Kamis, 31 Maret 2011

CINTA SEBAGAI AMUNISI JIWA DALAM MENDIDIK ANAK MANUSIA

By. Soleh Amini Yahman

………….dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang berbekas pada jiwa
mereka……………………(QS. An-Nisa’ : 63) Pendahuluan Dalam konsep ilmu psikologi, proses tumbuh kembang anak adalah merupakan suatu proses yang selalu terkait dengan masalah “belajar”. Artinya anak akan menjadi apa atau menjadi seperti apa, sangat tergantung pada bagaimana Ia belajar. Anak Belajar Dari Kehidupannya

========== Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar menjadi rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar untuk menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan Ia belajar menjadi percaya diri Jika anak dibesarkan dengan pujian Ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, Ia belajar keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya Jika anak dibesarkan dengan cinta kasih saying dan persahabatan Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. (puisi karya : Dorothy Law Nolte) judul asli : Childern Learn What They Live
Dari Mana anak Belajar ?
Kehidupan keluarga menjadi sumber inspirasi utama proses pembelajaran seorang anak dalam menemukan, membentuk dan mendesain kepribadian. Dinamika kehidupan keluarga akan menjadi ruh bagi terbentuknya frame of personality. Dari keluarga inilah anak menginternalisasikan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang nantinya akan digunakan sebagai alat berinteraksi dengan orang-orang di luar keluarganya. Sampai dengan titik ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa baik buruknya kualitas kehidupan keluarga akan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Anak akan belajar dari apa yang Ia dengar, apa yang Ia lihat dan apa yang Ia rasakan dalam keluarganya, untuk selanjutnya Ia internalisasikan dan implementasikan dalam perilaku kesehariannya. Dengan kata lain Bila Ia mendengar hal-hal yang Indah dari keluarganya, Ia pun akan berperilaku elok, santun dan lembut. Sebaliknya jika yang Ia dengar dan Ia lihat adalah kekerasan maka anak pun akan memperlihatkan kekerasan, agresifitas dan perilaku-perilaku negative lainnya. Bagaimana Anak kita Belajar ? Perilaku anak terbentuk melalui proses pembelajaran social (social learning process) terutama melalui mekanisme Imitasi (modeling) dan Identifikasi.
Dari Mana anak Belajar ? Kehidupan keluarga menjadi sumber inspirasi utama proses pembelajaran seorang anak dalam menemukan, membentuk dan mendesain kepribadian. Dinamika kehidupan keluarga akan menjadi ruh bagi terbentuknya frame of personality. Dari keluarga inilah anak menginternalisasikan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang nantinya akan digunakan sebagai alat berinteraksi dengan orang-orang di luar keluarganya. Sampai dengan titik ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa baik buruknya kualitas kehidupan keluarga akan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Anak akan belajar dari apa yang Ia dengar, apa yang Ia lihat dan apa yang Ia rasakan dalam keluarganya, untuk selanjutnya Ia internalisasikan dan implementasikan dalam perilaku kesehariannya. Dengan kata lain Bila Ia mendengar hal-hal yang Indah dari keluarganya, Ia pun akan berperilaku elok, santun dan lembut. Sebaliknya jika yang Ia dengar dan Ia lihat adalah kekerasan maka anak pun akan memperlihatkan kekerasan, agresifitas dan perilaku-perilaku negative lainnya. Bagaimana Anak kita Belajar ? Perilaku anak terbentuk melalui proses pembelajaran social (social learning process) terutama melalui mekanisme Imitasi (modeling) dan Identifikasi. Imitasi adalah mekanisme pembelajaran dengan cara menirukan, mencotoh dari model yang dilihat, didengar dan dipersepsikannya. Orang tua sebagai model adalah obyek yang paling dekat untuk ditiru oleh anak-anak. Oleh karena itu orang tua sebagai prime model bagi pembelajaran anak harus ektra dan super hati-hati dalam berucap, berperilaku dan bertindak di hadapan anak-anak. Ingat anak adalah imitator ulung yang tiada taranya. Dengan kata lain, dalam proses tumbuh kembang anak orang tua harus mampu menjadi uswah khasanah (suri tauladan) bagi putra-putrinya. Identifikasi adalah mekanisme psikologis, dimana seseorang (terutama anak-anak) mencoba membentuk identitas dirinya dengan cara mengadopsi secara total figure-figur idialnya (idola) untuk dijadikan identitasnya. Ketika anak mengidolakan orang tua sebagai tokoh super yang dikaguminya maka hal ini menjadi modal yang sangat positip bagi orang tuanya untuk membawa kehidupan masa depan anak-anaknya kepada alur kehidupan yang idial sebagaimana yang diingnkan orang tua. Namun sejalan dengan perkembangan usia seseorang (anak) dan banyaknya rangsang-rangsang social di sekitar kehidupan anak, maka anakpun tidak lagi menjadikan orang tua (ayah/ibu) sebagai tokoh idolanya. Anak mulai menemukan idialitas lain yang lebih sesuai dengan hasrat perkembangan sosialnya. Anak menemukan tokoh idialitasnya dari televisi, bacaan, iklan, internet, sinetron, film yang belum tentu sesuai dengan nilai cultural, agama dan konsep pendidikan kita. Jika hal ini telah mulai terjadi pada anak-anak, maka hak orang tua adalah melakukan”filterisasi” dan intervensi secukupnya untuk mengarahkan agar anak-anak tidak terperosok pada pemilihan idola yang salah. Namun demikian orang tua tidak berhak untuk mencegah atau melarang anak menemukan idialitas dan identitasnya yang ia pungut dari kehidupan di sekitarnya. Dengan Cinta Kita Bicara Cinta adalah bahasa yang paling universal dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Sebab cinta merupakan amunisi jiwa yang sangat dahsyat yang mampu mengalahkan kedahsyatan topan tornado maupun ganasnya luapan lahar gunung merapi. Atas nama cinta, banyak orang (ibu) yang rela berkorban demi kemuliaan hidup anak-anaknya. Apakah Cinta ? Dalam perspektif psikologi, cinta diidentifikasikan sebagai energi kehidupan positif yang bersifat afektif (emosi) . Energi cinta akan membawa seseorang pada perilaku yang positip, karena dalam cinta tersebut terkandung unsur-unsur positip seperti keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, ketabahan, kejujuran, kepercayaan dan kesunguh-sungguhan. Ketika energi cinta ini diimplemetasikan dalam mendidik anak-anak, maka orang tua harus berlaku ikhlas (lahir dan bathin), sabar dan penuh kasih sayang. Kasih sayang dalam kontek ini tidak berarti harus selalu memberi atau menuruti semua kehendak anak, tetapi mempertegas sikap untuk memberi pelajaran pada anak bahwa tidak setiap keinginan atau kehendak itu harus terpenuhi. Ketegasan tidak sama dengan kekerasan !! Dunia anak-anak jauh sangat berbeda dengan dunianya orang tua/dewasa. Banyak hal yang berbeda bahkan bertolak belakang diantara keduanya. Kenyataan ini sering membuat orang tua tidak sabar dan tidak tabah dalam mengsuh/mendidik putra-putrinya. Ketidaksabaran dan ketidaktabahan ini menimbulkan konflik yang sering memicu timbulnya kemarahan, sehingga cinta yang semestinya menjadi energi positif berubah menjadi energi destruktif yang merusak sendi-sendi harmoni cinta antara orang tua dan anak-anaknya. Oleh karena itu memelihara cinta sebagai amunisi jiwa adalah merupakan kata kunci untuk membangun kejujuran, kepercayaan dan kesungguhan dalam “gerakan” mendidik dan mengasuh anak-anak tercinta. Bagaimana Memelihara Cinta ? Sebagaimana sebuah tanaman, Cinta juga memerlukan pemeliharan yang baik agar tumbuh subur, berbunga indah dan berbuah lebat. Tanaman perlu dipupuk dengan pupuk organic untuk menjaga kesuburannya, maka cinta juga perlu disuburkan dengan pupuk-pupuk rohaniah. Diantara pupuk yang paling mujarap untuk menjaga kesuburan cinta adalah menumbuhkan rasa saling mengerti. Orang tua harus mencoba belajar memahami dunia anak-anak. Anak-anak bukan merupakan manusia dewasa dalam bentuk mini. Artinya jangan memeperlakukan anak-anak seperti kita memeperlakukan orang dewasa. Anak mempunyai dunianya yang khas, yang sangat berbeda dengan dunia kita. Dunia anak-anak adalah berekplorasi, berekperimen mencari tahu dan menemukan sesuatu yang sesuai dengan frame of reference mereka yang masih sangat simple. Bermain bagi seorang anak adalah aktivitas ‘pencarian’ untuk menemukan apa yang sedang ia cari. Sedangkan bermain bagi orang dewasa adalah refressing untuk menyegarkan jiwa raga setelah bergelut dengan padatnya pekerjaan. Dunia orang dewasa adalah dunia bekerja, dunia tanggung jawab yang menuntut kerja keras dan nilai-nilai pertanggungjawaban. Disinilah salah satu konsep yang harus dimengerti orang tua dari dunia anak-anaknya. Pengertian ini akan menjadi pupuk yang sangat bagus bagi tumbuh suburnya cinta bila orang tua mau memahaminya. Dengan pemahaman tersebut maka manajement konflik yang muncul dari hubungan anak dengan orang tuanya dapat ditatalaksanakan dengan sehat. Pupuk lainnya adalah kesadaran diri bahwa “saya adalah orang tua mereka dan mereka adalah anak-anak saya”. Kesadaran ini akan membawa orang tua untuk “tahu diri” dan mampu mengendalikan ego secara baik. Kesadaran diri dan pengendalian ego yang baik ini akan berimplikasi pada terbentuknya keseimbangan antara emosi dan kesadaran orang tua atas tugas dan tangung jawab pengasuhan terhadap anak-anaknya. Pupuk lainnya lagi bagi suburnya cinta adalah kesediaan untuk selalu bersama dalam duka dan suka. Memperbanyak waktu bersama keluarga di sela-sela kesibukan bekerja, merupakan energi yang luar biasa untuk memupuk cinta. Kebersamaan akan menciptakan pemahaman dan menumbuhkan pengenalan yang lebih baik antara satu anggota keluarga dan anggota lainnya. Kebersamaan juga akan menumbuhkan empati dan kerja sama. Dimana semua itu akan bermuara pada terbentuknya rasa ukhuwah atau persaudaraan yang lebih kuat dan lebih baik. Persaudaraan yang kokoh adalah muara akhir dari energi cinta. Kesuburan cinta harus pula ditingkatkan dengan doa. Ketulusan dan keikhlasan doa merupakan jembatan bagi manusia untuk membentuk kehidupan jiwa yang khusuk, jiwa yang tawadu’, konaa’ah dan istiqomah , dimana semua itu akan menuntun terwujutnya perilaku yang halus sebagai wujut kematangan jiwa. Doa adalah intinya ibadah, di dalam doa termuat muatan cinta yang tidak terbatas. Maka berdoalah anda maka anda akan menjadi orang kaya dengan cinta. Doa akan menuntun manusia untuk mengakui bahwa dirinya adalah doif, lemah dan penuh ketidakberdayaan. Ketidak berdayaan inilah yang mendorong manusia untuk bersama membangun kekuatan yang namanya Cinta. Antara Ketegasan dan Kekerasan Tidak ada satupun alasan pembenar yang dapat membenarkan tindak kekerasan pada anak untuk sebuah metode pendidikan. Kekerasan akan meninggalkan dendam dan kebencian. Yang dianjurkan adalah menggunakan pendekatan ketegasan. Tegas berarti aseritif, yaitu membiasakan disiplin untuk melatih bertanggungjawab. Ketegasan memang sering berimplikasi pada suatu suasana yang tidak menyenangkan bagi anak-anak. Namun selama ketegasan itu kita komunikasikan secara terbuka (tidak didasari oleh ego kekuasaan sebagai orang tua), maka lambat laun anak akan mengerti mengapa saya “dipaksa” bigini atau begitu” oleh ayah/ibu saya. Oleh karena itu konsep ketegasan ini harus selalu diiringi dengan pemberlakuan prinsip reward and punishment. Dengan demikian ketegasan tidak meninggalkan jejak dendam dan kebencian, sebaliknya meninggalkan kesan tentang perlunya tanggungjawab dan kedisiplinan. Cinta memang butuh ketegasan. Love your child forever, so they make be you understanding. Love is miracle !! Love is power and love is future ! Thanks You.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar