancaman dari luar, ada kejadian yang menarik.
Kelompok Sosial
Secara umum diartikan sebagai kumpulan individu yang sering mengadakan interkasi (face to face), selain terdapat hubungan pribadi juga terdapat hubungan struktural dan hirarkis (hubungan antara yang memimpin dengan yang dipimpin).
Sifat-sifat kelompok :
1. Saling tergantung diantara para anggota kelompok sehingga membentuk pola ertentu yang mengikat mereka
2. Tiap orang / anggota mengakui dan mentaati nilai-nilai, norma-norma serta pedoman tingkah laku di dalam kelompok itu.
Pada setiap kelompok akan selalu muncul norma-norma yang digunakan dakan kelompok tersebut. Norma secara umum merupakan ukuran-ukuran atau peratura-peraturan bagi perbuatan manusia. Menurut Sherif & Sherif norma adalah pengertian yang seragam antara anggota kelompok mengenai cara-cara bertingkah laku yang patut dilakukan oleh anggota kelompok bila mereka berhadapan dengan situasi yang berkaitan dengan kehidupan kelompok.
Pada setiap masyarakat sebenarnya ada nilai-nilai yang dipegang oleh para angotanya dan terwujud dalam pola tingkah laku masyarakat atau dalam sistem norma sosial. Masing-masing kelompok atau masing-masing masyarakat biasanya mempunyai norma yang berbeda-beda, hal ini biasanya disebabkan oleh
- faktor geografis
- status sosial
- faktor perbedaan tujuan kelompok.
Secara umum norma ada 2 yaitu norma tertulis dan tidak tertulis.
Ada beberapa alasan atau sebab mengapa seseorang memasuki atau bergabung dengan sebuah kemompok :
1. Tertarik pada individu di dalam kelompok tersebut
2. Tujuan kelompok dinilai sebagai tujuan yang bermanfaat
3. Ingin berinteraksi dengan individu lain
4. Aktivitas yang dilakukan kelompok merupakan aktivitas yang menarik
5. Agar dapat mencapai tujuan sekunder.
Hasil dari semua kekuatan yang ada pada anggota kelompok untuk tetap tingal dalam kelompok atau untuk meninggalkan kelompok disebut Kepaduan Kelompok (Group Cohesiveness), (Festinger, 1950).
Tahap-tahap Terbentuknya Kelompok (Tuckman, 1965 dan Have 1976) adalah :
1. Fase Forming
Yaitu suatu fase dimana anggota kelompok harus mencoba menemukan sifat dan batasan tugas dan memperhatikan tingkah laku orang lain atau anggota lain.
2. Fase Storming
Pada fase ini ditandai adanya ketegangan dan seringkali dijumpai adanya konflik diantara anggota kelompok. Hal ini terjadi karena masing-masing anggota nenunjukkan kepentingannya masing-masing.
3. Fase Norming
Dalam fase ini mulai ada proses yang lancar, mulai ada saling pengertian dan harmonis, mulai terbentuk kepaduan dimana anggota saling menerima satu sama lain, mulai mengembangkan struktur kelompok dan peranan anggota dalam kelompok. Interaksi yang terjadi ditandai saling hormat.
4. Fase Performing
Orientasi kelompok pada fase ini sudah memusat pada tugas dan tujuan.
Seiring dengan terbentuknya kelompok, maka akan terbentuk pula kohesivitas kelompok. Menurut Sherif & Sherif (1969), indikator kohesivitas kelompok adalah :
1. Interpersonal attractiveness. Yaitu ketertarikan terhadap anggota kelompok.
2. Attractives of the group. Yaitu ketertarikan seseorang terhadap kelompok, misalnya ada rasa bangga dengan kelompok.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepaduan kelompok :
1. Penderitaan / siksaan bersama
2. Gaya kepemimpinan
3. Jumlah anggota
4. Kesuksesan kelompok dalam merealisir tujuan
5. Ancaman dari luar
Konformitas
Konformitas adalah menyerahnya seseorang untuk menerima tekanan kelompok. Berlawanan dengan perilaku konformitas maka ada perilaku yang berlawanan yaitu perilaku non-konformis.
Ada 2 tipe parilaku non-konformis :
1. Anti konformitas
Terjadi bila seseorang justru mempunyai pendapat, sikap, atau perilaku yang berbeda atau berlawanan dengan kelompok.
2. Independent
Perbedaan independen dengan anti konformitas adalah seseorang melakukan atau mempunyai sikap yang berbeda dengan tidak terpengaruh oleh orang lain tetapi karena memang sesuai dengan isi pikirannya.
Sikap atau perilaku non-konformis bisa disebabkan oleh :
1. Reactance (penolakan)
Terjadi karena individu merasa kebebasan dirinya dirampas melalui tekanan konformitas. Teori ini pertama kali disampaikan oleh Brahm (1966).
2. Mencari perhatian
Pada umumnya orang yang meminta perhatian terhadap lingkungan terlalu berlebihan dan apabila lingkungan tidak memberikan hal tersebut akan berakibat orang tersebut menjadi non konformis.
3. Ingin menjadi unik
Menurut Maslach (1982) bahwa orang yang menilai tinggi keunikan cenderung menolak konformitas. Selain itu ada sejumlah orang yang memang senang apabila dirinya bisa menjadi beda dengan kebanyakan orang, eksklusif.
4. De-individuation
Yaitu seseorang yang tidak mempunyai tanggung jawab pribadi karena berada dalam situasi kelompok. De-individuasi bisa mendorong orang untuk tidak konform dengan kelompoknya karena orang tidak di kenal identitasnya. Orang itu akan merasa lebih bebas melakukan segala sesuatu menurut kehendaknya. Dengan tanpa identitas diri ia merasa lebih mudah untuk melepas tanggung jawab yang sebenarnya ditanggung
Senin, 03 Oktober 2011
Film Tentang Cinta Melati
Melati adalah seorang mahasiswi dan juga pekerja, ia bekerja untuk mengusir rasa kesepian karena seluruh keluarganya sibuk. Melati mempunyai pacar bernama Jaka dan dia adalah lelaki kasar yang juga matre.
Jaka sangat suka melakukan kekerasan fisik kepada melati.
Saya menonton film ini dan berpendapat bahwa tindakan Jaka yang kasar adalah kelainan psikologis yang di turunkan dari ayahnya, dan Melati yang terlalu penurut yang membuat Jaka semakin semena - mena.
Bagi saya seharusnya Melati tidak harus takut kehilangan Jaka dan merasa kesepian karena Jaka terlihat memeanfaatkan kelemahan Melati. Tetapi akhirnya Melati sadar dan sering hang out bersama teman - temannya dan meninggalkan Jaka, menurut saya itu adalah tindakan yang tepat yang harus dilakukan Melati
Mencari kesibukan dan menghabiska waktu bersama teman - teman adalah cara yang tepat untuk mengusir kesepian.
Jumat, 23 September 2011
JIKA AKU TIDAK BISA BERKOMUNIKASI
Dari materi psikologi komunikasi yang saya baca di http://cai.elearning.gunadarma.ac.id/webbasedmedia saya berpendapat bahwa setiap perbuatan dan tingkah laku kita secara sadar ataupun tidak sebagai manusia dan selama sistem otak masih bekerja adalah komunikasi.
"Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain-lainnya melalui penggunaan simbol-simbol, seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka, dan lain-lain" -Berelson & Steiner 1964.
Mengetahui bahwa Komunikasi adalah prasyarat kehidupan manusia, Tindakan komunikasi dalam dilakukan dengan berbagai macam cara baik secara verbal maupun nonverbal. Secara langsung maupun tidak langsung, Komunikasi juga merupakan salahsatu fungsi fital dari kehidupan manusia.
Tidak bisa berkomunikasi menurut saya sama dengan seseorang yang telah meninggal, karena manusia tidak dapat tidak berkomunikasi, seorang bayipun berkomunikasi dengan cara menangis, orang yang telah lumpuhpun dapat berkomunikasi dengan bantuan pergerakan organ tubuh yg dapat di gerakkan seperti, memutar bolamata atau menangis.
Jika saya tidak dapat berkomunikasi maka saya adalah orang yg sudah tidak bernyawa/telah meninggal.
pic by google.
Rabu, 08 Juni 2011
Ciri-Ciri Sekolah yang Melaksanakan Pembelajaran Aktif

Pembelajaran Aktif merupakan sebuah konsep pembelajaran yang dipandang sesuai dengan tuntutan pembelajaran mutakhir. Oleh karena itu, setiap sekolah seyogyanya dapat mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran aktif ini dengan sebaik mungkin. Dengan merujuk pada gagasan dari Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2010), berikut ini disajikan sejumlah indikator atau ciri-ciri sekolah yang telah melaksanakan proses pembelajaran aktif ditinjau dari aspek: (a) ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi; (b) sumber daya manusia; (c) lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar; dan (d) proses belajar-mengajar dan penilaian.
A. EKSPEKTASI SEKOLAH, KREATIVITAS, DAN INOVASI
Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, po bunga, tempat sampah)
Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali dalam satu tahun.
Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
Iklim sekolah lebih demokratis.
Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin.
Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan lainnya secara rutin.
Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang terkait (stakeholders).
B. SUMBER DAYA MANUSIA
Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta didik maupun guru.
Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang tua/komite sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan verbal kepada peserta didik.
Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan kegiatan belajar.
Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar kelas.
Peserta didik berani bertanya kepada guru.
Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.
C. LINGKUNGAN, FASILITAS, DAN SUMBER BELAJAR
Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan karya peserta didik yang baru.
Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga berdebu.
Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam buku cukup tinggi.
Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
Ada sarana belajar yang bervariasi.
Digunakan beragam sumber belajar.
D. PROSES BELAJAR-MENGAJAR DAN PENILAIAN
Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar antarmata pelajaran yang relevan.
Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar mengajar.
Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang dinilai. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk yang dihasilkan.
Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang dibutuhkan peserta didik.
Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian, sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam kompetensi tertentu.
==========
Sumber: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan Belajar Aktif; Buku I Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta.
==============
REFLEKSI:
Sejauhmana sekolah Anda telah mampu memenuhi indikator di atas?
Upaya apa yang bisa dilakukan agar sekolah-sekolah kita dapat memenuhi ciri-ciri di atas?
Note: Ini bukan tulisan saya, lebih lengkapnya silahkan Anda baca di AKHMAD SUDRAJAT: TENTANG PENDIDIKAN
Minggu, 05 Juni 2011
PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL
Oleh Amirul Mukminin
Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya?Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.
PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.
Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.
Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.
Sumber: http://re-searchengines.com/amukminin.html
Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya?Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.
PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.
Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.
Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.
Sumber: http://re-searchengines.com/amukminin.html
Langganan:
Postingan (Atom)