Rabu, 12 Januari 2011

KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA

KATA PENGANTAR

Kode Etik Psikologi Indonesia merupakan ketentuan tertulis yang diharapkan menjadi pedoman
dalam bersikap dan berperilaku, serta pegangan teguh seluruh Psikolog dan kelompok Ilmuwan
Psikologi, dalam menjalankan aktivitas profesinya sesuai dengan kompetensi dan kewenangan
masing-masing, guna menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.

Peneguhan otoritas profesi Psikologi, dibangun atas dasar keahlian di bidang Psikologi, yang
menjadi bingkai pembatas terhadap pengaruh otoritas dari komunitas di luar psikologi, dalam
menetapkan kaidah-kaidah nilai yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis
umat manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Melalui peneguhan kekuasaan itulah, maka
akan didapatkan pengakuan atas profesi dan keahlian pada bidang psikologi, yang membatasi
campur tangan pihak-pihak di luar disiplin ilmu Psikologi. Konsekuensinya akan menjadikan
komunitas psikologi sebagai kalangan yang eksklusif dan otonom, dalam menetapkan ukuran-
ukuran nilai untuk mewujudkan kesejahteraan psikologis bagi umat manusia. Guna menghindari
penyimpangan sebagai akibat dari peneguhan kekuasaan profesi, maka Psikolog dan Kelompok
Ilmuwan Psikologi harus memiliki tanggungjawab khusus yang mewajibkan mereka bertindak
demi kesejahteraan dan kepentingan pengguna layanan psikologi. Tanggung jawab khusus
inilah yang dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan Kode Etik Psikologi Indonesia.

Keberadaan kode etik ini merupakan hasil refleksi etis yang selalu lentur dalam
mengakomodasikan dan beradaptasi terhadap dinamika kehidupan masyarakat, sehingga nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya selalu mengacu pada kemutakhiran.
Agar kepercayaan masyarakat semakin menguat dalam menghargai profesi psikologi, maka
diperlukan kepastian jaminan perwujudan dari upaya meningkatkan kesejahteraan psikologi bagi
seluruh umat manusia, yang tata nilainya dibuat oleh komunitas psikologi.

Untuk maksud dan tujuan di atas, maka Himpunan Psikologi Indonesia sebagai satu-satunya
wadah komunitas psikologi di Indonesia, telah menghimpun nilai-nilai moral yang hakiki dalam
bentuk Kode Etik Psikologi Indonesia yang difungsikan sebagai standar pengaturan diri (self
regulation) bagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi, dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.

Kode Etik Psikologi Indonesia, pada hakekatnya merupakan kristalisasi dari nilai moral yang
bersifat universal, sehingga penyusunannya juga memperhatikan kesepakatan internasional.
Oleh karena itu, kandungan isi Kode Etik ini tidak bertentangan dengan Kode Etik Organisasi
Psikologi dari beberapa Negara.

Buku Kode Etik Psikologi Indonesia ini merupakan hasil Kongres XI Himpsi, 2010, cetakan
pertama, sebagai pengganti Kode Etik hasil Kongres VIII tahun 2000. Dengan diterbitkannya
Buku Kode Etik Psikologi Indonesia hasil Kongres XI Himpsi ini, maka Buku Kode Etik
sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kami mengharapkan saran dari semua pihak untuk perbaikan buku ini pada edisi mendatang.
Terima kasih.

Jakarta, Juni 2010
Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia Periode 2010-2014

KODE ETIK
PSIKOLOGI INDONESIA

MUKADIMAH
Kode Etik Psikologi merupakan hasil nilai nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan nilai luhur tersebut Pendidikan Tinggi Psikologi telah
menghasilkan Psikolog dan Ilmuwan Psikologi yang senantiasa menghargai dan menghormati
harkat maupun martabat manusia serta menjunjung tinggi terpeliharanya hak-hak asasi
manusia. Oleh karena itu, Psikolog dan Ilmuwan Psikologi selalu melandaskan diri pada nilai-
nilai tersebut dalam kegiatannya pada bidang pendidikan, penelitian, pengabdian diri serta
pelayanan dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang perilaku manusia, baik dalam
bentuk pemahaman bagi dirinya maupun pihak lain, serta memanfaatkan pengetahuan dan
kompetensinya bagi kesejahteraan umat manusia. Kenyataan yang seperti itu, telah menuntut
kesadaran dan tanggungjawab bagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi untuk selalu berupaya
menjamin kesejahteraan umat manusia dan memberikan perlindungan
kepada masyarakat pengguna layanan psikologi, serta semua pihak yang terkait dengan

layanan psikologi atau pihak yang menjadi objek dari studinya. Pengetahuan, kompetensi,
ketrampilan dan pengalaman yang dimiliki Psikolog dan Ilmuwan Psikologi, hendaknya hanya
digunakan bagi tujuan yang mendasarkan pada prinsip yang taat asas dan nilai-nilai luhur
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya,
dengan disertai upaya-upaya untuk mencegah penyalahgunaan yang dilakukan oleh komunitas
psikologi dan pihak lain. Tuntutan kebebasan dalam menyelidiki dan mengkomunikasikan hasil
kegiatan di bidang penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi, maka hasil konsultasi
dan publikasinya harus dapat dipahami oleh Psikolog dan Ilmuwan Psikologi dengan penuh
tanggung jawab. Kompetensi dan obyektivitas dalam menerapkan kemampuan profesional
sesuai dengan bidangnya sangat terikat dan memperhatikan pemakai jasa, rekan sejawat serta
masyarakat pada umumnya.

Pokok-pokok pemikiran tersebut, selanjutnya dirumuskan menjadi KODE ETIK PSIKOLOGI
INDONESIA, sebagai perangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
dalam melakukan kegiatan selaku Psikolog dan Ilmuwan Psikologi di Indonesia.

BAB I
PEDOMAN UMUM

Pasal 1
Pengertian

(1) KODE ETIK PSIKOLOGI adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan
sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatansebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di
Indonesia.
(2) PSIKOLOGI merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental yang
melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli dalam ilmu Psikologi
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang berkaitan dengan praktik psikologi dan
ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.
(3) PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi
dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program pendidikan tinggi psikologi
strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1
(S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologiatau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang
meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam
pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis;
pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi
organisasi; aktifitasaktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta
administrasi. Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(4) ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang
pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan
psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-
bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan
kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi; pengadministrasian
asesmen; konseling sederhana;konsultasi organisasi; perancangan
dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains)
dan terapan.
(5) LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi dalam
rangka menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan,
pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa
praktik konseling dan psikoterapi; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan
masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen
asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi
organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; dan
administrasi.

Pasal 2
Prinsip Umum

Prinsip A: Penghormatan padaHarkat Martabat Manusia
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam
melaksanakan layanan psikologi.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghormati martabat setiap orang serta hak-hak
individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan
dan pilihan pribadi seseorang.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus
untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan
yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya,
individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal ke-
bangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status
sosialekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-
orang dari kelompok tersebut.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias
faktorfaktor tersebut pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun
tidak disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka.

Prinsip B: Integritas dan Sikap Ilmiah
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah
terutama pada pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran
dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (fraud), tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang
tidak benar.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berupaya untuk menepati janji tetapi dapat mengambil
keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh atau lengkap HANYA dalam situasi dimana
tidak diungkapkannya fakta secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk meminimalkan
dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan
kebutuhan, konsekuensi dan bertanggung jawab untuk memperbaiki ketidakpercayaan atau
akibat buruk yang muncul dari penggunaan teknik psikologi yang digunakan.

Prinsip C : Profesional
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan
segala bentuk layanan psikologi, penelitian,pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan
menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membangun hubungan yang didasarkan pada adanya
saling percaya, menyadari tanggungjawab profesional dan ilmiah terhadap pengguna layanan
psikologi serta komunitas khusus lainnya.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban
profesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk
mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak
buruk.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk
pada teman sejawat, profesional lain dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan layanan
terbaik kepada pengguna layanan psikologi.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu mempertimbangkan dan memperhatikan
kepatuhan etis dan profesional kolega-kolega dan/atau profesi lain.
(6) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam situasi tertentu bersedia untuk menyumbangkan
sebagian waktu profesionalnya tanpa atau dengan sedikit kompensasi keuntungan pribadi.

Prinsip D : Keadilan
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan
adalah hak setiap orang. Oleh karena itu, pengguna layanan psikologi tanpa dibedakan oleh
latarbelakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan layanan dan memperoleh
keuntungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses, prosedur dan layanan yang dilakukan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menggunakan penilaian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-
bias yang muncul, mempertimbangkan batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian
sehingga tidak mengabaikan atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin
ketidakberpihakan.

Prinsip E : Manfaat
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada
kesejahteraan umat manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak buruk
pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta
meminimalkan akibat dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya
faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organisasi maupun politik yang mengarah pada penyalahgunaan atas pengaruh mereka.

BAB II
MENGATASI ISU ETIKA

Pasal 3
Majelis Psikologi Indonesia
(1) Majelis Psikologi adalah penyelenggara organisasi yang memberikan pertimbangan etis,
normatif maupun keorganisasian dalam kaitan dengan profesi psikologi baik sebagai ilmuwan
maupun praktik psikologi kepada anggota maupun organisasi.
(2) Penyelesaian masalah pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia oleh Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi, dilakukan oleh Majelis Psikologi dengan memperhatikan laporan yang
masuk akal dari berbagai pihak dan kesempatan untuk membela diri.
(3) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi telah melakukan layanan Psikologi sesuai
prosedur yang diatur dalam Kode Etik dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmiah serta
bukti-bukti empiris wajib mendapat perlindungan dari Himpunan Psikologi Indonesia
dalam hal ini Majelis Psikologi Indonesia.
(4) Apabila terdapat masalah etika dalam pemberian layanan psikologi yang belum diatur dalam
kode etik psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi Indonesia wajib mengundang Majelis
Psikologi untuk membahas dan merumuskannya, kemudian disahkan dalam sebuah Rapat yang
dimaksudkan untuk itu.

Pasal 4
Penyalahgunaan di bidang Psikologi
(1) Setiap pelanggaran wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap
Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi sebagaimana diatur
dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Kode
Etik Psikologi Indonesia
(2) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran atau penilaian salah
terhadap kerja mereka, mereka wajib mengambil langkah-langkah yang masuk akal sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk memperbaiki atau mengurangi pelanggaran atau
kesalahan yang terjadi.
(3) Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia.
Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh Psikolog terhadap janji/sumpah profesi, praktik
psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan Psikolog, atau Psikolog yang tidak memiliki
Ijin Praktik, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam Kode
Etik Psikologi Indonesia. Pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas adalah:
a) Pelanggaran ringan yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh seorang Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang tidak dalam
kondisi yang sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan, sehingga mengakibatkan
kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:
i. Ilmu psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya.

b) Pelanggaran sedang yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya dalam
melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:
i. Ilmu psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya.

c) Pelanggaran berat yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang secara sengaja
memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu di
bawah ini:
i. Ilmu Psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya
(4). Penjelasan tentang jenis pelanggaran dan sanksi akan diatur dalam aturan tersendiri.

Pasal 5
Penyelesaian Isu Etika
(1) Apabila tanggungjawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan hukum, hukum
pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menunjukkan
komitmennya terhadap kode etik dan melakukan langkah-langkah untuk penyelesaian konflik
sesuai dengan yang diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Apabila konflik tidak dapat
diselesaikan dengan cara tersebut, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh
terhadap tuntutan hukum, peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku.
(2) Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berafiliasi atau
bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi Indonesia, Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik, memberitahu komitmennya terhadap
kode etik dan jika memungkinkan menyelesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara
sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan terhadap kode etik.
(3) Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi, perorangan, organisasi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain.
Pelaporan pelanggaran dibuat secara tertulis dan disertai bukti terkait ditujukan kepada
Himpunan Psikologi Indonesia untuk nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia.
Mekanisme pelaporan secara detail akan diatur dalam mekanisme tersendiri.
(4) Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Majelis Psikologi Indonesia menjadi bahan
pertimbangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik. Kerjasama tersebut dapat
dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi, proses penyidikan dan persyaratan yang
diperlukan untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam
organisasi yang ada. Dalam pelaksanaannya diusahakan untuk menyelesaikan permasalahan
yang ada dengan tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.
(5) Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat bekerjasama
dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi masukan kepada Majelis Psikologi Wilayah
atau Pusat dengan prosedur sebagai berikut:
a. Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut
b. Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran
c. Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran
(6) Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang melakukan
pelanggaran. Berdasarkan keterangan anggota yang bersangkutan dan data-data lain
yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan mengambil keputusan tentang
permasalahan pelanggaran tersebut. (7) Jika anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis psikologi tidak
puas dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila dipandang perlu, Pengurus Pusat
bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi untuk
membahas masalah tersebut, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun untuk
diumumkan sesuai dengan kepentingan.

Pasal 6
Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan
Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak siapapun yang mengajukan
keluhan karena terkena pelanggaran etika. Keluhan harus di dasarkan pada fakta-fakta yang
jelas dan masuk akal.

BAB III
KOMPETENSI

Pasal 7
Ruang Lingkup Kompetensi
(1) Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalambentuk mengajar, melakukan penelitian dan/
atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan
atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi
serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan
asesmen dan intervensi yang ditetapkan setelah memperoleh ijin praktik sebatas
kompetensi yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi,
telaah dan/atau pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isu atau cakupan
kasuskasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV/AIDS, kekerasan berbasis gender,
orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), atau yang terkait dengan
kekhususan ras, suku, budaya, asli kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal,
penting untuk mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara
seperti pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan
kompetensi dalam memberikan pelayanan jasa dan/ atau praktik psikologi yang dilakukan
kecuali dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku penanganan,
guna melindungi pengguna jasa layanan psikologi serta pihak lain yang terkait.
(5) Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi psikologi sebagaimana
tersebut di atas, Psikolog perlu memahami hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya
hukum pidana, sehubungan dengan kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.

Pasal 8
Peningkatan Kompetensi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang
berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi
mereka.

Pasal 9
Dasar-Dasar Pengetahuan Ilmiah dan Sikap Profesional
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan harus berdasar pada
pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan diterima secara luas atau universal dalam disiplin Ilmu Psikologi.

Pasal 10
Pendelegasian Pekerjaan Pada Orang Lain
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan pekerjaan pada asisten, mahasiswa,
mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran, atau kepada jasa orang lain
seperti penterjemah; perlu mengambil langkahlangkah yang tepat untuk:
a) menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda
dengan yang diberikan layanan psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau
hilangnya objektivitas.
b) memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan
pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan,
pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi
hingga level tertentu; dan
c) memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.

Pasal 11
Masalah dan Konflik Personal
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa masalah dan konflik pribadi mereka
akan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
mampu menahan diri dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta
pihak-pihak lain, sebagai akibat dari masalah dan/atau konflik pribadi tersebut.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-tanda
adanya masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi sesegera mungkin mencari bantuan
atau melakukan konsultasi profesional untuk dapat kembali menjalankan pekerjaannya secara
profesional. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menentukan akan membatasi,
menangguhkan, atau menghentikan kewajiban layanan psikologi tersebut.

Pasal 12
Pemberian Layanan Psikologi dalam Keadaan Darurat
(1) Keadaan darurat adalah suatu kondisi dimana layanan kesehatan mental dan/atau
psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi yang memiliki kompetensi untuk memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.
(2) Dalam kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kebutuhan yang ada tetap harus
dilayani. Karenanya Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi
dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi untuk memastikan bahwa
kebutuhan layanan psikologi tersebut tidak ditolak.
(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan perlu segera mencari psikolog yang
kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut.
(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau kondisi
darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang
lebih kompeten atau dihentikan segera.

BAB IV
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA

Pasal 13
Sikap Profesional
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat
perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/ institusi, harus sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya serta berkewajiban untuk: a) Mengutamakan dasar-dasar profesional.
b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan
psikologi yang diterimanya.
d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta
pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak
negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberitahu.

Pasal 14
Pelecehan
(1) Pelecehan Seksual Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan keilmuannya
tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah permintaan
hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat seksual, yang
terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi. Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku
yang berulang, bertahan/sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud
dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:
(a) tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat menim- bulkan
suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
(b) bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang dalam
konteks tersebut,
(c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut diduga dapat
merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.
(2) Pelecehan lain Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan secara sadar
terlibat dalam perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang berinteraksi dengan
mereka dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku, bangsa, agama,
orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosialekonomi.

Pasal 15
Penghindaran Dampak Buruk
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk
menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain
yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak
terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan
psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang kemungkinan-
kemungkinan tersebut.

Pasal 16
Hubungan Majemuk
(1) Hubungan majemuk terjadi apabila:
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedang dalam peran profesionalnya dengan
seseorang dan dalam waktu yang bersamaan menjalankan peran lain dengan orang yang sama,
atau
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam waktu yang bersamaan memiliki hubungan
dengan seseorang yang secara dekat berhubungan dengan orang yang memiliki hubungan
profesional dengan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari hubungan majemuk
apabila hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan dapat merusak objektivitas, kompetensi
atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, atau apabila beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada orang atau pihak lain dalam
hubungan profesional tersebut.
(3) Apabila ada hubungan majemuk yang diperkirakan akan merugikan, Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi melakukan langkah-langkah yang masuk akal untuk mengatasi hal tersebut
dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik orang yang terkait dan kepatuhan yang
maksimal terhadap Kode etik.
(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum, kebijakan institusi, atau
kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan lebih dari satu peran, sejak awal mereka harus
memperjelas peran yang dapat diharapkan dan rentang kerahasiaannya, bagi diri sendiri
maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.

Pasal 17
Konflik Kepentingan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran profesional apabila
kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau hubungan lain
diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan
fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk
bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan
psikologi tersebut. Pasal 18 Eksploitasi
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung
unsur eksploitasi, yaitu:
a) Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang sedang mereka
supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa,
karyawan, peserta penelitian, orang yang menjalani pemeriksaan psikologi ataupun mereka
yang berada di bawah penyeliaannya.
b) Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan mahasiswa atau
mereka yang berada di bawah bimbingan di mana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki
wewenang evaluasi atau otoritas langsung.
c) Pemanfaatan atau eksploitasi atau terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan
seksual dengan pengguna layanan psikologi.
(2) Eksploitasi Data Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang
dianggap mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi data dari mereka yang sedang
disupervisi, dievaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan,
partisipan penelitian, pengguna jasa layanan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah
penyeliaannya dimana data tersebut digunakan atau dimanipulasi digunakan untuk kepentingan
pribadi. Hubungan sebagaimana tercantum pada (1) dan (2) harus dihindari karena sangat
mempengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi ataupun
mengarah pada eksploitasi.

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu
hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi serta
hubungan dengan profesi lain.
(1) Hubungan antar profesi
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak
serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi seyogyanya saling memberikan umpan balik konstruktif
untuk peningkatan keahlian profesinya.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan profesinya dalam rangka
mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi.
d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas kompetensi dan
kewenangan, dan butir a), b), dan c) di atas tidak berhasil dilakukan maka wajib melaporkan
kepada organisasi profesi Himpsi. (2) Hubungan dengan Profesi lain
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati kompetensi dan
kewenangan rekan dari profesi lain.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan
psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan.

Pasal 20
Informed Consent
Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian /pendidikan /pelatihan /asesmen
/intervensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan informed consent.
Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani proses dibidang psikologi
yang meliputi penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Persetujuan
dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani
pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan
dalam informed consent adalah:
a. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan.
b. Perkiraan waktu yang dibutuhkan.
c. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan.
d. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut.
e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.
f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama
proses tersebut.
Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas pendidikannya,
kondisinya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent secara tertulis maka
informed consent dapat dilakukan secara lisan dan dapat direkam atau adanya saksi yang
mengetahui bahwa yang bersangkutan bersedia. Informed consent yang berkaitan dengan
proses pendidikan dan/atau pelatihan terdapat pada pasal 40; yang berkait dengan penelitian
psikologi pada pasal 49; yang berkait dengan asesmen psikologi terdapat pada pasal 64; serta
yang berkait dengan konseling dan psikoterapi pada pasal 73 dalam buku Kode Etik ini.

Pasal 21
Layanan Psikologi Kepada dan/atau Melalui Organisasi
Psikolog dan/atau Ilumuwan Psikologi yang memberikan layanan psikologi kepada organisasi/
perusahaan memberikan informasi sepenuhnya tentang:
• Sifat dan tujuan dari layanan psikologi yang diberikan
• Penerima layanan psikologi
• Individu yang menjalani layanan psikologi
• Hubungan antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan organisasi dan orang
yang menjalani layanan psikologi
• Batas-batas kerahasiaan yang harus dijaga
• Orang yang memiliki akses informasi Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dilarang
oleh organisasi peminta layanan untuk memberikan hasil informasi kepada orang yang
menjalani layanan psikologi, maka hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses
pemberian layanan psikologi berlangsung.

Pasal 22
Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan
menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan
pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak
lain. Sebelum layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan
apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan.
(1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengalihkan layanan
psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena:
a) Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau meninggal.
b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain.
c) Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
d) Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.
(2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan layanan
psikologi apabila:
a) Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan psikologi yang telah
dilakukan.
b) Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang menjalani
pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang bersangkutan sehingga timbul
perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada salah satu atau kedua belah pihak.

BAB V
KERAHASIAAN REKAM dan HASIL
PEMERIKSAAN PSIKOLOGI

Pasal 23
Rekam Psikologi
Jenis Rekam Psikologi adalah rekam psikologi lengkap dan rekam psikologi terbatas.
(1) Rekam Psikologi Lengkap
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat, menyimpan (mengarsipkan), menjaga,
memberikan catatan dan data yang berhubungan dengan penelitian, praktik, dan karya lain
sesuai dengan hukum yang berlaku dan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan Kode Etik
Psikologi Indonesia.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat dokumentasi atas karya profesional dan ilmiah
mereka untuk:
i. memudahkan pengguna layanan psikologi mereka dikemudian hari baik oleh mereka sendiri
atau oleh profesional lainnya.
ii. bukti pertanggungjawaban telah dilakukannya pemeriksaan psikologi.
iii. memenuhi prasyarat yang ditetapkan oleh institusi ataupun hukum.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjaga kerahasiaan klien dalam hal pencatatan,
penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data di bawah pengawasannya.
d) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjaga dan memusnahkan catatan dan data, dengan
memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang berlaku
dan berkaitan dengan pelaksanaan kode etik ini.
e) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mempunyai dugaan kuat bahwa catatan atau
data mengenai jasa profesional mereka akan digunakan untuk keperluan hukum yang
melibatkan penerima atau partisipan layanan psikologi mereka, maka Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi bertanggung jawab untuk membuat dan mempertahankan dokumentasi yang
telah dibuatnya secara rinci, berkualitas dan konsisten, seandainya diperlukan penelitian
dengan cermat dalam forum hukum.
f) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan layanan psikologi
terhadap seseorang dan menyimpan hasil pemeriksaan psikologinya dalam
arsip sesuai dengan ketentuan, karena sesuatu hal tidak memungkinkan lagi menyimpan data
tersebut, maka demi kerahasiaan pengguna layanan psikologi, sebelumnya Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi menyiapkan pemindahan tempat atau pemberian kekuasaan pada sejawat
lain terhadap data hasil pemeriksaan psikologi tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaannya.
Pelaksanaan dalam hal ini harus di bawah pengawasannya, yang dapat dalam bentuk tertulis
atau lainnya. (2) Rekam Psikologis untuk Kepentingan Khusus
a) Laporan pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus hanya dapat diberikan kepada
personal atau organisasi yang membutuhkan dan berorientasi untuk kepentingan
atau kesejahteraan orang yang mengalami pemeriksaan psikologi.
b) Laporan Pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketepatan hasil
pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan psikologi.

Pasal 24
Mempertahankan Kerahasian Data
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien
atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya.
Penggunaan keterangan atau data mengenai pengguna layanan psikologi atau orang yang
menjalani layanan psikologi yang diperoleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam rangka
pemberian layanan Psikologi, hendaknya mematuhi hal-hal sebagai berikut;
a) Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat hal-hal
yang langsung berkaitan dengan tujuan pemberian layanan psikologi.
b) Dapat didiskusikan hanya dengan orangorang atau pihak yang secara langsung berwenang
atas diri pengguna layanan psikologi.
c) Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga
hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologiprofesi,
dan akademisi.
Dalam kondisi tersebut indentitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga
kerahasiaannya. Seandainya data orang yang menjalani layanan psikologi harus dimasukkan ke
data dasar (database) atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak lain yang tidak dapat
diterima oleh yang bersangkutan maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
menggunakan kode atau cara lain yang dapat melindungi orang tersebut dari kemungkinan
untuk bisa dikenali.

Pasal 25
Mendiskusikan Batasan Kerahasian Data kepada Pengguna Layanan Psikologi

(1) Materi Diskusi
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membicarakan informasi kerahasian data dalam rangka
memberikan konseling dan/atau konsultasi kepada pengguna layanan psikologi (perorangan,
organisasi, mahasiswa, partisipan penelitian) dalam rangka tugasnya sebagai profesional. Data
hasil pemberian layanan psikologi hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmiah atau profesional.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan tugasnya harus berusaha untuk
tidak mengganggu kehidupan pribadi pengguna layanan psikologi, kalaupun diperlukan harus
diusahakan seminimal mungkin.
c) Dalam hal diperlukan laporan hasil pemeriksaan psikologi, maka Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi hanya memberikan laporan, baik lisan maupun tertulis; sebatas perjanjian atau
kesepakatan yang telah dibuat.

(2) Lingkup Orang
a) Pembicaraan yang berkaitan dengan layanan psikologi hanya dilakukan dengan mereka yang
secara jelas terlibat dalam permasalahan atau kepentingan tersebut.
b) Keterangan atau data yang diperoleh dapat diberitahukan kepada orang lain atas persetujuan
pemakai layanan psikologi atau penasehat hukumnya.
c) Jika pemakai jasa layanan psikologi masih kanak-kanak atau orang dewasa yang tidak
mampu untuk memberikan persetujuan secara sukarela, maka Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi wajib melindungi agar pengguna layanan psikologi serta orang yang menjalani layanan psikologi tidak mengalami hal-hal yang merugikan.
d) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan konsultasi antar sejawat, perlu
diperhatikan hal berikut dalam rangka menjaga kerahasiaan. Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi tidak saling berbagi untuk hal-hal yang seharusnya menjadi
rahasia pengguna layanan psikologi (peserta riset, atau pihak manapun yang menjalani
pemeriksaan psikologi), kecuali dengan izin yang bersangkutan atau pada situasi dimana
kerahasiaan itu memang tidak mungkin ditutupi. Saling berbagi informasi hanya diperbolehkan
kalau diperlukan untuk pencapaian tujuan konsultasi, itupun sedapat mungkin tanpa
menyebutkan identitas atau cara pengungkapan lain yang dapat dikenali sebagai indentitas
pihak tertentu.

Pasal 26
Pengungkapan Kerahasian Data
(1) Sejak awal Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus sudah merencanakan agar data yang
dimiliki terjaga kerahasiaannya dan data itu tetap terlindungi, bahkan sesudah ia meninggal
dunia, tidak mampu lagi, atau sudah putus hubungan dengan posisinya atau tempat
praktiknya.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyadari bahwa untuk pemilikan catatan dan
data yang termasuk dalam klarifikasi rahasia, penyimpanan, pemanfaatan, dan pemusnahan
data atau catatan tersebut diatur oleh prinsip legal.
(3) Cara pencatatan data yang kerahasiaannya harus dilindungi mencakup data pengguna
layanan psikologi yang seharusnya tidak dikenai biaya atau pemotongan pajak. Dalam
hal ini, pencatatan atau pemotongan pajak mengikuti aturan sesuai hukum yang berlaku.
(4) Dalam hal diperlukan persetujuan terhadap protokol riset dari dewan penilai atau seje-
Data dan informasi hasil layanan psikologi bila diperlukan untuk kepentingan pendidikan, data
harus disajikan sebagaimana adanya dengan menyamarkan nama orasng atau lembaga yang
datanya digunakan. nisnya dan memerlukan identifikasi personal, maka identitas itu harus
dihapuskan sebelum datanya dapat diakses.
(5) Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hukum atau
tujuan lain, seperti membantu mereka yang memerlukan pelayanan profesional, baik secara
perorangan maupun organisasi serta untuk melindungi pengguna layanan psikologi dari
masalah atau kesulitan.

Pasal 27
Pemanfaatan Informasi dan Hasil Pemeriksaan untuk Tujuan Pendidikan atau
Tujuan Lain
(1) Pemanfaatan untuk Tujuan Pendidikan
(2) Pemanfaatan untuk Tujuan Lain
a) Pemanfaatan data hasil layanan psikologi untuk tujuan lain selain tujuan pendidikan harus
ada ijin tertulis dari yang bersangkutan dan menyamarkan nama lembaga atau perorangan yang
datanya digunakan.
b) Khususnya untuk pemanfaatan hasil layanan psikologi di bidang hukum atau halhal
yang berkait dengan kesejahteraan pengguna layanan psikologi serta orang
yang menjalani layanan psikologi maka identitas harus dinyatakan secara jelas dan
dengan persetujuan yang bersangkutan.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak membuka kerahasiaan pengguna layanan
psikologi serta orang yang menjalani layanan psikologi untuk keperluan penulisan, pengajaran
maupun pengungkapan di media, kecuali kalau ada alasan kuat untuk itu dan tidak
bertentangan dengan hukum.
d) Dalam pertemuan ilmiah atau perbincangan profesi yang menghadapkan Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi untuk mengemukakan data, harus diusahakan agar pengungkapan data tersebut dilakukan tanpa mengungkapkan identitas, yang bisa dikenali sebagai seseorang
atau institusi yang mungkin bisa ditafsirkan oleh siapapun sebagai identitas diri yang jelas
ketika hal itu diperbincangkan.

BAB VI
IKLAN dan PERNYATAAN PUBLIK

Pasal 28
Pertanggungjawaban
Iklan dan Pernyataan publik yang dimaksud dalam pasal ini dapat berhubungan dengan jasa,
produk atau publikasi profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi di bidang psikologi,
mencakup iklan yang dibayar atau tidak dibayar, brosur, barang cetakan, daftar direktori,
resume pribadi atau curriculum vitae, wawancara atau komentar yang dimuat dalam media,
pernyataan dalam buku, hasil seminar, lokakarya, pertemuan ilmiah, kuliah, presentasi lisan di
depan publik, dan materi-materi lain yang diterbitkan.
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi; dalam memberikan pernyataan kepada masyarakat
melalui berbagai jalur media baik lisan maupun tertulis mencerminkan keilmuannya sehingga
masyarakat dapat menerima dan memahami secara benar agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa dan/atau praktik psikologi.
Pernyataan tersebut harus disampaikan dengan; Bijaksana, jujur, teliti, hati-hati,
Lebih mendasarkan pada kepentingan umum daripada pribadi atau golongan, Berpedoman
pada dasar ilmiah dan disesuaikan dengan bidang keahlian/kewenangan selama tidak
bertentangan dengan kode etik psikologi.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam pernyataan yang dibuat harus mencantumkan
gelar atau identitas keahlian pada karya di bidang psikologi yang dipublikasikan sesuai dengan
gelar yang diperoleh dari institusi pendidikan yang terakreditasi secara nasional atau
mencantumkan sebutan psikolog sesuai sertifikat yang diperoleh.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak membuat pernyataan palsu, menipu atau curang
mengenai
a) Gelar akademik/ijazah
b) Gelar profesi
c) Pelatihan, pengalaman atau kompetensi yang dimiliki
d) Izin Praktik dan Keahlian
e) Kerjasama institusional atau asosiasi
f) Jasa atau praktik psikologi yang diberikan
g) Konsep dasar ilmiah, atau hasil dan tingkat keberhasilan jasa layanan
h) Biaya
i) Orang-orang atau organisasi dengan siapa bekerjasama
j) Publikasi atau hasil penelitian

Pasal 29
Keterlibatan Pihak lain Terkait Pernyataan Publik
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melibatkan orang atau pihak lain untuk
menciptakan atau menempatkan pernyataan publik yang mempromosikan praktek profesional,
hasil penelitian atau aktivitas yang bersangkutan, tanggung jawab profesional atas pernyataan
tersebut tetap berada di tangan Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha mencegah orang atau pihak lain yang dapat
mereka kendalikan, seperti lembaga tempat bekerja, sponsor, penerbit, atau pengelola media
dari membuat pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai penipuan berkenaan dengan jasa
layanan psikologi. Bila mengetahui adanya pernyataan yang tergolong penipuan atau
pemalsuan terhadap karya mereka yang dilakukan orang lain, Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi berusaha untuk menjelaskan kebenarannya. (3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak memberikan kompensasi pada karyawan pers,
baik cetak maupun elektronik atau media komunikasi lainnya sebagai imbalan untuk publikasi
pernyataannya dalam berita.

Pasal 30
Deskripsi Program Pendidikan Non Gelar
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi bertanggung jawab atas pengumuman, katalog, brosur
atau iklan, seminar atau program non gelar yang dilakukannya. Psikolog dan/ atau Ilmuwan
Psikologi memastikan bahwa hal yang diberitakan tersebut menggambarkan secara akurat
tentang tujuan, kemampuan tentang pelatih, instruktur, supervisor dan biaya yang terkait.

Pasal 31
Pernyataan Melalui Media
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan keterangan pada publik melalui media
cetak atau elektronik harus berhati-hati untuk memastikan bahwa pernyataan tersebut:
a) Konsisten terhadap kode etik.
b) Berdasar pada pengetahuan/pendidikan profesional, pelatihan, konsep teoritis dan konsep
praktik psikologi yang tepat.
c) Berdasar pada asas praduga tak bersalah.
d) Telah mempertimbangkan batasan kerahasiaan sesuai dengan pasal 24 buku kode etik ini.
e) Pernyataan melalui media terkait dengan bidang psikologi forensik terdapat dalam pasal 61
buku kode etik ini.

Pasal 32
Iklan Diri yang Berlebihan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam menjelaskan kemampuan atau keahliannya harus
bersikap jujur, wajar, bijaksana dan tidak berlebihan dengan memperhatikan ketentuan yang
berlaku untuk menghindari kekeliruan penafsiran di masyarakat.

BAB VII
BIAYA LAYANAN PSIKOLOGI

Pasal 33
Penjelasan Biaya dan Batasan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi profesionalitas dan senantiasa terus
meningkatkan kompetensinya. Berkaitan dengan hal tersebut Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi perlu dihargai dengan imbalan sesuai profesionalitas dan kompetensinya. Pengenaan
biaya atas layanan psikologi kepada pengguna jasa perorangan, kelompok,
lembaga atau organisasi/institusi harus disesuaikan dengan keahlian dan kewenangan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, dengan kewajiban untuk mengutamakan dasar-dasar
profesional.
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi pada saat awal sebelum kontrak layanan dilakukan,
perlu menjelaskan kepada pengguna layanan psikologi secara rinci hak dan kewajiban
masingmasing pihak termasuk biaya layanan psikologi yang disediakannya, sesuai kompetensi
keilmuan dan profesional yang dimiliki, dalam cakupan standar yang pantas untuk masyarakat/
kelompok pengguna layanan psikologi khusus.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat menggunakan berbagai cara termasuk tindakan
hukum untuk mendapatkan imbalan layanan yang telah diberikan jika pengguna layanan tidak
memberikan imbalan sebagaimana yang telah disepakati. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
harus memberitahu pihak yang bersangkutan terlebih dahulu bahwa tindakan tersebut akan
dilakukan, serta memberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan permasalahan sebelum
tindakan hukum dilakukan. (3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak menahan catatan yang diperlukan untuk
penanganan darurat terhadap pengguna layanan psikologi, hanya atau semata-mata karena
imbalan terhadap layanan psikologi yang diberikan belum diterima.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak bersedia memenuhi permintaan layanan psikologi
yang diketahui melanggar Kode Etik seperti yang dicantumkan dalam keseluruhan pasal-pasal
dalam Kode Etik ini, apalagi menerima imbalan dalam bentuk uang atau dalam bentuk lain untuk
pekerjaan tersebut.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sebagai bentuk kepedulian pada masyarakat dapat dan
baik untuk menjalankan, atau terlibat dalam aktivitas-aktivitas penyediaan layanan psikologi
secara suka rela, dengan tetap menjunjung tinggi profesionalitas.

Pasal 34
Rujukan dan Biaya
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membagi imbalan dengan profesional lain, atasan atau
bawahan, pembayaran terhadap masing-masing harus berdasarkan layanan yang diberikan dan
sudah diatur sebelum pelaksanaan layanan psikologi dilakukan.

Pasal 35
Keakuratan Data dan Laporan kepada Pembayar atau Sumber Dana
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memastikan keakuratan data dan laporan pemeriksaan
psikologi kepada pembayar layanan atau sumber dana.

Pasal 36
Pertukaran (Barter)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat menerima benda atau imbalan non uang dari
pengguna layanan psikologi sebagai imbalan atas pelayanan psikologi yang diberikan hanya jika
tidak bertentangan dengan kode etik dan pengaturan yang dihasilkan tidak eksploitatif.

BAB VIII
PENDIDIKAN dan/atau PELATIHAN

Pasal 37
Pedoman Umum
(1) Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku individu/kelompok/komunitas
yang bertujuan membawa kearah yang lebih baik melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
(2) Pendidikan dalam pengertian ini termasuk pendidikan bergelar atau non gelar.
• Pendidikan bergelar yaitu program pendidikan yang dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi.
• Pendidikan non gelar adalah kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Himpsi,
Asosiasi/Ikatan Minat dan/ atau Praktik Spesialisasi Psikologi atau lembaga lain yang
kegiatannya mendapat pengakuan dari Himpsi
(3) Pelatihan adalah kegiatan yang bertujuan membawa kearah yang lebih baik yang dapat
dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Himpsi, Asosiasi/Ikatan Minat dan/atau Praktik Spesialisasi
Psikologi atau lembaga lain yang kegiatannya mendapat pengakuan dari Himpsi

Pasal 38
Rancangan dan Penjabaran Program Pendidikan dan/atau Pelatihan
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang bertanggung jawab atas program pendidikan dan/
atau pelatihan mengadakan langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa program
yang dirancang memberikan pengetahuan yang tepat dan pengalaman yang layak untuk
memenuhi kebutuhan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang memadai guna memastikan
penjabaran rencana pendidikan dan/atau pelatihan secara tepat dengan materi yang akan dibahas, dasar-dasar untuk evaluasi kemajuan dan sifat dari pengalaman pendidikan. Standar
ini tidak membatasi pendidik, pelatih atau supervisor untuk memodifikasi isi program pendidikan
dan/ atau pelatihan atau persyaratan jika dipandang penting atau dibutuhkan, selama peserta
pendidikan dan/atau pelatihan diberitahukan akan adanya perubahan dalam rangka
memungkinkan mereka untuk memenuhi persyaratan pendidikan dan/atau pelatihan.
(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyusun program pendidikan dan/atau pelatihan
berdasarkan teori dan bukti-bukti ilmiah dan berorientasi pada kesejahteraan peserta pendidikan
dan/atau pelatihan Jika psikolog atau ilmuwan Psikologi menggunakan program yang telah
disusun oleh pihak lain, maka ia seyogyanya mendapatkan ijin penggunaan program tersebut
atau setidak-tidaknya mencantumkan nama penyusun program.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan
diawali dengan menyusun rencana berdasarkan teori yang relevan sehingga dapat dipahami
oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat
desain pendidikan dan/atau pelatihan, melaksanakan dan melaporkan hasil yang disusun sesuai
dengan stándar atau kompetensi ilmiah dan etik.

Pasal 39
Keakuratan dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang tepat guna memastikan rencana
pendidikan dan/atau pelatihan berdasar perkembangan kemajuan pengetahuan terkini dan
sesuai dengan materi yang akan dibahas serta berdasarkan kajian teoritik maupun bukti-bukti
empiris yang ada.

Pasal 40
Informed Consent dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk melaksanakan
pelatihan sebagaimana yang dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali jika
a) Pelaksanaan pelatihan diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum;
b) Pelaksanaan dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan atau
orgainsasi secara rutin misal: syarat untuk kenaikan jabatan.

Pasal 41
Pengungkapan Informasi Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk melindungi
perorangan atau kelompok yang akan menjadi peserta pendidikan dan/atau pelatihan dari
konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau penarikan diri/pengunduran
dari keikutsertaan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak meminta peserta pendidikan dan/atau pelatihan
untuk mengungkapkan informasi pribadi mereka dalam kegiatan yang berhubungan dengan
program yang dilakukan, baik secara lisan atau tertulis, yang berkaitan dengan
sejarah kehidupan seksual, riwayat penyiksaan, perlakuan psikologis dari hubungan dengan
orangtua, teman sebaya, serta pasangan atau pun orang-orang yang signifikan lainnya. Hal
tersebut tidak diberlakukan, kecuali jika program ini menjadi satu cara atau pendekatan
yang dianggap penting dan tepat untuk dapat memahami, berempati, memfasilitasi pemulihan
dan/atau memampukan peserta untuk menemukan pendekatan penanganan yang tepat bagi isu
atau kasus khusus tersebut.
(3) Bila pengungkapan informasi pribadi yang peka harus dilakukan, hal tersebut harus
dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang terlatih untuk memastikan
kebermanfaatan maksimal, mencegah dampak negatif dari hal tersebut, serta untuk tetap
memastikan tidak diungkapkannya informasi pribadi tersebut dalam konteks lain di luar kegiatan
ini oleh semua pihak yang terlibat.
Pasal 42
Kewajiban Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan untuk Mengikuti Program Pendidikan
yang disyaratkan
Bila suatu pendidikan dan/atau pelatihan atau suatu kegiatan merupakan persyaratan dalam
suatu program pendidikan dan/atau pelatihan, maka penyelenggara harus bertanggung jawab
bahwa program tersebut tersedia. Pendidikan dan/ atau pelatihan yang disyaratkan tersebut
diberikan oleh ahli dalam bidangnya yang dapat tidak berhubungan dengan program pendidikan
dan/ atau pelatihan tersebut.

Pasal 43
Penilaian Kinerja Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang yang Disupervisi
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam bidang pendidikan, pelatihan, pengawasan atau
supervisi, menetapkan proses yang spesifik dan berjadwal untuk memberikan umpan
balik kepada peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau orang yang disupervisi. Informasi
mengenai proses tersebut diberikan pada awal pengawasan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengevaluasi kinerja peserta pendidikan dan/
atau pelatihan atau orang yang disupervisi berdasarkan persyaratan program yang relevan dan
telah ditetapkan sebelumnya.

Pasal 44
Keakraban Seksual dengan Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang yang di
Supervisi
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak terlibat dalam keakraban seksual dengan peserta
pendidikan dan/atau pelatihan atau orang yang sedang disupervisi, orang yang berada di agensi
atau biro konsultasi psikologi, pusat pelatihan atau tempat kerja dimana Psikolog dan/
atau Ilmuwan Psikologi tersebut mempunyai wewenang akan menilai atau mengevaluasi
mereka.
(2) Bila hal di atas tidak terhindari karena berbagai alasan misalnya karena adanya hubungan
khusus yang telah terbawa sebelumnya, tanggungjawab tersebut harus dialihkan pada Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi lain yang memiliki hubungan netral dengan peserta untuk
memastikan obyektivitas dan meminimalkan kemungkinan-kemungkinan negatif pada semua
pihak yang terlibat.

BAB IX
PENELITIAN dan PUBLIKASI

Pasal 45
Pedoman Umum
(1) Penelitian adalah suatu rangkaian proses secara sistematis berdasar pengetahuan yang
bertujuan memperoleh fakta dan/atau menguji teori dan/atau menguji intervensi yang
menggunakan metode ilmiah dengan cara mengumpulkan, mencatat dan menganalisis data.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan penelitian diawali dengan
menyusun dan menuliskan rencana penelitian sedemikian rupa dalam proposal dan protokol
penelitian sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat desain penelitian, melaksanakan, melaporkan
hasilnya yang disusun sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etika penelitian.

Pasal 46
Batasan Kewenangan dan Tanggung Jawab
(1) Batasan kewenangan
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami batasan kemampuan dan kewenangan
masing-masing anggota Tim yang terlibat dalam penelitian tersebut. b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi dengan pihak-pihak yang lebih ahli
di bidang penelitian yang sedang dilakukan sebagai bagian dari proses implementasi penelitian.
Konsultasi yang dimaksud dapat meliputi yang berkaitan dengan kompetensi dan kewenangan
misalnya badan-badan resmi pemerintah dan swasta, organisasi profesi lain, komite khusus,
kelompok sejawat, kelompok seminat, atau melalui mekanisme lain.
(2) Tanggung jawab
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi bertanggungjawab atas pelaksanaan dan hasil
penelitian yang dilakukan.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memberi perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan
partisipan penelitian atau pihak-pihak lain terkait, termasuk kesejahteraan
hewan yang digunakan dalam penelitian.

Pasal 47
Aturan dan Izin Penelitian
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memenuhi aturan profesional dan ketentuan
yang berlaku, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan penulisan publikasi penelitian.
Dalam hal ini termasuk izin penelitian dari instansi terkait dan dari pemangku wewenang
dari wilayah dan badan setempat yang menjadi lokasi.
(2) Jika persetujuan lembaga, komite riset atau instansi lain terkait dibutuhkan, Psikolog dan/
atau Ilmuwan Psikologi harus memberikan informasi akurat mengenai rancangan penelitian
sesuai dengan protokol penelitian dan memulai penelitian setelah memperoleh persetujuan.

Pasal 48
Partisipan Penelitian
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk melindungi
perorangan atau kelompok yang akan menjadi partisipan penelitian dari konsekuensi yang
tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau penarikan diri/pengunduran dari
keikutsertaan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berinteraksi dengan partisipan penelitian hanya di
lokasi dan dalam hal-hal yang sesuai dengan rancangan penelitian, yang konsisten dengan
perannya sebagai peneliti ilmiah. Pelanggaran terhadap hal ini dan adanya tindakan
penyalahgunaan wewenang dapat dikenai butir pelanggaran seperti tercantum dalam pasal dan
bagian-bagian lain dari Kode Etik ini (misalnya pelecehan seksual dan bentuk pelecehan lain).
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memberi kesempatan adanya pilihan kegiatan
lain kepada partisipan mahasiswa, peserta pendidikan, anak buah/bawahan, orang yang
sedang menjalani pemeriksaan psikologi bila ingin tidak terlibat/mengundurkan diri dari
keikutsertaan dalam penelitian yang menjadi bagian dari suatu proses yang diwajibkan dan
dapat dipergunakan untuk memperoleh kredit tambahan.

Pasal 49
Informed Consent dalam Penelitian
Sebelum pengambilan data penelitian Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan pada
calon partisipan penelitian dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan istilah-istilah
yang dipahami masyarakat umum tentang penelitian yang akan dilakukan. Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi menjelaskan kepada calon partisipan asas kesediaan sebagai partisipan
penelitian yang menyatakan bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang dilakukan bersifat
sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat. Partisipan
harus menyatakan kesediaannya seperti yang dijelaskan pada pasal yang mengatur tentang itu.

(1) Informed consent Penelitian
Dalam rangka mendapat persetujuan dari calon partisipan, Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi menjelaskan proses penelitian. Secara lebih terinci informasi yang penting untuk disampaikan adalah:
a) Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, antisipasi dari keikutsertaan, yang bila
diketahui mungkin dapat mempengaruhi kesediaan untuk berpartisipasi, seperti risiko
yang mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya; keuntungan yang mungkin
diperoleh dari penelitian; hak untuk menarik diri dari keikutsertaan dan mengundurkan diri dari
penelitian setelah penelitian dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul dari penarikan
dan pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan siapa yang dapat
dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
b) Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat persetujuan karena keterbatasan atau kondisi
khusus, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan upaya memberikan penjelasan dan
mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang yang mewakili partisipan, atau melakukan
upaya lain seperti diatur oleh aturan yang berlaku.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mengadakan penelitian intervensi dan/atau
eksperimen, di awal penelitian menjelaskan pada partisipan tentang perlakuan yang akan
dilaksanakan; pelayanan yang tersedia bagi partisipan; alternatif penanganan yang tersedia
apabila individu menarik diri selama proses penelitian; dan kompensasi atau biaya keuangan
untuk berpartisipasi; termasuk pengembalian uang dan halhal lain terkait bila memang ada
ketika menawarkan kesediaan partisipan dalam penelitian.
d) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha menghindari penggunaan segala
bentuk pemaksaan termasuk daya tarik yang berlebihan agar partisipan ikut serta dalam
penelitian. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan sifat dari penelitian tersebut,
berikut risiko, kewajiban dan keterbatasannya.
(2) Informed Consent Perekaman Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sebelum
merekam suara atau gambar untuk pengumpulan data harus memperoleh izin tertulis dari
partisipan penelitian. Persetujuan tidak diperlukan bila perekaman murni untuk kepentingan
observasi alamiah di tempat umum dan diantisipasi tidak akan berimplikasi teridentifikasi atau
terancamnya kesejahteraan atau keselamatan partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Bila
pada suatu penelitian dibutuhkan perekaman tersembunyi, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
melakukan perekaman dengan tetap meminimalkan risiko yang diantisipasi dapat terjadi pada
partisipan, dan penjelasan mengenai kepentingan perekaman disampaikan dalam debriefing.
(3) Pengabaian informed consent Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak harus meminta
persetujuan partisipan penelitian, hanya jika penelitian melibatkan individu secara anonim atau
dengan kata lain tidak melibatkan individu secara pribadi dan diasumsikan tidak ada risiko
gangguan pada kesejahteraan atau keselamatan, serta bahaya-bahaya lain yang mungkin
timbul pada partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Penelitian yang tidak harus
memerlukan persetujuan partisipan antara lain adalah:
a) penyebaran kuesioner anonim;
b) observasi alamiah;
c) penelitian arsip;
yang ke semuanya tidak akan menempatkan partisipan dalam resiko pemberian tanggung jawab
hukum atas tindakan kriminal atau perdata, resiko keuangan, kepegawaian atau reputasi nama
baik dan kerahasiaan.

Pasal 50
Pengelabuan/Manipulasi dalam Penelitian
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan menipu atau menutupi informasi,
yang mungkin dapat mempengaruhi calon niat partisipan untuk ikut serta, seperti
kemungkinan mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional
yang negatif. Penjelasan harus diberikan sedini mungkin agar calon partisipan dapat
mengambil keputusan yang terbaik untuk terlibat atau tidak dalam penelitian.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi boleh melakukan penelitian dengan pengelabuan,
teknik pengelabuan hanya dibenarkan bila ada alasan ilmiah, untuk tujuan pendidikan atau bila topik sangat penting untuk diteliti demi pengembangan ilmu, sementara cara lain yang
efektif tidak tersedia. Bila pengelabuan terpaksa dilakukan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
menjelaskan bentuk-bentuk pengelabuan yang merupakan bagian dari keseluruhan rancangan
penelitian pada partisipan sesegera mungkin; sehingga memungkinkan partisipan menarik data
mereka, bila partisipan menarik diri atau tidak bersedia terlibat lebih jauh.

Pasal 51
Penjelasan Singkat/Debriefing
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memberikan penjelasan singkat segera setelah selesai
pengambilan data penelitian, dalam bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang
dipahami masyarakat pada umumnya, agar partisipan memperoleh informasi yang tepat tentang
sifat, hasil, dan kesimpulan penelitian; agar Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi keliru yang mungkin
dimiliki partisipan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
mengurangi resiko atau bahaya jika nilai-nilai ilmiah dan kemanusiaan menuntut penundaan
atau penahanan informasi tersebut.
(3) Debriefing dalam penelitian dapat ditiadakan jika pada saat awal penelitian telah dilakukan
penjelasan tentang sifat, hasil, dan kesimpulan penelitian; agar Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi keliru yang
mungkin dimiliki partisipan.
(4) Jika Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan bahwa prosedur penelitian telah
mencelakai partisipan; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah tepat untuk
meminimalkan bahaya.

Pasal 52
Penggunaan Hewan untuk Penelitian
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memperhatikan peraturan Negara dan standar profesional
apabila menggunakan hewan sebagai objek penelitian. Standar profesional yang dimaksud
diantaranya bekerjasama atau berkonsultasi dengan ahli yang kompeten. Hal-hal yang harus
diperhatikan adalah:
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan penelitian dengan hewan harus
terlatih dan dapat memperlakukan hewan tersebut dengan baik, mengikuti prosedur
yang berlaku, bertanggung jawab untuk memastikan kenyamanan, kesehatan dan perlakuan
yang berperikemanusiaan terhadap hewan tersebut. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang
sedang melakukan penelitian dengan hewan perlu memastikan bahwa semua orang yang
terlibat dalam penelitiannya telah menerima petunjuk mengenai metode penelitian, perawatan
dan penanganan hewan yang digunakan, sebatas keperluan penelitian, dan sesuai perannya.
Prosedur yang jelas diperlukan sebagai panduan untuk menangani seberapa jauh hewan ‘boleh’
disakiti dan terhindar dari perlakuan semena-mena.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat menggunakan prosedur yang menyebabkan
rasa sakit, stres dan penderitaan pada hewan, hanya jika prosedur alternatif tidak
memungkinkan dan tujuannya dibenarkan secara ilmiah atau oleh nilai-nilai pendidikan dan
terapan.
(3) Apabila dalam penelitian diperlukan pembedahan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
menjalankan prosedur bedah dengan pembiusan yang memadai dan mengikuti teknik-teknik
untuk mencegah infeksi dan meminimalkan rasa sakit selama, dan setelah pembedahan.
(4) Apabila nyawa hewan perlu diakhiri, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melaksanakannya
dengan segera, dengan usaha untuk meminimalkan rasa sakit dan sesuai dengan prosedur
yang dapat diterima.

Pasal 53 Pelaporan dan Publikasi Hasil Penelitian
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi bersikap profesional, bijaksana, jujur dengan
memperhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku
dalam melakuan pelaporan/ pubikasi hasil penelitian. Hal tersebut dimaksudkan
untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa
layanan psikologi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak merekayasa data atau melakukan langkahlangkah
lain yang tidak bertanggungjawab
(misal : terkait pengelabuan, plagiarisme dll).
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi jika menemukan kesalahan yang signifikan pada
data yang dipublikasikan, mereka mengambil langkah untuk mengoreksi kesalahan tersebut
dalam sebuah pembetulan (correction), penarikan kembali (retraction), catatan kesalahan
tulis atau cetak (erratum) atau alat publikasi lain yang tepat.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak menerbitkan atau mempublikasikan dalam
bentuk original dari data yang pernah dipublikasikan sebelumnya. Ketentuan ini tidak
termasuk data yang dipublikasi ulang jika disertai dengan penjelasan yang memadai.

Pasal 54
Berbagi Data untuk Kepentingan Profesional
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak menyembunyikan data yang mendasari
kesimpulannya setelah hasil penelitian diterbitkan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat memberikan data dari hasil penelitian yang
telah dipublikasikan bila ada sejawat atau profesional lain yang memiliki kompetensi
sama, dan memerlukannya sebagai data tambahan untuk menguatkan pembuktiannya melalui
analisis ulang, atau memakai data tersebut sebagai landasan pekerjaannya.
(3) Ketentuan pada ayat (2) tersebut tidak berlaku jika hak hukum individu yang menyangkut
kepemilikan data melarang penyebarluasannya. Untuk kepentingan ini, sejawat atau profesional
lain yang memerlukan data tersebut wajib mengajukan persetujuan
tertulis sebelumnya.
(4) Profesional/sejawat lain yang memerlukan data penelitian tersebut wajib melindungi
kerahasiaan partisipan penelitian, dan memperhatikan hak legal pemilik data.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat meminta sejawat atau profesional lain yang
memerlukan data tersebut untuk ikut bertanggung jawab atas biaya terkait dengan penyediaan
informasi.

Pasal 55
Penghargaan dan Pemanfaatan Karya Cipta Pihak Lain
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai
dengan undang-undang, peraturan dan kaidah ilmiah yang berlaku umum. Karya cipta yang
dimaksud dapat berbentuk penelitian, buku teks, alat tes atau bentuk lainnya harus dihargai
dan dalam pemanfaatannya memperhatikan ketentuan perundangan mengenai hak cipta
atau hak intelektual yang berlaku.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan melakukan plagiarisme dalam
berbagai bentuknya, seperti mengutip, menyadur, atau menggunakan hasil karya orang
lain tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas dan lengkap. Penyajian sebagian atau
keseluruhan elemen substansial dari pekerjaan orang lain tidak dapat diklaim sebagai miliknya,
termasuk bila pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali disebutkan sebagai sumber.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan menggandakan, memodifikasi,
memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun seluruh karya orang lain tanpa
mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.
(4) Kredit publikasi yang diperoleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus dapat
dipertanggungjawabkan, dan benar-benar mencerminkan kontribusi ilmiah atau profesional yang telah dilakukan atau di mana mereka ikut berpartisipasi. Kepemilikan
atas posisi struktural institusional, misalnya kepala bagian atau pemimpin lembaga,
tidak membenarkan pencantuman nama yang bersangkutan bila ia memang tidak
berkontribusi nyata dalam penelitian atau penulisan.
(5) Kontribusi minor dalam penelitian dan penulisan yang dipublikasikan harus diakui
dengan benar, hingga pada catatan kaki dan kata pengantar. Mahasiswa atau orang
yang dibimbing tetap harus didaftar sebagai penulis atau anggota tim penulis bila publikasi
tersebut merupakan karyanya. Artikel yang secara substansial disusun berdasarkan skripsi,
tesis dan/atau disertasi mahasiswa tetap harus mencantumkan nama mahasiswa tersebut.

BAB X
PSIKOLOGI FORENSIK

Pasal 56
Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik
1. Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan/atau diaplikasikan dalam
bidang hukum, khususnya peradilan pidana.
2. Ilmuwan psikologi forensik melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek
psikologis manusia dalam proses hukum, khususnya peradilan pidana. Psikolog forensik
adalah psikolog yang tugasnya memberikan bantuan profesional psikologi berkaitan dengan
permasalahan hukum, khususnya peradilan pidana.
3. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas psikologi forensik wajib
memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab yang dijalaninya, memahami hukum di
Indonesia dan implikasinya terhadap peran tanggung jawab, wewenang dan hak mereka.
4. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari adanya kemungkinan konflik antara
kebutuhan untuk menyampaikan informasi dan pendapat, dengan keharusan mengikuti hukum
yang ditetapkan sesuai sistem hukum yang berlaku. Psikolog dan/atau ilmuwan Psikologi
berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan
mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang dapat diterima.

Pasal 57
Kompetensi
(1) Praktik psikologi forensik adalah penanganan kasus psikologi forensik terutama yang
membutuhkan keahlian dalam pemeriksaan psikologis seseorang yang terlibat kasus peradilan
pidana, yang bertujuan membantu proses peradilan dalam menegakkan kebenaran dan
keadilan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan praktik psikologi forensik harus
memiliki kompetensi sesuai dengan standar psikologi forensik, memahami sistem hukum di
Indonesia dan mendasarkan pekerjaannya pada kode etik psikologi.
(2) Praktik Psikologi forensik yang meliputi pelaksanaan asesmen, evaluasi psikologis,
penegakan diagnosa, konsultasi dan terapi psikologi serta intervensi psikologi dalam
kaitannya dengan proses hukum (misalnya evaluasi psikologis bagi pelaku atau korban kriminal,
sebagai saksi ahli, evaluasi kompetensi untuk hak pengasuhan anak, program asesmen,
konsultasi dan terapi di lembaga pemasyarakatan) hanya dapat dilakukan oleh psikolog. Dalam
menjalankan tanggung jawabnya
psikolog harus mendasarkan pada standar
pemeriksaan psikologi yang baku sesuai kode
etik psikologi yang terkait dengan asesmen,
dan intervensi.
(3) Ilmuwan psikologi forensik dalam melakukan kajian/penelitian yang terkait dengan aspek
aspek psikologis manusia dalam proses hukum wajib memiliki pemahaman terkait dengan
sistem hukum di Indonesia dan bekerja berdasarkan kode etik psikologi terutama yang
terkait dengan penelitian. Pasal 58
Tanggung Jawab,
Wewenang dan Hak
(1) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang melakukan praktik psikologi forensik
sesuai dengan kompetensinya memiliki tanggung jawab membantu proses peradilan pidana,
dalam kasus yang ditanganinya sehingga tercapainya penegakan kebenaran dan keadilan.
Dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan maka psikolog dan/atau ilmuwan psikologi
forensik melakukan pekerjaannya dengan berdasarkan azas profesionalitas serta
memperhatikan kode etik psikologi.

(2) Psikolog forensik memiliki wewenang memberikan laporan tertulis atau lisan mengenai hasil
penemuan forensik, atau membuat pernyataan karakter psikologi seseorang, hanya
sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadap pribadi bersangkutan sesuai standar prosedur
pemeriksaan psikologi, untuk mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan
pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog menjelaskan
keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah untuk membatasi implikasi dari
kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.

(3) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang dalam menjalankan pekerjaan di bidang
psikologi sudah menjalankan tanggung jawabnya sesuai dengan standar, maka memiliki hak
untuk mendapat perlindungan dari Himpsi jika ia mendapatkan masalah terkait dengan hukum.

Pasal 59
Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli
(1) Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun saksi ahli harus bertujuan
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalam menyusun hasil penemuan psikologi
forensik atau membuat pernyataan dari karakter psikologi seseorang berdasarkan standar
pemeriksaan psikologi.

(2) Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan pendapat dan
keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam kasus di pengadilan, psikolog
berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap Kode Etik dan
mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik dengan cara-cara yang bisa diterima.

(3) Bila kemungkinan ada lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog, maka psikolog tersebut
harus memegang teguh prinsip hubungan profesional sesuai dengan pasal 19 buku kode etik
ini.

(4) Bila harus memberikan kesaksian, atau menyampaikan pendapat selaku saksi atau saksi
ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh memang diizinkan oleh hukum yang berlaku di
Indonesia; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat bersikap profesional dalam
memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai
pihak.

(5) Bila terdapat lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog di pengadilan dan bila
kemungkinan terjadi konflik antar psikolog dalam suatu proses peradilan yang ditanganinya,
maka psikolog dapat meminta Himpsi untuk membantu penyelesaian masalah dengan
memberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan berdasarkan standar
pemeriksaan psikologi dan kaidah ilmiah psikologi.

(6) Bila terdapat lebih dari Satu saksi atau saksi ahli yang berasal dari psikolog dan ahli profesi lain dan bila kemungkinan terjadi konflik antara psikolog dengan profesi lain
tersebut maka psikolog dapat meminta Himpsi menyelesaikan masalahnya dengan
mendiskusikannya dengan organisasi profesi dimana profesi lain tersebut bernaung.

Pasal 60
Peran Majemuk dan Profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghindari untuk menjalankan peran majemuk.
Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing peran harus ditegaskan sejak
awal dan tetap berpegang teguh pada azas profesionalitas, obyektivitas serta mencegah dan
meminimalkan kesalahpahaman. Hal-hal yang harus diperhatikan bila peran majemuk terpaksa
dilakukan:
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar untuk melakukan peran majemuk dalam
hal forensik, apalagi yang dapat menimbulkan konflik. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan,
misalnya sebagai konsultan atau ahli serta menjadi saksi di pengadilan, kejelasan
masingmasing peran harus ditegaskan sejak awal bagi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi,
serta pihak-pihak terkait, untuk mempertahankan profesionalitas dan objektivitas, serta
mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman pihakpihak lain sehubungan dengan peran
majemuknya.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalin hubungan profesional sebelumnya
dengan orang yang menjalani pemeriksaan tidak terhalangi untuk memberi kesaksian, atau
menyampaikan pendapatnya selaku saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh diijinkan
oleh aturan hukum yang berlaku. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat
bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan
terjadinya konflik antara berbagai pihak.
(3) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban untuk memahami dan menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kode etik dan penerapannya. Kurang dipahaminya kode etik tidak
dapat menjadi alasan untuk mempertahankan diri ketika melakukan kesalahan atau
pelanggaran.

Pasal 61
Pernyataan Melalui Media Terkait dengan Psikologi Forensik
Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang melakukan layanan psikologi dapat memberikan
pernyataan pada publik melalui media dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
a) Hanya psikolog yang melakukan pemeriksaan psikologi terhadap kasus hukum yang
ditanganinya yang dapat memberikan pernyataan di media tentang kasus tesebut.
b) Psikolog dapat membuat pernyataan di media tentang suatu gejala yang terjadi
di masyarakat. Jika ia tidak melakukan pemeriksaan psikologis maka hal ini harus dinyatakan
pada media dan pernyataan yang disampaikan bersifat umum dan didasarkan pada kaidah
prinsip psikologi sesuai dengan teori dan/atau aliran yang diikuti. Pernyataan di media
harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat, hak subjek yang diperiksa
(seperti azas praduga tak bersalah pada pemeriksaan psikologis pelaku, atau hak untuk tidak
dipublikasikan), dan telah mempertimbangkan batasan kerahasiaan sesuai dengan pasal 24
buku Kode Etik ini.

BAB XI
ASESMEN

Pasal 62
Dasar Asesmen
Psikolog sesuai dengan Asesmen Psikologi adalah prosedur evaluasi yang dilaksanakan secara
sistematis. Termasuk didalam asesmen psikologi adalah prosedur observasi, wawancara,
pemberian satu atau seperangkat instrumen atau alat tes yang bertujuan untuk melakukan penilaian dan/atau pemeriksaan psikologi.
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan observasi, wawancara, penggunaan alat
instrumen tes sesuai dengan kategori dan kompetensi yang ditetapkan untuk membantu
psikolog melakukan pemeriksaan psikologis.
(2) Laporan hasil pemeriksaan psikologis yang merupakan rangkuman dari semua proses
asesmen, saran dan/atau rekomendasi hanya dapat dilakukan oleh kompetensinya, termasuk
kesaksian forensik yang memadai mengenai karakteristik psikologis seseorang hanya setelah
Psikolog yang bersangkutan melakukan pemeriksaan kepada individu untuk membuktikan
dugaan diagnosis yang ditegakkan.
(3) Psikolog dalam membangun hubungan kerja wajib membuat kesepakatan dengan lembaga/
institusi/organisasi tempat bekerja mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah
pengadaan, pemilikan, penggunaan dan penguasaan sarana instrumen/alat asesmen.
(4) Bila usaha asesmen yang dilakukan Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi dinilai tidak
bermanfaat Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tetap diminta mendokumentasikan usaha yang
telah dilakukan tersebut.

Pasal 63
Penggunaan Asesmen
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menggunakan teknik asesmen psikologi, (wawancara atau
observasi, pemberian satu atau seperangkat instrumen tes) dengan cara tepat mulai dari proses
adaptasi, administrasi, penilaian atau skor, menginterpretasi untuk tujuan yang jelas baik dari
sisi kewenangan sesuai dengan taraf jenjang pendidikan, kategori dan kompetensi yang
disyaratkan, penelitian, manfaat dan teknik penggunaan. Hal-hal yang harus
diperhatikan berkaitan dengan proses asesmen adalah:
(1) Konstruksi Tes: Validitas dan Reliabilitas
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menggunakan instrumen asesmen yang jelas validitas
dan reliabilitasnya. Instrumen asesmen ditetapkan hanya dapat digunakan sesuai dengan
populasi yang diujikan pada saat pengujian validitas dan reliabilitas.
b) Jika instrumen asesmen yang digunakan belum diuji validitas dan reliabilitasnya. Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menjelaskan kekuatan dan kelemahan dari instrumen
tersebut serta interpretasinya.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam mengembangkan instrumen dan teknik
asesmen harus menggunakan prosedur psikometri yang tepat, pengetahuan ilmiah terkini dan
profesional untuk desain tes, standardisasi, validasi, penyimpangan dan penggunaan.

(2) Administrasi dan Kategori Tes Administrasi asesmen psikologi adalah pedoman prinsip
dasar yang harus dipatuhi dalam melakukan proses asesmen psikologi. Termasuk dalam proses
asesmen psikologi adalah observasi, wawancara dan pelaksanaan psikodiagnostik.

(3) Kategori Alat Tes dalam Psikodiagnostik:
a) Kategori A: Tes yang tidak bersifat klinis dan tidak membutuhkan keahlian dalam melakukan
administrasi dan interpretasi.
b) Kategori B: Tes yang tidak bersifat klinis tetapi membutuhkan pengetahuan dan keahlian
dalam administrasi dan interpretasi.
c) Kategori C: Tes yang membutuhkan beberapa pengetahuan tentang konstruksi tes dan
prosedur tes untuk penggunaannya dan didukung oleh pengetahuan dan pendidikan psikologi
seperti statistik, perbedaan individu dan bimbingan konseling.
d) kategori D: Tes yang membutuhkan beberapa pengetahuan tentang konstruksi tes dan
prosedur tes untuk penggunaannya dan didukung oleh pengetahuan dan pendidikan psikologi
seperti statistik, perbedaan individu. Tes ini juga membutuhkan pemahaman tentang testing dan
didukung dengan pendidikan psikologi standar psikolog dengan pengalaman satu tahun
disupervisi oleh psikolog dalam menggunakan alat tersebut. (4) Tes dan Hasil Tes yang Kadaluarsa Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mendasarkan
keputusan asesmen, intervensi atau saran dari data hasil tes yang sudah kadaluarsa untuk
digunakan pada saat sekarang. Dalam kondisi relatif konstan hasil tes dapat berlakuuntuk 2
tahun, namun dalam kondisi atau keperluan khusus harus dilakukan pengetesan kembali.

(5) Asesmen yang dilakukan oleh orang yang tidak kompeten/ qualified
Asesmen psikologi perlu dilakukan oleh pihakpihak yang memang berkualifikasi, perlu dihindari
untuk menggunakan orang atau pekerja yang tidak memiliki kualifikasi memadai. Untuk
mencegah asesmen psikologi oleh pihak yang tidak kompeten:
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat menawarkan bantuan jasa asesmen psikologi
kepada professional lain termasuk Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut harus secara akurat mendeskripsikan tujuan,
validitas, reliabilitas, norma termasuk juga prosedur penggunaan dan kualifikasi khusus yang
mungkin diperlukan untuk menggunakan instrumen tersebut.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menggunakan bantuan jasa asesmen psikologi
dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain untuk memperlancar pekerjaannya
ikut bertanggung jawab terhadap penggunaan instrumen asesmen secara tepat termasuk dalam
hal ini penerapan, skoring dan penterjemahan instrumen tersebut.

Pasal 64
Informed Consent dalam Asesmen
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk melaksanakan
asesmen, evaluasi, intervensi atau jasa diagnostik lain sebagaimana yang dinyatakan dalam
standar informed consent, kecuali jika
a) pelaksanaan asesmen diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum;
b) adanya persetujuan karena pelaksanaan asesmen dilakukan sebagai bagian dari kegiatan
pendidikan, kelembagaan atau orgainsasi secara rutin misal: seleksi, ujian;
c) pelaksanaan asesmen digunakan untuk mengevaluasi kemampuan individu yang menjalani
pemeriksaan psikologis yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam suatu pekerjaan
atau perkara.

Pasal 65
Interpretasi Hasil Asesmen
Psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus mempertimbangkan berbagai
faktor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti keadaan situasional
yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin kesemua ini dapat
mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mempengaruhi keputusan.

Pasal 66
Penyampaian Data dan Hasil Asesmen
(1) Data asesmen Psikologi adalah data alat/ instrument psikologi yang berupa data kasar,
respon terhadap pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis. Data asesmen
ini menjadi kewenangan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan.
Jika diperlukan data asesmen dapat disampaikan kepada sesama profesi untuk kepentingan
melakukan tindak lanjut bagi kesejahteraan individu yang menjalani pemeriksaan psikologi.
(2) Hasil asesmen adalah rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses pelaksanaan
asesmen. Hasil asesmen menjadi kewenangan Psikolog yang melakukan pemeriksaan dan
hasil dapat disampaikan kepada pengguna layanan. Hasil ini juga dapat disampaikan kepada
sesama profesi, profesi lain atau pihak lain sebagaimana yang
ditetapkan oleh hukum.
(3) Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan tikan adalah kemampuan bahasa dan istilah
Psikologi yang dipahami pengguna jasa.

Pasal 67
Menjaga Alat, Data dan Hasil Asesmen
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan instrumen/
alat tes psikologi, data asesmen psikologi dan hasil asesmen psikologi sesuai dengan
kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku, aturan hukum dan kewajiban yang telah
tertuang dalam kode etik ini.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan data hasil
asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku yang telah
tertuang dalam kode etik ini.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mempunyai hak kepemilikan sesuai dengan
kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku serta bertanggungjawab terhadap alat
asesmen psikologi yang ada di instansi/ organisasi tempat dia bekerja.

BAB XII
INTERVENSI

Pasal 68
Dasar Intervensi
Intervensi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana berdasar hasil
asesmen untuk mengubah keadaan seseorang, kelompok orang atau masyarakat yang menuju
kepada perbaikan atau mencegah memburuknya suatu keadaan atau sebagai usaha preventif
maupun kuratif
(1) Intervensi dalam bidang psikologi dapat berbentuk intervensi individual, intervensi
kelompok, intervensi komunitas, intervensi organisasi maupun sistem.
(2) Metode yang digunakan dalam intervensi dapat berbentuk psikoedukasi, konseling dan
terapi.
(3) Psikoedukasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan/atau
keterampilan sebagai usaha pencegahan dari munculnya dan/atau meluasnya gangguan
psikologis di suatu kelompok, komunitas atau masyarakat serta kegiatan yang dilakukan untuk
meningkatkan pemahaman bagi lingkungan (terutama keluarga) tentang gangguan yang
dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi.
(4) Psikoedukasi dapat berbentuk (a) pelatihan dan (b) tanpa pelatihan.
(5) Konseling Psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu mengatasi masalah
baik sosial personal, pendidikan atau pekerjaan yang berfokus pada pengembangan potensi
positif yang dimiliki klien. Istilah untuk subyek yang mendapatkan layanan Konseling Psikologi
adalah klien.
(6) Terapi Psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk penyembuhan dari gangguan
psikologis atau masalah kepribadian dengan menggunakan prosedur baku berdasar teori yang
relevan dengan ilmu psikoterapi. Istilah untuk subyek yang mendapatkan layanan
terapi Psikologi adalah klien.

BAB XIII
PSIKOEDUKASI

Pasal 69
Batasan Umum
Psikoedukasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk
a. meningkatkan pemahaman dan atau keterampilan sebagai usaha pencegahan dari
munculnya dan atau meluasnya gangguan psikologis di suatu kelompok, komunitas atau masyarakat.
b. meningkatkan pemahaman bagi lingkungan (terutama keluarga) tentang gangguan
yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi. Psikoedukasi dapat berbentuk (a)
pelatihan dan (b) tanpa pelatihan (non training).

Pasal 70
Pelatihan dan Tanpa Pelatihan
(1) Pelatihan:
Pelatihan telah diuraikan secara rinci pada Buku Kode Etik ini bab VIII tentang Pendidikan
dan Pelatihan
(2) Tanpa Pelatihan dapat dilakukan secara:
a. Langsung dalam bentuk ceramah dan pemberian penjelasan secara lisan.
b. Tidak langsung dalam bentuk penyebarluasan leaflet, pamflet, iklan layanan
masyarakat ataupun bentuk-bentuk lain yang memberikan edukasi tentang suatu isue dan/atau
masalah yang sedang berkembang di masyarakat.
c. Psikoedukasi Tanpa pelatihan dapat dilakukan oleh psikolog dan/atau ilmuwan psikologi
yang memahami metode psikoedukasi maupun masalah yang ada dalam suatu komunitas
dan/atau masyarakat.
d. Tahapan Psikoedukasi tanpa pelatihan yang harus dilakukan meliputi asesmen, perancangan
program, implementasi program, monitoring dan evaluasi program
e. Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dalam melakukan psikoedukasi non training
harus sesuai kaidah-kaidah ilmiah serta bukti empiris yang ada dan berdasarkan
hasil asesmen yang dilakukan.
f. Intervensi Psikoedukasi non training dihentikan jika berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi
menunjukkan telah terjadi perubahan positif ke arah kesejahteraan
masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan.
g. Jika terjadi dampak negatif sebagai akibat dari perlakuan tersebut, pelaksana Psikoedukasi
non training berkewajiban untuk mengembalikan ke keadaan semula.

BAB XIV
KONSELING PSIKOLOGI dan
TERAPI PSIKOLOGI

Pasal 71
Batasan Umum
(1) Konseling psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu mengatasi masalah
psikologis yang berfokus pada aktivitas preventif dan pengembangan potensi positif yang dimiliki
dengan menggunakan prosedur berdasar teori yang relevan. Istilah untuk subyek yang
menjalani layanan konseling psikologi adalah klien. Konseling psikologi dapat dilakukan
untuk menyelesaikan masalah pendidikan, perkembangan manusia ataupun pekerjaan baik
secara individual maupun kelompok. Orang yang menjalankan konseling psikologi disebut
konselor.
(2) Terapi psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk penyembuhan dari gangguan
psikologis atau masalah kepribadian dengan menggunakan prosedur baku berdasar teori
yang relevan dengan ilmu psikoterapi. Istilah untuk subyek yang menjalani layanan terapi
psikologi adalah klien. Terapi psikologi disebut Psikoterapi. Terapi psikologi dapat dilakukan
secara individual maupun kelompok. Orang yang menjalankan terapi psikologi disebut
psikoterapis.

Pasal 72
Kualifikasi Konselor dan Psikoterapis
(1) Konselor/Psikoterapis adalah seseorang yang a. memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menjalankan konseling psikologi/terapi
psikologi yang akan dilaksanakan secara mandiri dan/atau masih dalam supervisi untuk
melaksanakannya sesuai dengan kaidah pelaksanaan konseling psikologi/ psikoterapi tersebut.
b. mengutamakan dasar-dasar profesional.
c. memberikan layanan konseling atau terapi kepada semua pihak yang membutuhkan.
d. mampu bertanggung jawab untuk menghindari dampak buruk akibat proses
konseling atau terapi yang dilaksanakannya terhadap klien.
(2) Yang dimaksud dengan sikap profesional adalah
a. senantiasa mengandalkan pada pengetahuan yang bersifat ilmiah dan buktibukti
empiris tentang keberhasilan suatu konseling atau terapi.
b. bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.
c. senantiasa mempertahankan dan meningkatkan derajat kompetensinya dalam menjalankan
praktik Psikologi.

Pasal 73
Informed Consent dalam Konseling dan Terapi
(1) Konselor/Psikoterapis wajib menghargai hak pengguna layanan psikologi untuk melibatkan
diri atau tidak melibatkan diri dalam proses konseling psikologi/psikoterapi sesuai dengan
azas kesediaan. Oleh karena itu sebelum konseling/psikoterapi dilaksanakan, konselor/
psikoterapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed Consent) dari orang yang
menjalani layanan psikologis. Persetujuan tertulis ditandatangani oleh klien setelah
mendapatkan informasi yang perlu diketahui terlebih dahulu.
(2) Isi dari Informed Consent dapat bervariasi tergantung pada jenis tindakan konseling
psikologi atau terapi psikologi yang akan dilaksanakan, tetapi secara umum menunjukkan
bahwa orang yang menjalani yang akan menandatangani Informed Consent tersebut
memenuhi per-syaratan sebagai berikut:
a) Mempunyai kemampuan untuk menyatakan persetujuan.
b) Telah diberi informasi yang signifikan mengenai prosedur Konseling Psikologi/ Psikoterapi.
c) Persetujuan dinyatakan secara bebas dan tidak dipengaruhi dalam menyatakan
persetujuannya.
(3) Informed Consent didokumentasikan sesuai prosedur yang tetap. Hal-hal yang perlu
diinformasikan sebelum persetujuan konseling/terapi ditandatangani oleh orang yang akan
menjalani Konseling Psikologi/Psikoterapi adalah sebagai berikut:
a. proses Konseling Psikologi/Psikoterapi,
b. tujuan yang akan dicapai,
c. biaya,
d. keterlibatan pihak ketiga jika diperlukan,
e. batasan kerahasiaan,
f. memberi kesempatan pada orang yang akan menjalani Konseling/Terapi untuk
mendiskusikannya sejak awal.

(4) Hal-hal yang berkaitan dengan sifat konseling psikologi/psikoterapi seperti kemungkinan
adanya sifat tertentu yang dapat berkembang dari proses konseling atau terapi, risiko yang
potensial muncul, psikoterapi lain sebagai alternatif dan kerelaan untuk berpartisipasi dalam
proses konseling psikologi/psikoterapi.
(5) Jika Konselor/Terapis masih dalam pelatihan dan dibawah supervisi, hal ini perlu
diberitahukan kepada orang yang akan menjalani konseling dan hal ini harus menjadi bagian
dari prosedur informed consent.
Pasal 74
Konseling Psikologi/Psikoterapi yang melibatkan Pasangan atau Keluarga Ketika psikolog memberikan jasa konseling psikologi/ psikoterapi pada beberapa orang yang
memiliki hubungan keluarga atau pasangan (misal: suami istri, significant others, atau orangtua
dan anak) maka perlu diperhatikan beberapa prinsip dan klarifikasi mengenai hal-hal sebagai
berikut:
a) Siapa yang menjadi pengguna layanan psikologi tersebut, peran dan hubungan psikolog bagi
masing-masing orang yang terlibat dan/atau dilibatkan dalam proses terapi.
b) Kemungkinan penggunaan layanan dan informasi yang diperoleh dari masingmasing
orang atau keluarga yang terlibat dalam proses terapi dengan memperhatikan azas
kerahasiaan. (lihat Bab V buku kode etik ini tentang Kerahasiaan).
c) Jika secara jelas psikolog harus bertindak dalam peran yang bertentangan (misal sebagai
terapis keluarga dan kemudian menjadi saksi untuk salah satu pihak dalam kasus perceraian),
psikolog perlu mengambil langkah dalam menjelaskan atau memodifikasi, atau menarik diri dari
peran-peran yang ada secara tepat. (lihat pasal 16 tentang Hubungan Majemuk dan
pasal 60 tentang Peran Majemuk dalam Forensik buku Kode Etik ini).

Pasal 75
Konseling Kelompok dan
Terapi Kelompok
Ketika psikolog memberikan konseling psikologi/ psikoterapi pada beberapa orang dalam satu
kelompok, psikolog harus mempertimbangkan kondisi klien dalam kaitannya dengan konseling/
terapi kelompok yang akan dilaksanakan, menjelaskan peran dan tanggungjawab semua pihak
serta batas kerahasiaannya.

Pasal 76
Pemberian Konseling Psikologi/ Psikoterapi bagi yang Menjalani Konseling Psikologi/Psikoterapi
sebelumnya Psikolog saat memutuskan untuk menawarkan atau memberikan layanan kepada
orang yang akan menjalani konseling psikologi/psikoterapi
yang sudah pernah mendapatkan konseling psikologi/psikoterapi dari sejawat psikolog lain,
harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a) Psikolog tersebut perlu berhati-hati dalam mempertimbangkan keberpihakan kepada
kesejahteraan orang yang menjalani proses konseling/psikoterapi serta menghindari
potensi konflik dengan psikolog yang sebelumnya telah memberikan layanan yang
sama.
b) Psikolog perlu mendiskusikan isu perawatan atau konseling psikologi /psikoterapi dan
kesejahteraan orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi dengan pihak lain yang
mewakili orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi tersebut dalam rangka
meminimalkan risiko kebingungan dan konflik.
c) Jika memungkinkan, psikolog mengkomunikasikan kepada psikolog pemberi layanan
praktik sebelumnya kemudian melanjutkan secara hati-hati serta peka pada isu-isu terapeutik.

Pasal 77
Pemberian Konseling Psikologi/ Psikoterapi kepada Mereka yang Pernah Terlibat
Keintiman/Keakraban Seksual
(1) Psikolog tidak terlibat keintiman/keakraban seksual dengan orang yang sedang menjalani
pelayanan konseling psikologi/psikoterapi.
(2) Psikolog tidak terlibat dalam keintiman seksual dengan orang yang diketahui memiliki
hubungan saudara, keluarga atau significant others dari orang yang akan diberi konseling
psikologi/psikoterapi dan psikolog juga tidak diperkenankan mengakhiri konseling psikologi/
psikoterapi untuk alasan agar dapat terlibat dalam keintiman/keakraban dengan keluarga
dan/atau orang-orang signifikan lainnya.
(3) Psikolog tidak menerima dan/atau memberikan konseling psikologi/psikoterapi bagi orang
yang pernah terlibat keintiman/keakraban seksual dengannya.
(4) Psikolog tidak terlibat keintiman/keakraban seksual dengan mantan orang yang pernah diberi konseling psikologi/psikoterapi. Setidaknya 2 (dua) tahun dari penghentian dan
atau pengakhiran konseling psikologi/psikoterapi kecuali dalam situasi yang sangat tidak
lazim. Ketidaklaziman tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sebagai hal yang tidak
bersifat eksploitasi terhadap faktor-faktor yang relevan, termasuk hal-hal sebagai berikut:
• Sejumlah waktu telah berlalu sejak penghentian atau pengakhiran terapi.
• Sifat, jangka waktu dan intensitas terapi.
• Situasi kondisi penghentian atau pengakhiran.
• Riwayat pribadi orang yang menjalani terapi.
• Status mental klien pada saat ini.
• Kemungkinan yang lebih buruk pada klien.
• Adanya kecerobohan pernyataan atau tindakan psikolog selama berjalannya terapi yang
mengundang kemungkinan terjadinya hubungan romantik atau seksual dengan orang yang
sedang menjalani terapi.

Pasal 78
Penjelasan Singkat/Debriefing Setelah Konseling Psikologi/Psikoterapi
(1) Psikolog memberikan penjelasan singkat segera setelah selesai pemberian konseling/terapi,
dalam bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat, agar klien
memperoleh informasi yang tepat tentang sifat, hasil, dan kesimpulan konseling/terapi.
(2) Psikolog mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risiko atau bahaya
jika dilakukan penundaan atau penahanan informasi tersebut.
(3) Debriefing dalam konseling psikologi/terapi dapat ditiadakan jika pada saat awal layanan
telah dilakukan penjelasan tentang sifat dan kemungkinan hasil, sehingga Psikolog dapat
mengambil langkah tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi keliru yang mungkin
dimiliki klien.
(4) Jika Psikolog menemukan bahwa prosedur konseling/terapi telah memberikan dampak
yang negatif pada klien; Psikolog mengambil langkah tepat untuk meminimalkan dampak
tersebut.

Pasal 79
Penghentian Sementara Konseling Psikologi/Psikoterapi
Psikolog saat menyepakati kontrak terapi dengan orang yang menjalani pemeriksaan psikologi
sehingga terjadi hubungan profesional yang bersifat terapeutik, maka psikolog tersebut
senantiasa berusaha menyiapkan langkah-langkah demi kesejahteraan orang yang menjalani
terapi termasuk apabila terjadi hal-hal yang terpaksa mengakibatkan terjadinya penghentian
terapi dan/atau pengalihan kepada sejawat psikolog lain sebagai rujukan. (lihat pasal 22 buku
Kode Etik ini tentang Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi).

Pasal 80
Penghentian Konseling Psikologi/ Psikoterapi
(1) Psikolog wajib mengakhiri konseling psikologi/ psikoterapi ketika orang yang menjalani terapi
sangat jelas sudah tidak membutuhkan lagi dan/atau tidak memperoleh keuntungan lagi
dari terapi tersebut dan/atau bahkan akan dirugikan jika terapi tetap berlangsung.
(2) Psikolog dapat mengakhiri konseling psikologi/ psikoterapi jika mengancam dan/atau
membahayakan bagi orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi dan/atau orang lain
yang memiliki hubungan dengan orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi.
(3) Sebelum pengakhiran pemberian konseling psikologi/psikoterapi, Psikolog memberikan
konseling pendahuluan dan/atau menyarankan pemberi layanan alternatif lainnya yang
sesuai kebutuhan orang yang menjalani terapi, kecuali jika kondisi ini tidak memungkinkan.

PENUTUP
Kode Etik Psikologi Indonesia ini disusun secara terperinci sehingga sudah merupakan satu kesatuan untuk dijadikan Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Profesional bagi Psikolog dan
Ilmuwan Psikologi. Keberadaannya Kode etik Psikologi Indonesia sudah mulai dirintis sejak
Kongres I Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia tahun 1979, dan dievaluasi nilai kegunaannya
sesuai dengan perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, melalui Kongres II, III,
IV, V, VI, VII Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia dan Kongres VIII, IX, X dan XI Himpunan
Psikologi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar