TINJAUAN MENGENAI PRAKTEK KREATIF PELAKU BISNIS DI INDONESIA
Oleh: Benny Hendrawan, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog.
Koordinator Laboratorium Psikologi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPPSDM) LPMP Sumatera Selatan
ABSTRAKSI
Berbicara tentang kreativitas, mau tidak mau kita harus berbicara tentang bagaimana berkreasi secara sehat. Kreasi yang sehat adalah kreasi yang menjadikan etika sebagai prinsip dasar dalam berkreasi. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan iklim intelektualitas yang sehat dan etis guna mencapai tujuan bersama. Dalam persaingan usaha yang ketat seperti sekarang ini, prinsip kebebasan, keleluasaan, dan keterbukaan, banyak diterapkan oleh hampir semua kreator (baca: pengusaha). Akan tetapi, hal itu tidak berarti tidak ada batasan sama sekali dalam berusaha. Oleh karena itu perlu ada batasan-batasan normatif yang mengatur tata krama dalam berusaha, yang dalam istilah lain disebut sebagai etika.Salah satu etika yang harus dikembangkan itu adalah perlunya upaya untuk menghargai produk dan merek yang melekat di produk itu sebagai sebuah karya kreatif dan hak kekayaan intelektual yang harus terbebas dari penjiplakan dan peniruan. Tulisan yang berjudul Etika Dalam Pengembangan Kreativitas (Studi Mengenai Praktek Kreatif Pelaku Bisnis di Indonesia) ini adalah salah satu bagian dari upaya untuk melihat sampai sejauhmana praktek penjiplakan dan peniruan –dalam bentuk strategi kamuflase– sebuah produk dilakukan oleh para pelaku usaha yang menyebut dirinya sebagai pekerja kreatif.
Kata Kunci: Etika, kreativitas, kamuflase, follower, dan market leader.
A. Pendahuluan
Kalau kita mau mencermati, semenjak krisis moneter melanda Indonesia di awal tahun 1997, banyak pelaku usaha di Indonesia yang merasa tidak percaya diri untuk bersaing dan berkreasi secara sehat dalam mengembangkan merek dagang mereka di tengah masyarakat. Dengan alasan semakin tingginya harga-harga produk bermerek, banyak para pelaku usaha ini yang kemudian berkreasi mengembangkan produk-produk alternatif dengan harga yang sangat murah.
Bagi para konsumen, khususnya konsumen kelas menengah ke bawah, kreativitas para pelaku usaha ini tentu dirasa sangat membantu, ditengah himpitan krisis ekonomi yang kian menghawatirkan. Namun yang menjadi masalah, banyak diantara para konsumen kelas menengah ke bawah ini, yang tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban praktek kamuflase para kreator (baca : pengusaha), yang secara etika sesungguhnya sangat tidak etis untuk dilakukan.
Kita tentu masih ingat ketika merek Mitochiba yang sangat terkenal di awal krisis moneter, mulai menarik perhatian para konsumen. Dengan memakai embel-embel ”tochiba”, produser merek elektronik ini ingin menggiring image konsumen kepada salah satu leader elektronik terkemuka asal Korea, Toshiba. Tidak hanya itu, kita juga pernah melihat adanya merek-merek imitasi lainnya, seperti Sonny, Akira, Super X, Aquaria, Rodeo, Spaloing, Lemkol, Dinamics, Trobos, dan lain-lain. Sesuai tujuan semula, produk-produk imitasi ini memang secara sengaja ingin mengelabui konsumen produk Sony (elektronik), Akari (elektronik), Supra X (motor), Aqua (air kemasan), Oreo (biskuit), Spalding (parfum), Glukol (lem kertas), Dinamits (permen), dan Trubus (majalah).
Merek-merek imitasi ini sampai sekarang masih banyak kita jumpai di pasaran. Meskipun banyak diantara mereka yang kemudian harus gulung tikar, namun tidak sedikit diantara mereka yang kemudian menjadi market leader, seperti Mitochiba, market leader produk VCD di Indonesia. Bahkan, karena strategi ini oleh beberapa pengusaha dianggap cukup jitu untuk meraih market share, banyak kemudian pengusaha-pengusaha lain yang melakukan praktek tidak etis ini dalam bentuk dan cara yang sedikit berbeda.
Fakta mengenai praktek ini, sempat diangkat secara menarik oleh Rahmat Susanta dalam majalah Marketing edisi November 2004. Susanta memaparkan beberapa fakta mengenai praktek imitasi atau camouflage marketing ini, baik dalam bentuk jasa maupun barang. Susanta mencontohkan, bahwa dalam soal reputasi, nama Blue Bird di kalangan pengguna taksi di Jakarta memang tidak terkalahkan. Banyak pengguna taksi yang lebih memilih untuk menunggu lebih lama ketimbang naik taksi yang lain. Terkadang mereka tidak acuh jika datang taksi merek lain menghampiri. Sudah banyak bukti, naik taksi Blue Bird memang dijamin lebih aman, pelayanannya baik, dan jauh dari praktek “argo kuda”.
Tentu saja perilaku pengguna taksi semacam ini bikin gerah pengusaha taksi yang lain. Kendaraan yang lebih bagus dan pengemudi yang sopan kenyataannya tidak menjamin bahwa taksi mereka dilirik calon penumpang. Merek, sekali lagi berbicara banyak dalam soal ini. Asosiasi merek yang sudah telanjur melekat kuat di mata masyarakat akhirnya membuat para pemain lain, terutama pemain baru menjadi sulit bergerak
Akhirnya, mau tidak mau, dan diakui atau tidak, mereka harus menjalankan camouflage marketing alias berlomba-lomba mirip market leader. Jadi jangan kaget jika Anda salah naik taksi di Jakarta. Menyangka naik Blue Bird, ternyata bukan. Soalnya, banyak merek taksi yang mengecat beberapa bodi mobilnya persis dengan warna Blue Bird. Kreatif bukan?
President Taxi misalnya, dulu terkenal sebagai merek taksi yang memiliki imej buruk di mata masyarakat Jakarta. Sopir taksi ini terkenal tidak sopan, mengemudi seenaknya, main borongan (tidak pakai argo), banyak yang mempergunakan argo kuda dan kendaraannya banyak yang tua. Walaupun sekarang sudah mengganti namanya menjadi Prestasi dan memiliki armada yang baru-baru, namun toh tetap tidak mampu menghapuskan imej tersebut di masyarakat. Makanya, taksi ini pun kemudian mengganti warna taksinya menjadi biru, warna khas dari Blue Bird. Menurut mereka, yang penting penumpang naik taksi mereka terlebih dahulu, baru mereka dapat merasakan bahwa sopir taksi Prestasi sebenarnya banyak yang baik. Hal yang sama baru-baru ini juga dilakukan pada taksi Simpati yang juga mengecat warna armadanya sama dengan taksi dari grup Blue Bird.
Argumen dari seorang sopir taksi ini mungkin benar. Bagaimana konsumen dapat mencoba merek kita, jika mereka sudah keburu berpaling ke merek lain? Padahal, experience adalah prasyarat sebelum konsumen menyukai atau tidak produk kita. Nah, strategi kamuflase barangkali menjadi jalan pintas yang ampuh untuk bisa mencuri perhatian konsumen. Konsumen yang sedang terburu-buru bisa “terjebak” untuk membeli produk lain. Strategi semacam ini, menurut pengamat pemasaran Bambang Bhakti, pernah dilakukan oleh So Klin ketika pertama kali masuk ke pasar. Mereka memiliki kemasan yang warnanya hampir sama dengan Rinso untuk “mengecoh” konsumen. Setelah mereknya sudah lumayan “berbunyi”, So Klin kemudian mengganti kemasannya.
B. Kreativitas = Meniru?
Kalau kita cermati, proses kreatif memang sangat dekat dengan imitasi atau penjiplakan. Di Indonesia, orang bahkan berani meniru orang lain secara terang-terangan agar bisa dikatakan kreatif. Apalagi, tidak ada larangan dan etika yang membatasi aksi tiru meniru ini. Bahkan, dengan meniru, orang ternyata mampu menjadi lebih hebat, lebih terkenal, dan lebih berduit dibandingkan sebelum aksi peniruan itu terjadi.
Yang paling mencolok dalam hal penjiplakan dan peniruan ini adalah kreativitas di bidang seni dan hiburan di televisi. Adalah Inul Daratista yang pertama kali memperkenalkan gaya berjoget dangdutnya yang norak yang dikenal dengan nama goyang ngebor. Karena goyang ini dianggap berhasil dan fenomenal dalam menghantarkan artis lokal ke pentas nasional, maka tanpa dikomando, banyak artis lokal lain yang mencoba memperkenalkan kreasi goyangnya yang tidak kalah norak dengan Inul Daratista.
Kita mengenal Uut Permatasari dengan goyang ngecor, Dewi Persik dengan goyang patah-patah, Yessy Vibrator dengan goyang getar/ vibrasi, dan goyang-goyang lain yang semuanya diilhami dari goyang ngebor. Hebatnya, semua goyang itu mampu menghantarkan secara cepat popularitas para penyanyi tersebut hingga mampu masuk kedalam jajaran selebritis top ibukota.
Hal yang sama juga terjadi dalam dunia reality show yang bergerak dalam bidang pencarian bakat. Adalah Indosiar yang pertamakali mempeloporinya melalui program Akademi Fantasi Indosiar yang fenomenal. Seakan tidak ingin ketinggalan dengan Indosiar yang mampu meraup keuntungan luar biasa dari spot iklan, RCTI ikut-ikutan dengan menampilkan Indonesia Idol. Lalu disusul KDI dan ABG di TPI (sekarang MNCTC), Pildacil di Lativi (sekarang) Anteve, Audisi Presenter di Metro TV, Audisi Anak Band dan Jejak Petualang di Trans 7, dan berbagai program serupa yang menjadikan SMS penonton sebagai basis pemilihan.
Dunia gosip para selebritis juga tidak luput dari proses ”kreatif” dan aksi saling tiru ini. Adala h stasiun televisi RCTI yang pertamakali mempeloporinya melalui tayangan Cek & Ricek. Seperti sudah menjadi kebiasaan para pekerja kreatif di televisi, tak lama setelah Cek & Ricek sukses di pasaran, muncullah berbagai macam program serupa, mulai dari Was-was, Kasak-Kusuk, dan Bibir Plus (SCTV), Insert dan Kroscek, (Trans TV), TOP 7 (Trans 7), Zig-Zag (Antv), Silet (RCTI), Kiss (Indosiar), Obsesi (Global TV), dan lain-lain. Anehnya, dari sekian banyak program tersebut, semua isi dan materi beritanya ternyata tidak ada yang berbeda.
Hal yang sama juga terjadi dalam dunia sinetron. Ketika dunia hantu sangat laris ditonton, maka semua sinetron di bawa kedalam dunia hantu, meskipun cerita awalnya tidak terkait sama sekali dengan dunia hantu. Demikian pula ketika tema seputar azab kubur laris manis ditonton masyarakat, maka hampir semua televisi menayangkan tontonan sejenis, mulai dari Azab Illahi 1-2-3, Azab Kubur 1-2-3, Hidayah-1-2-3, dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan berita kriminalitas. Ketika Indosiar menayangkan Patroli yang sangat terkenal itu, maka televisi lain juga ikut-ikutan menayangkan program serupa. Nama programnyapun bervariasi, mulai dari Sergap (RCTI), Buser (SCTV), TKP (Trans 7), Sidik (TPI), dan lain-lain.
Banyaknya program acara yang dikemas dengan nama kreasi ini (karena didalam program tersebut biasanya ada tim kreatif), mau tidak mau membuat aksi imitasi atau peniruan menjadi sesuatu yang biasa terjadi dan halal untuk dilakukan. Akibat lebih lanjut, karya kreatif yang benar-benar baru dan orisinil menjadi semakin tidak berarti, dan orang tidak mampu lagi membedakan mana yang betul-betul orisinil dan m ana yang hanya meniru-niru. Padahal, orisinalitas dan kebaruan ini merupakan syarat mutlak dari sebuah kreativitas.
Kreativitas menurut The Liang Gie (2003) adalah suatu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh orang dengan menggunakan akal budinya untuk menciptakan buah pikiran baru dari kumpulan ingatan yang berisi berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, dan pengetahuan. Kreativitas ini sendiri harus memuat buah pikiran yang luar biasa atau asli dan memenuhi ukuran-ukuran baku tentang nilai (Anderson, 1980).
Berdasarkan defenisi di atas, maka aksi saling tiru yang dikemas dalam sebuah karya kreatif, sesungguhnya tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk kreativitas yang patut dihargai. Karena karya-karya itu banyak yang mengabaikan ukuran-ukuran baku tentang nilai dan tidak mengandung kebaruan dan orisinalitas.
Untuk itulah, guna mengeliminir aksi saling tiru dan penjiplakan karya-karya kreatif ini, maka seyogyanya perlu dikembangkan etika bersama, agar karya kreatif dapat ditempatkan pada posisi yang tinggi dan terhormat dalam dunia kreasi. Terlebih bila kreasi itu dikaitkan dengan dunia bisnis yang semakin kompetitif.
C. Strategi Kamuflase
Strategi kamuflase adalah salah satu bagian dari strategi imitasi atau peniruan yang dijalankan oleh follower (Sasanta, 2004). Seperti dikatakan oleh Theodore Levitt dalam artikelnya “Innovative Imitation”, strategi imitasi produk barangkali bisa menjadi strategi yang lebih menguntungkan, daripada strategi inovasi yang merupakan usaha berfikir secara sadar untuk mendapatkan produk yang kreatif dan inovatif. Selain membutuhkan biaya yang besar dalam pengembangan produk, strategi inovasi juga membutuhkan kemampuan dalam mengedukasi pasar.
Akibatnya, kebanyakan follower memilih untuk menjalankan strategi imitasi. Strategi imitasi bukan sekadar membuat produk baru yang sama, tetapi seringkali juga menjalankan strategi distribusi dan promosi yang sama. Bahkan packaging pun dibuat mirip. Singkatnya, semua yang dilakukan oleh market leader, ditiru dan diadopsi oleh follower.
Lebih lanjut Susanta (2004) menguraikan, bahwa seperti halnya dunia pemasaran yang selalu dikaitkan dengan perang, kamuflase juga mengambil filosofi dari strategi berperang. Kamuflase adalah strategi menyamarkan diri dengan lingkungan sekitarnya, sehingga tidak akan terlihat oleh lawan.
Dalam pemasaran, para pemasar pun mempergunakan istilah yang sama untuk menyamarkan produk mereka dengan lingkungan sekitar, terutama ketika bertarung di pasar modern. Market leader sudah pasti memiliki tumpukan produk yang banyak di rak-rak retailer. Maklum sebagai produk yang laku mereka akan memperoleh kesempatan untuk menempati ruang yang lebih besar ketimbang merek lain. Akibatnya, rak-rak tersebut akan didominasi oleh warna dan desain kemasan dari si market leader.
Nah, di sinilah kreativitas para follower di uji. Mereka berusaha bagaimana caranya agar mereka dapat menyamarkan produk mereka di tengah produk-produk yang sudah terkenal. Ada beberapa keuntungan yang dapat mereka raih dengan melakukan cara-cara seperti ini.
Pertama, agar konsumen salah membeli produk. Keuntungan semacam ini sama dengan keuntungan yang ingin diraih oleh taksi Prestasi. Mereka berharap konsumen dapat berbalik menyukai produk si follower setelah salah membeli.
Kedua, agar konsumen dapat melakukan perbandingan harga sebelum melakukan pembelian. Keuntungan jenis kedua ini diperoleh ketika konsumen akhirnya tersadar sebelum melakukan pembelian. Packaging yang mirip bisa menciptakan persepsi bahwa isinya sama dalam soal rasa dan kualitas. Konsumen yang price sensitive kemudian akan memilih merek follower karena umumnya follower menawarkan harga yang lebih rendah.
Ketiga, agar konsumen berpikir bahwa produknya adalah turunan atau masih satu “saudara” dengan merek lain. Umumnya sebuah perusahaan memiliki warna korporat tertentu yang secara konsisten diterapkan pada setiap merek dan merek turunannya. Persepsi si konsumen akan kualitas merek market leader akan “tertular” pula pada merek yang melakukan strategi kamuflase. Mereka pun kemudian membeli merek yang “mengaku” saudara ini.
D. Praktek Kamuflase oleh Market Leader
Jika selama ini praktek imitasi atau kamuflase itu dilakukan oleh produsen kecil yang tidak terkenal, ternyata saat ini orientasi tersebut telah berubah faktanya. Sesuai dengan perkembangan pasar yang kian dinamis, nampaknya para merket leader pun ikut-ikutan kurang percaya diri dengan mempraktekkan strategi ini, guna menekan penetrasi produk baru yang dirasa kian mengancam.
Menurut Susanta (2004), kebingungan konsumen memang menjadi alasan paling dasar dari strategi kamuflase. Itulah sebabnya kamuflase sering dikatakan sebagai strategi merek yang kurang percaya diri. Biasanya kamuflase dilakukan oleh merek-merek yang tidak punya dana kampanye cukup besar atau bahkan tidak melakukan kampanye sama-sekali. Mereka lebih berharap mereknya bisa menempel pada merek lain di pasaran
Tapi apakah hanya follower yang melakukan strategi kamuflase? Ternyata tidak juga. Market leader pun bisa terpancing melakukan strategi kamuflase. Terutama jika mereka merasa kurang percaya diri menghadapi lawan mereka. Hal seperti ini dilakukan oleh Indomie yang merasa terusik dengan kehadiran Mie Sedaap. Mempergunakan fighting brand-nya, Supermi, Indofood kemudian mengeluarkan Supermi Sedaaap. Tujuannya memang ingin membuat kebingunan konsumen di tingkat outlet. Diharapkan si konsumen akan terkecoh, sekalipun Supermi mempergunakan huruf “a” yang lebih panjang (sedaaap).
Masalahnya, strategi kamuflase sering disalahartikan pemasar dengan penjiplakan dan pembajakan merek atau hak intelektual lainnya. Memang, kamuflase cenderung berada di daerah abu-abu di mana jika si pemasar tidak hati-hati akan terjebak pada penjiplakan dan pembajakan. Merek yang merasa terusik dan merasa dirugikan akan melakukan tuntutan. Sudah banyak kasus merek berakhir di pengadilan, lantaran masalah ini. Sekalipun bukan pembajakan, strategi kamuflase sering berbuah pada hilangnya reputasi merek yang ditiru
Sekalipun begitu, apakah benar konsumen bisa terkecoh dengan strategi kamuflase? Beberapa riset yang pernah dilakukan ternyata tidak mendukung peran strategi kamuflase. Penelitian yang dilakukan oleh Murray Tong, profesor dari Guelph University Canada menunjukkan bahwa memang ada konsumen yang akan terkecoh, tetapi sebagian besar ternyata tidak mengalami hal yang sama .
Penelitian yang dilakukan Murray ini berupaya membuktikan adanya “estimasi belebihan” dari survei yang dilakukan pengadilan di Canada, bahwa konsumen banyak yang terkecoh membeli merek yang mirip merek terkenal karena nama, packaging atau tampilannya. Di Canada selama 15 tahun ada 80 kasus merek yang terganggu oleh merek semacam ini
Survei Murray ini berlangsung di ritel-ritel dan dilakukan pada delapan produk yang paling sering dibeli seperti pasta gigi, deterjen, sabun, dan lain-lain. Hasilnya, hanya sedikit sekali konsumen yang benar-benar salah membeli. Frekuensi ini jauh sekali dari hasil yang diklaim oleh pengadilan Canada. Murray bahkan mengatakan bahwa kasus-kasus yang dibawa oleh merek-merek terkenal ke pengadilan itu, sebenarnya hanya akal-akalan untuk memproteksi diri mereka dari kehadiran merek-merek baru yang berusaha masuk ke pasar mereka.
Tuntutan terhadap merek yang lumayan banyak, juga pernah dilakukan oleh Contessa Food Product di AS, terhadap 12 merek yang menjual udang dengan kemasan yang mirip-mirip produk udang yang dijual Contessa. Perusahaan ini pun mengalami perlawanan yang tidak mudah.
Strategi kamuflase memang tidak mudah dihadapi oleh market leader. Mungkin hanya perasaan kurang percaya diri saja yang menyebabkan mereka takut terhadap strategi kamuflase. Padahal sudah terbukti strategi kamuflase lebih banyak dilakukan oleh merek-merek yang secara market share masih sangat kecil. Mereka juga merupakan merek-merek yang kurang percaya diri
Blue Bird saja tidak bereaksi terhadap strategi kamuflase yang dilakukan oleh merek-merek taksi lain. Manajemen Blue Bird yakin bahwa sistem IT yang dimiliki dan kualitas pelayanan dari pengemudi Blue Bird tetap tidak akan mudah ditiru oleh pesaing.
E. Aplikasi Teori Psikologi
Dalam perspektif psikologi, penggunaan strategi kamuflase dan imitasi ini merupakan penerapan teori persepsi oleh para produsen yang tidak ingin repot dalam membangun merek dagang mereka dalam waktu yang lama. Seperti kita ketahui, Krech dan Crutchfield (dalam Rahmat, 1991) telah merumuskan empat dalil persepsi, yaitu : 1) persepsi bersifat selektif secara fungsional, 2) medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasi dan diberi arti, 3) sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan, dan 4) objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama.
Terkait dengan masalah penggunaan strategi kamuflase dan imitasi ini, maka dalil keempat sesungguhnya dapat menjelaskan, mengapa banyak produsen atau pelaku usaha yang kerap menggunakan strategi ini. Berdasarkan dalil keempat ini, individu selaku konsumen, memang memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan produk tertentu sama dengan produk yang lain, bilamana produk tersebut memiliki nama, bentuk, warna, atau kemasan yang sama.
Karena secara psikologis, manusia memang selalu memandang stimuli dalam konteks dan strukturnya, sehingga ia akan mencoba mencari struktur pada rangkaian stimuli. Struktur ini diperoleh dengan jalan mengelompokkan berdasarkan kedekatan atau persamaan. Prinsip kedekatan menyatakan bahwa stimuli yang berdekatan (dekat dalam bentuk, warna, nama atau kemasan) satu sama lain akan dianggap satu kelompok (Rahmat, 1991).
Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan ini sering dipergunakan oleh para komunikator untuk meningkatkan kredibilitasnya, karena kedekatan dalam ruang dan waktu akan menyebabkan stimuli ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Oleh karena itu, seringkali terjadi, hal-hal yang berdekatan juga dianggap berkaitan atau mempunyai hubungan sebab akibat.
Namun demikian, menurut Krech dan Crutchfield, adanya kecenderungan individu untuk mengelompokkan stimuli berdasarkan kesamaan dan kedekatan ini adalah sesuatu yang bersifat universal, dan bisa terjadi di mana saja dan pada siapa saja, termasuk konsumen Indonesia.
F. Aplikasi Teori Kreativitas
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa persaingan antar produk dan jasa, sesungguhnya merupakan persaingan antar tim kreatif yang terdapat dalam setiap perusahaan. Dalam struktur organisasi, tim kreatif ini biasanya masuk kedalam Departemen Penelitian dan Pengembangan (Research and Development Departement). Organisasi ini bertugas untuk meneliti dan mengembangkan teknik-teknik dan metode yang diperlukan untuk membangun citra sebuah produk atau jasa, bagaimanapun caranya.
Mengingat tugasnya yang demikian dinamis, maka terkadang orang-orang yang berada dalam depertemen ini sering bertindak semampu dan semaunya dan tidak mau terikat pada konvensi-konvensi sosial. Termasuk di dalamnya konvensi tentang etika untuk tidak menjiplak dan meniru sebuah produk. Perilaku ini menurut Coleman dan Hammen (Dalam Rahmat, 1991), merupakan faktor-faktor yang menandai orang-orang kreatif. Ada tiga faktor yang menandai hal tersebut, yaitu :
1. Kemampuan kognitif. Mereka biasanya memiliki kecerdasan di atas rata-rata, memiliki kemampuan melahirkan gagasan baru dan gagasan-gagasan yang berlainan, serta selalu berfikir fleksibel.
2. Sikap yang terbuka. Mereka selalu mempersiapkan diri untuk menerima stimuli internal dan eksternal serta adanya minat yang beragam dan luas tentang berbagai hal.
3. Sikap yang bebas, otonom, dan percaya pada diri sendiri. Mereka biasanya tidak senang ”digiring” orang lain, selalu ingin menampilkan diri semampu dan semaunya, serta tidak ingin terikat dengan konvensi-konvensi sosial. Inilah sebabnya mengapa orang-orang kreatif biasanya sering dianggap ”nyentrik” dan gila.
Munculnya ide kreatif ini, baik yang positif maupun negatif, baik yang menghalalkan segala cara maupun yang tidak menghalalkan segala cara, biasanya tidak muncul dengan begitu saja. Ia butuh waktu yang cukup panjang, hingga menghasilkan sebuah ide yang ”kreatif”. Meskipun dalam dunia usaha, ide kreatif itu tidak selalu dipahami sebagai sebuah ide yang bersifat baru dan orisinil, namun ide-ide kreatif ini selalu berangkat dari sebuah persoalan yang ingin dipecahkan.
Dalam kasus kamuflase atau imitasi merek produk Mie Sedaap (Wings Food) oleh Supermie Sedaaap (Indofood) misalnya, proses kreatif para anggota tim RD (Research and Development) ini, dapat digambarkan sebagai berikut :
Ketika Indofood mulai merasa terancam dengan kehadiran Mie Sedaap dari Wings Food (Saat itu Mie Sedaap adalah sponsor utama acara reality show AFI 1 dan 2), maka manajemen Indofood memerintahkan tim RD untuk meneliti cara-cara dan strategi untuk menghadapi ekspansi Mie Sedaap di pasaran. Tim RD kemudian berfikir mengenai cara-cara dan strategi yang perlu dilakukan untuk menghadapi ekspansi Mie Sedaap itu. (Orientasi).
Lalu, RD meneliti semua cara dan strategi untuk menghadapi ekspansi Mie Sedaap tersebut (Preparasi). Semua cara dan strategi yang diteliti itu ternyata tidak ada yang cocok untuk digunakan menghadapi ekspansi Mie Sedaap. Tim RD kemudian menyingkirkan untuk sementara persoalan ini (Inkubasi).
Pada suatu hari, tanpa sengaja, salah satu anggota RD mungkin menemukan cara dan strategi yang jitu untuk menghadapi Mie Sedap (Iluminasi). Lalu, anggota RD itu mempresentasikan strategi yang ditemukannya, yaitu dengan cara membuat varian baru pada salah satu mie yang mereka produksi, yaitu Supermie. Akhirnya, jadilah, Supermie Sedaaap (Verifikasi).
Tahapan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh para psikolog yang menyebut ada lima tahap berfikir kreatif (dalam Rahmat, 1991), yaitu :
1. Orientasi : masalah dirumuskan dan aspek-aspek masalah diidentifikasi.
2. Preparasi : pikiran berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah.
3. Inkubasi : pikiran beristirahat sebentar, ketika berbagai pemecahanberhadapan dengan jalan buntu. Pada tahap ini, proses pemecahan masalah berlangsung terus di dalam kiwa bawah sadar kita.
4. Iluminasi : masa inkubasi berakhir ketika pemikir memperoleh semacam ilham, serangkaian insight yangmemecahkan masalah . ini menimbulkan Aha Erlebnis.
5. Verifikasi : tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai pemecahan masalah yang diajukan pada tahap keempat.
G. Etika Kreativitas dalam Bisnis
Berbicara tentang kreasi, seyogyanya kita juga akan berbicara tentang bagaimana menghasilkan sebuah kreasi yang benar. Kreasi yang benar sudah tentu akan menjadikan etika sebagai prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh semua pelakunya. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan iklim persaingan yang sehat dan etis guna mencapai tujuan bersama.
Dalam persaingan usaha yang kian ketat seperti sekarang ini, setiap kreator tampaknya cenderung semakin bebas, leluasa, dan terbuka. Akan tetapi tidak berarti hal itu tidak ada batasan sama sekali. Oleh karena itu perlu ada batasan nilai normatif yang mengatur tata krama dalam berkreasi. Batasan nilai normatif itulah yang kemudian dapat kita sebut sebagai etika.
Istilah etika dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang berarti kebiasaan atau watak. Etika juga berasal dari bahasa Perancis : etiquette atau biasa diucapkan dalam bahasa Indonesia dengan kata etiket, yang berarti kebiasaan atau cara bergaul dan berperilaku yang baik. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa etika berkreasi adalah kebiasaan-kebiasaan baik yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam menjalankan aktivitas kreatifnya, yang bertujuan untuk mencari kepuasan, keindahan, dan keuntungan.
Oleh karena itu, maka sebagaimana telah dibahas di depan, praktek kamuflase dan imitasi dalam pengembangan sebuah merek produk atau jasa, dapat dikatagorikan sebagai perilaku usaha yang tidak etis. Hal itu tidak saja dikarenakan perilaku tersebut tidak mengandung usaha keras dari para pelaku untuk meraih market share, namun juga secara tidak langsung akan dapat menghancurkan atau merusak reputasi dan nama baik produk atau jasa yang ditiru.
Untuk mengeliminir praktek itu, maka tulisan Adler yang mengutip buku The Great Ideas : A Syntopicon of Great Books of Western World (dalam Soeharyo dan Fernanda, 2001) perlu direnungkan oleh setiap pekerja kreatif (kreator). Adler meringkas ada enam prinsip yang dapat dijadikan sebagai landasan prinsipil dari etika, yaitu :
1. Principle of Beauty
Prinsip ini mendasari bahwa segala sesuatu yang baik itu adalah indah. Dengan demikian, maka etika manusia dalam berkreasi harus berkaitan dengan nilai-nilai keindahan. Meniru, mengimitasi, dan menjiplak produk tertentu serta mengelabui calon konsumen, sesungguhnya dipandang sebagai sesuatu yang tidak indah. Sedangkan ketidakindahan itu sendiri dipandang sebagai sesuatu yang tidak etik.
2. Principle of Equality
Hakekat manusia menghendaki adanya persamaan hak dan kewajiban antara manusia satu dengan manusia yang lain. Etika yang dilandasi oleh prinsip ini dapat menghilangkan perilaku diskriminatif. Dalam konteks bisnis, persamaan hak dan kewajiban ini mesti dilihat dari sudut pandang persamaan hak dan kewajiban dalam berkreasi secara sehat dan terbuka. Artinya, mengimitasi produk perusahaan lain dan secara sengaja mengelabui calon konsumen, sesungguhnya mengabaikan hak orang lain dan tidak menjalankan kewajiban diri sendiri. Sementara mengabaikan hak orang lain dan tidak menjalankan kewajiban diri sendiri, merupakan perilaku inkonsisten yang bersifat diskriminatif. Sedangkan perilaku diskriminatif dalam dunia usaha, dipandang sebagai sesuatu yang tidak etis.
3. Principle of Goodness
Secara umum, kebaikan adalah sifat atau karakteristik dari sesuatu yang menimbulkan pujian. Perilaku yang baik (good) akan mengandung sifat seperti persetujuan, pujian, keunggulan, atau kekaguman. Oleh karena itu, apabila seorang pelaku usaha menginginkan kebaikan dari produk atau jasa yang dijualnya, maka seharusnya ia akan mengandalkan kreativitas, inovasi, kerja keras, fairness, objektivitas, rasionalitas, dan lain sebagainya. Jika ia menginginkan kebaikan dalam tatanan usaha yang fair dan terbuka, maka yang diperlukan adalah sikap-sikap sadar hukum, saling menghormati, saling menghargai, perilaku yang baik (good habits), dan sebagainya.
4. Principle of Justice
Suatu defenisi tertua yang hingga kini masih sangat relevan untuk merumuskan keadilan adalah ”justitia est constants et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi”. Artinya, keadilan adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya. Oleh karena itu, berusaha secara sehat, terbuka, dan menghargai karya para kompetitor, adalah perilaku yang menghargai prinsip-prinsip keadilan. Sementara keadilan sendiri merupakan etika yang harus selalu dijunjung tinggi dalam dunia usaha.
5. Principle of Liberty
Secara sederhana, kebebasan dapat dirumuskan sebagai keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan yang tersedia bagi seseorang. Kebebasan muncul dari doktrin bahwa setiap orang memiliki hak untuk bertindak menurut pilihannya sendiri, kecuali jika pilihan tersebut melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. Oleh karena itu, melakukan praktek imitasi produk dan mengelabui calon konsumen, sesungguhnya melanggar prinsip kebebasan dalam arti yang sesungguhnya. Bebas dalam berkreativitas tidak berarti bebas pula dalam menentukan produk mana yang akan ditiru dan dijiplak. Karena kebebasan itu harus menjunjung tinggi etika fair play dan responsibility.
6. Principle of Truth
Ide mengenai kebenaran biasanya dipakai dalam pembicaraan mengenai logika ilmiah. Namun ada pula kebenaran mutlak yang dapat dibuktikan dengan keyakinan. Adanya fakta bahwa banyak produk sejenis dengan merek yang hampir serupa (serupa dalam bentuk, kemasan, warna, tulisan, dan lain-lain), akan menggiring persepsi dan logika formal kita untuk mengatakan bahwa salah satu produk meniru produk yang lain. Kebenaran seperti ini akan semakin menguatkan kenyataan bahwa banyak pelaku usaha yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, tidak peduli apakah ia harus mendompleng brand dari market leader tertentu. Mempertahankan perilaku imitasi yang telah terbukti melalui kebenaran mutlak, tentu merupakan perilaku yang tidak etis dalam dunia bisnis.
H. Penutup
Di zaman yang saling ketergantungan seperti sekarang ini, persaingan tidak harus saling mematikan atau menghancurkan pesaing (competitor), tetapi satu sama lain bisa menjadi complementor, yang justeru dapat saling memperkuat (Atmosoeprapto, 2000). Senada dengan hal itu, Edward De Bono dalam bukunya Sur/ Petition mengemukakan bahwa persaingan jangan melihat kelemahan lawan, tetapi sebaliknya menciptakan keunggulan dan menciptakan nilai tambah yang lebih besar. Sedangkan menurut Brandengurger dan Nalebuff (dalam Atmosoeprapto, 2000), bahwa untuk bisa bertahan dan berkembang, bisnis apapun, harus bisa menciptakan value net (jala nilai) di antara pelaku-pelaku bisnis yang mempunyai hubungan berdasarkan saling ketergantungan (interdependencies), yaitu antara perusahaan dengan pelanggan (customer), pemasok (suppliers), kawan bisnis atau pelengkap (complementor), dan pesaing (competittors). Semua pelaku harus berprinsip win-win, sehingga terjadilah proses win-win + win-win = win-win.
Untuk itulah, maka praktek kamuflase, imitasi, pengelabuan, atau apapun namanya dalam pengembangan merek dagang, seyogyanya tidak lagi dilakukan, mengingat hal itu tidak saja akan merugikan para pesaing, tapi juga akan merugikan para konsumen yang membeli karena salah dalam mengidentifikasi produk yang sejak awal ingin dibelinya. Selain itu, ini yang paling penting, perilaku tersebut sungguh-sungguh tidak kreatif dan jauh dari nilai-nilai dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi secara fair dan bertanggungjawab.
Daftar Pustaka
Anderson, B. 1980. The Complete Thinker : A Handbook of Techniques for Creative and Critical Problem Solving (p. 123). Englewood Cliffs: Prentice-Hill.
Atmosoeprapto, K. 2000. Menuju SDM Berdaya : Dengan Kepemimpinan Efektif dan Manajemen Efisien. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Rahmat, J. 1991. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Susanta, R. 2004 (Edisi November). Strategi Membingungkan Konsumen. Jakarta: Majalah Marketing.
Soeharyo, S. & Fernanda, D. 2001. Etika Organisasi. Jakarta: LAN RI.
Gie, T. L. 2003 (Cetakan Pertama). Teknik Berfikir Kreatif. Yogyakarta: PUBIB Yogyakarta & Sabda Persada Yogyakarta.
Wreden, N. 2005. Profit Brand, How to Increase The Profitability, Accountability, & Sustainability of Business. New York: Kogen Page.