Kamis, 31 Maret 2011

MUHAMMADIYAH BUKAN KENDARAAN POLITIK

Soleh Amini Yahman
Dalam konstelasi politik di Indonesia, Muhammadiyah adalah merupakan potensi yang sangat luar biasa dalam memerah-putihkan kehidupan partai-partai politik. Maka tidak mengherankan jika akhirnya banyak tokoh-tokoh partai politik yang merayu, mendekat dan berusaha menggandeng Muhammadiyah agar mendukung eksistensi partainya.Bahkan ada partai politik yang mengklaim dirinya sebagai partainya wong Muhammadiyah. Godaan dan gemerlapnya kehidupan politik praktis memang sempat sedikit merangsang syahwat politik beberapa tokoh Muhammadiyah. Tapi pimpinan pusat Muhammadiyah dengan tegas meneguhkan jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi non partai. Muhammadiyah tetap istiqomah sebagai organisasi sosial kemasyarakat islam yang bergerak pada bidang dakwah amar makruf nahi munkar. Muhammadiyah benar benar menjaga jarak dengan partai politik manapun. Laporan yang ditulis oleh Sugiharko dan Sonny Yahman ini merupakan catatan atas pidato KH. Muhammad Muqodas dari pimpinan pusat Muhammadiyah di berbagai kesempatan.


Hingar bingar dunia perpolitikan di Indonesia selama satu dekade terakhir ini sama sekali tidak merangsang syahwat politik Muhammadiyah. Terlepas dari syahwat politik dari beberapa orang muhammadiyah untuk berpolitik praktis, Muhammadiyah dengan tegas tetap meneguhkan dirinya sebagai organisasi non politik. Lebih tepatnya Muhammadiyah tetap meneguhkan jati dirinya untuk tetap beristiqomah sebagai oraginisasi sosial Islam kemasyarakatan yang bergerak di ranah amar makruf nahi munkar. Kalau toh Muhammadiyah harus berpolitik maka Muhammadiyah memilih jalan politik melalui politik pendidikan, politik kesehatan, politik pemberdayaan ekonomi umat dan dakwah amar makruf nahi munkar. Bukan berpolitik dengan berebut kekuasaan dan jabatan politik.
Kendaraan Politik
Lahirnya Partai Amanat Nasioanl (PAN) konon sempat dipersepsikan sebagai partainya Muhammadiyah. Persepsi tersebut dengan tegas dibantah oleh KH. Muhammad Muqodas selaku anggota pimpinan pusat (PP) Muhammadiyah. “ Jika ada yang menempatkan PAN sebagai partainya Muhammadiyah, itu adalah penempatan yang salah tempat. Muhammadiyah tidak pernah mendirikan partai atau berafiliasi ke partai apapun, termasuk PAN” demikian penegasan Muhammad Muqodas pada pidato pelantikan pimpinan Pengurus Daerah Muhammadiyah Surakarta periode 2005 - 2010 di gedung Batari Solo pertengahan juni 2006. Namun demikian, menurut Moqodas, Muhammadiyah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada warga Muhammadiyah untuk berpolitik atau menjadi pengurus partai politik manapun. Kalau PAN itu lahir dan dibidani oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, menurut beliau itu adalah kenyataaan yang harus diterima sebagai suatu realita. Tetapi sekali lagi beliau menegaskan Muhammadiyah tidak pernah memberi tuntunan, arahan, bimbingan dan nasehat terkait dengan perilaku dan pilihan politik warganya. Artinya Muhammadiyah tidak melarang dan tidak pernah mengharamkan warganya untuk berpolitik !! Muhammadiyah tetap istiqomah pada jalur dakwah amar makruf nahi mungkar. Namun demikian beliau mengingatkan kepada segenap pimpinan atau pengurus Muhammadiyah pada lini atau tingkatan apapun agar mengurungkan niatnya menjadi pengurus Muhammadiyah jika niat itu dimaksudkan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan guna mendapatkan jabatan-jabatan politik tertentu. Oleh karena itu suatu sikap dasar yang harus senantiasa dijaga oleh warga Muhammadiyah adalah sikap untuk selalu beristiqomah pada perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang selalu beramar makruf dan bernahi munkar. Menurutnya dengan sikap istiqomah tersebut Muhammadiyah akan selalu jujur dan terhindar dari sikap-sikap dan perilaku hipokrit yang sering kali mewarnai sikap dan perilaku para politikus kita.
Menolak berpolitik
Menengok pada sejarah perjalanan Muhammadiyah, Muqodas menjelaskan peluang Muhammadiyah untuk menjadi partai politik yang kuat sebenarnya terbuka sangat luas sekali. Sekitar tahun 1970-an pemerintah orde baru pada waktu itu memberi kesempatan yang sangat luas kepada Muhammadiyah untuk menjadi partai politik Islam. Namun dengan sikap tawdu’ dan hormat Muhammadiyah menolak peluang emas tersebut. Dibawah komando KH. AR. Fakhrudin, Kasman Singodimedjo, Prof Ahmad Rasyidi, Abdul Kahar Mudzakir dan sesepuh-sesepuh lainnya pada waktu itu justru menyeru dan mengingatkan warga Muhammadiyah agar tetap istiqomah pada rel perjuangan , yaitu mensejahterakan dan menggembirakan masyarakat melalui perjuangan dakwah.
Dalam kaitanya dengan perjalanan Muhammadiyah kedepan, secara khusus dan khusyuk, Kyai Ahmad Dahlan menitipkan pesan atau amanah kepada warga Muhammadiyah tentang enam hal, yaitu (1) tidak sekali-kali menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain (2) tidak sentimentil, tidak sakit hati bila menerima celaan dan kritikan (3) tidak berlaku sombong dan berbesar hati kalau menerima pujian (4) tidak ujub-kibir-riya atau jubriya (5) Ikhlas murni hatinya kalau sedang berkembang harta benda, pikiran dan tenaga (6) harus bersungguh-sungguh hati dan tetap tegak pendiriaannya.
Enam pesan ini harus dijadikan pedoman dan asas bagi warga Muhammadiyah dalam berkiprah di persyarikatan Muhammadiyah sehingga hati, pikiran dan khitahnya tetap lurus dan istiqomah pada nilai-nilai dasar pergerakan Muhammadiyah. Namun jika sekiranya kekiprahannya sebagai orang Muhammadiyah tersebut membawa ke habitat lain di luar khitah perjuangan Muhammadiyah, maka kerjakanlah itu dengan niatan berjuang untuk Muhammadiyah. Kerjakanlah amalan itu sebagai bentuk dakwah, karena pada dasarnya setiap pimpinan Muhammadiyah, setiap warga Muhammadiyah adalah da’i sekalipun yang bersangkutan tidak berkecimpung secara khusus dalam pendalaman ilmu-ilmu agama. Jadikanlah amalan (bisa berupa jabatan-jabatan tertentu di legislatif maupun eksekutif) bukan sebagai tujuan akhir sebagai orang Muhammadiyah. Karena tidak dibenarkan bila orang Muhammadiyah menjadikan persyarikatan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik.
Konstelasi pikir dan sikap yang demikian inilah yang pada akhirnya dapat memposisikan Muhammadiyah sebagai organisasi massa Islam menjadi besar, disegani dan selalu diperhitungkan dalam kancah kehidupan sosial politik di Indonesia. Berbagai kekuatan dan kelompok politik mencoba ‘berbaik hati”untuk merayu Muhammadiyah agar melirik partai atau kelompok partai tertentu. Mereka menyadari Muhammadiyah menyimpan potensi yang besar untuk dijadikan instrumen kemenangan politik tertentu. Maka sangat tidak mengherankan bila akhirnya banyak lamaran atau ajakan berpolitik praktis menghampiri pribadi para tokoh dan warga Muhammadiyah untuk bergabung pada partai tertentu, ketika lamaran struktural mereka kepada persyarikat tidak berhasil. Hal ini bisa dilihat dari tidak sedikitnya warga Muhammadiyah yang karena ketokohannya di Muhammadiyah akhirnya tampil dan muncul sebagai pemimpin bangsa melalui partai-partai tertentu. Kita sebut misalnya Profesor Dr. M. Amien Rais. Mantan Ketua PP Muhammadiyah dan ketua umum PAN (waktu itu) berhasil menduduki kursi kepemimpinan bangsa sebagai ketua MPR RI dan bapak reformasi Indonesia. Dengan kejernihan dan keikhlasan berfikirnya Amin Rais dengan tawadu’ dan istiqomah berjuang melalui lembaga MPR untuk melakukan Amandemen atau perubahan terhadap isi Undang-Undang Dasar 1945 yang selama ini tabu dan seakan-akan di tuhankan oleh bangsa Indonesia. Maka melalui UUD yang telah diamandemen tersebut lahirlah Indonesia baru dengan tatanan demokrasi yang lebih sistemik serta kehidupan sosial politik yang lebih dinamis dan enlightment. Bukan itu saja Prof Amin juga berhasil menata kehidupan lembaga –lembaga negara menjadi lembaga yang clean dan nir kecurangan dan kefasikan semacam korupsi, kolusi dan nepotisme. Beliau mengakronimkan tiga penyakit kejahatan tersebut dengan istilah KKN yang sekarang ini menjadi istilah yang sangat populer.
Dakwah muhammadiyah = politik dakwah Islam
Dakwah merupakan esensi kegiatan paling mendasar dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah. Dakwah merupakan nafas tunggal yang menghidupkan Muhammadiyah sehingga Muhammadiyah dapat tumbuh berkembang sebagai biopolitical organisme yang menggurita, meliputi hampir semua dimensi dan kehidupan kemasyarakatan. Muhammadiyah menterjemahkan dakwah sebagai implemenstasi politik dari perintah Allah dalam QS Ali Imran 104. Idialisme dakwah Muhammadiyah adalah “illa sabilli robbika sabillil, yaitu kepada agama tuhanmu yaitu agama Islam. Islam adalah agama yang benar, bahkan satu-satunya agama yang benar, di luar agama Islam adalah tidak benar ! Berangkat dari sikap ini maka menjadi jelas bahwa Muhammadiyah adalah organisasi berfaham ahlul sunnah wal jamaah.
Bukan pluralisme dan liberalisme
Muhammad Muqodas mengingatkan bahwa Muhammadiyah adalah bukan organisasi yang mengabut faham liberalise dan pluralisme. Muhammadiyah mengakui pluralisme itu ada, tetapi tidak mengikuti faham pluralisme itu sendiri. Sekalipun orang-orang berfaham pluralisme bertebaran di dalam Muhammadiyah tetapi Muhammadiyah tidak mengenal dan tidak mengimplementasikan konsep pluralisme dalam mengembangkan organisasi maupun dalam menjalankan fungsi sosial politiknya. Oleh karena itu sangat tidak benar bila ada yang menempatkan Muhammadiyah sebagai pengusung pluralisme dan liberalisme. Penempatan yang demikian ini konon terlihat dari sikap orang-orang Muhammadiyah yang egaliter non sektarian serta konsep dakwah Muhammadiyah yang bersifat open flat atau terbuka bagi siapa saja. “Dalam berperialku sosial politik boleh saja orang-orang Muhammadiyah bersikap pluralis, tetapi dalam mengejawantahkan perilaku keagamaan dan kemuhammadiyahannya tidak boleh pluralis. Islam adalah Islam yang benar. Tidak ada agama yang benar kecuali Islam” tegas Muqodas sembari menyitir QS. Al Maidah “Inna dinna indaalahi islam”
Sekalipun Muhammadiyah dengan tegas menyatakan bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang benar tetapi Muhammadiyah tetap memerintahkan kepada seganap warganya untuk hidup rukun dan damai dengan penganut agama di luar Islam. Dalam kontek kerukunan antar umat beragama ini Muhammadiyah tidak lantas menyamakan Islam dengan agama-agama di luar Islam.
Dengan konsep dan paradigma politik dakwah yang demikian itulah orang-orang Muhammadiyah membentengi diri dari kemungkinan terjadinya konflik horisontal maupun vertikal dengan negara dan kelompok masyarakat tertentu. Karena dengan sikap yang mulur mungkret inilah akhirnya terbentuk suatu mekanisme sosiabilitas kehidupan politik yang tumaninah dan rendah hati. Dengan ke-tumaninahan dan sikap tawadu’ inilah politik yang dibangun oleh Muhammadiyah tidak sevulgar perilaku-perilaku politik yang hanya berorientasi pada power dan kekuasaan belaka. Di manapun tempatnya di negeri ini, organisasi apapun tidak mungkin terlepas dari kepentingan politik, baik kepentingan langsung maupun kepentingan-kepentingan politik tidak langsung. Oleh karena itu agar Muhammadiyah tidak terjebak pada kehidupan politik yang ‘nakal’ maka landasan juang kemuhammadiyahan harus selalu didengungkan dan diserukan kepada segenap warga Muhammadiyah pada semua lini. Peringatan Muhammad Muqodas sebagaimana disampaikan pada pidato pengajian penyegaran pengurus pimpinan daerah Muhammadiyah Solo Desember 2006 patut dicamkan. “Bapak ibu yang berniat menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik untuk memperoleh kekuasaan tertentu, maka sebaiknya detik ini juga segera mundur sebagai pengurus atau pimpinan Muhammadiyah. Bermimpi saja kita tidak boleh apalagi berupaya mewujutkannya. “ tegas pak Muqodas yang langsung disambut tepuk gempita jamaah pengajian.
AUM dan Energi Politik
Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah memiliki puluhan dan bahkan ratusan amal usaha Muhammadiyah, baik berupa lembaga pendidikan, rumah sakit, panti-panti perawatan, pondok pesantren, lembaga-lembaga ekonomi dan sebagainya. Menurut Muhammad Muqodas lembaga-lembaga amal usaha tersebut adalah milik Muhammadiyah dan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan dakwah Islam amar makruf nahi munkar. Dengan demikian orang-orang yang berada di dalam amal usaha Muhammadiyah (AUM) tersebut harus bersedia diaudit kadar kemuhammadiyahannya oleh Muhammadiyah. Mereka perlu diaudit karena mereka sedang mengemban amanah Muhammadiyah, yaitu menjalankan usaha dengan amanah, jujur, terbuka, disiplin dan bekerja keras. Terkait dengan masalah aset, omset dan manajemen dari amal usaha Muhammadiyah, setiap amal usaha Muhammdiyah juga harus siap dan bersedia di audit oleh Muhammadiyah. Hal ini perlu dilakukan karena amal usaha Muhammadiyah bukanlah milik amal usaha itu sendiri sebagai sebuah lembaga yayasan atau institusi, tetapi milik umat atau pubik Muhammadiyah.Tentang masalah ini Moqodas perlu mengingatkan karena ada kecenderungan dari sebagian kecil AUM yang karena merasa sudah “besar” sehingga melaju tanpa batas mengikuti arus aliran perkembangan dan tuntutan zaman tanpa memperdulikan lagi nafas kemuhammadiyahannya. “hal-hal yang demikian inilah yang saya tengarai sebagai pangkal melunturnya idiologi kemuhammadiyahan pada amal-amal usaha Muhammadiyah” tegas Kyai Muqodas. Sehingga Rumah sakit Muhammadiyah, sekolah Muhammadiyah atau universitas Muhmmadiyah tidak lagi berbeda dengan rumah sakit-rumah sakit pada umumnya, sekolah dan universitas-universitas Muhammadiyah juga tidak berbeda dengan sekolah dan univeritas lain pada umumnya. Amal usaha Muhammadiyah harus dikembalikan sebagai salah satu basis politik dakwah Muhammadiyah, bukan sebaliknya dijadikan energi politik praktis dari oknum-oknum pengelola amal usaha Muhammadiyah untuk mewujutkan ambisi politik kekuasaannya.
Dalam perjalanannya yang telah mencapai usia 97 tahun ini, Muhammadiyah kini telah menjelma menjadi “rumah besar” , di mana di dalamnya tinggal berbagai manusia dengan aneka tujuan, maksud dan cita-cita. Ada yang bertujuan sebagaimana tujuan dan cita-cita yang diemban oleh Muhammadiyah, tetapi tidak sedikit pula yang hanya sekedar menumpang hidup dan bahkan ada yang berusaha menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan menuju kekuasaan. Terhadap orang-orang yang bertjuna di luar tujuan dan cita-cita muhammadiyah inilah yang perlu didakwai dengan lebih intensif sehingga potensi mereka tidak tersia-siakan dalam membangun Muhammadiyah . Akhirnya Pimpinan Pusat muhammadiyah melalui Kh. Muhammad Muqodas mengingtakan kembali tiga sifat dasar kepemimpinan yang harus dimiliki oleh pimpinan Muhammadiyah sebagaimana dicontohkan Rasullah SAW, yaitu sangat prihatin terhadap penderitaan umat, sangat menginginkan kebaikan umat dan sangat tinggi belas kasihnya terhadap umat. Sebagai pemimpin Muhammadiyah berati menjadi pengikut nabi Muhammad. Maka siapaun yang menjadi pemimpin Muhammadiyah harus dapat mengikuti tiga sifat dasar yang dicontohkan nabi tersebut. Oleh karena itu berkemuhammadiyahan kita harus diberangkatkan dari niat yang benar, sebab amal perbuatan manusia itu bergantung pada niatnya. Sebab Niat itulah yang menjadi dasar bagi allah untuk memberi atau tidak memberi pahala atas amalan umat manusia. Jika kebermuhammadiyahaan kita diawali dengan niat yang salah pastilah allah tidak akan memberi pahala. Niat kita bermuhammadiyah harus satu, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Tidak ada niatlain selain itu. Selamat Bermuhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar