Soleh Amini Yahman
Pendahuluan
Perkembangan industri penyiaran telivisi di Indonesia pada satu dekade terakhir ini berlangsung dengan sangat cepat. Secara kuantitatif tingkat pertumbuhan industri penyiaran telivisi mengalami peningkatan hampir 1000% dibanding keadaan pada satu dekade sebelumnya ( tahun 1990-ke bawah). Sebelum era tahun 1993 dunia penyiaran pertelevisian di Indonesia hanya ada satu stasiun telivisi nasional yang dikelola oleh negara, yaitu TVRI. Setelah itu berturut-turut lahir stasiun penyiaran RCTI dan SCTV sebagai stasiun telivisi swasta pertama dan kedua di Indonesia. Kehadiran RCTI dan SCTV berhasil menyihir ratusan ribu pemirsa dari berbagai kalangan usia dan strata sosial untuk bertahan menonton tayangan telivisi hingga berjam-jam lamanya, disamping berhasil juga menyedot ratusan juta rupiah dari iklan. Keberhasilan tersebut menginspirasi para investor untuk menanamkan modalnya di bidang usaha pertelivisian. Bukan hanya investor lokal tetapi juga investor asing. Maka lahirlah berbagai stasiun penyiaran baru seperti TPI, ANTV, Indosiar dan puluhan tasiun televisi swasta lain baik yang beridentitas sebagai stasiun penyiaran nasional maupun siaran lokal..
Keberhasilan pembangunan sektor pertelevisian nasional Indonesia ini, di satu sisi memberi harapan tersedianya media komunikasi massa yang efektif untuk menyampaikan berbagai pesan secara langsung kepada masyarakat. Tetapi pada satu sisi yang lain, perkembangan yang pesat ini justru membersitkan rasa khawatir atas munculnya bentuk-bentuk intervensi tayangan telivisi terhadap kehidupan psikososial anak-anak kita. Kekhawatiran itu sangat wajar sebab tidak sedikit tayangan telivisi yang tidak mengindahkan nilai-nilai edukasi, moral, tata susila dan hanya mengejar keuntungan semata. Namun kita harus mengakui pula bahwa tidak sedikit stasiun telivisi yang tetap mengedepankan aspek eduksi dalam ‘beberapa’ tayangannya. Dengan kata lain telivisi sebenarnya masih tetap bisa memberi porsi positip pada pemirsanya selama pengelola stasiun telivisi tersebut tetap istiqomah untuk memfungsikan telivisi sebagaimana fungsi telivisi sebagai media massa.
Fungsi Telivisi
Minimal ada empat fungsi yang diemban oleh lembaga stasiun penyiaran telivisi. Sebagaimana fungsi media massa lainnya, telivisi mempunyai empat fungsi pokok yaitu ; fungsi sebagai lembaga pemberi informasi publik fungsi sebagai lembaga eduksi atau memberi pendidikan, fungsi hiburan dan fungsi kontrol sosial. Namun demikian, secara umum pemanfaatan telivisi pada masyarakat Indonesia masih terbatas hanya sebagai media hiburan (intertain) dan media informasi. Di Indonesi keempat fungsi telivisi tersebut belum optimal kecuali fungsi menghibur dan fungsi informatif. Pada awal-awal kelahirannya di tahun 1993 lalu, RCTI sebagai stasiun telivisi nasional swasta pertama, menggelar slogan RCTI sebagai “ Saluran Hiburan dan Informasi”. Dari sini terlihat bahwa RCTI meringkas empat fungsi pokok telivisi hanya menjadi dua fungsi saja, sedang dua yang lain diabaikan. Dari sini tergambar bahwa fungsi hiburan dan informasi yang lebih di kedepankan, sedangkan fungsi edukasi dan fungsi kontrol sosial dibelakangkan. Ada juga telivisi swasta yang mengidentifikasikan dirinya sebagai telivisi pendidikan indonesia (TPI) . Dari namanya saja seharusnya kita bisa menduga bahwa misi yang hendak ditonjolkan dan ditebarkan kepada masyarakat pemirsa adalah misi-misi yang terkait dengan pendidikan. Namun dalam praktiknya, sebagimana kita lihat TPI banyak menyiarkan acara-acara yang tidak edukatif baik dalam tayangan realty show, sinetron maupun acara hiburan semacam lawakan, musik , infotainment dan iklan. Hal ini dapat dimaklumi sebab sebagai lembaga bisnis, stasiun penyiaran telivisi juga harus menyesuaikan dengan selera pasar. Telivisi bisa hidup dan berkembang bila ia mampu menguasi pasar dengan menarik sebanyak-banyaknya pemirsa.
Dampak Psikososial-Kultural dan akademik.
Menonton telivisi bukan merupakan perilaku yang salah. Sampai tahap dan tingkatan tertentu menonton telivisi bahkan dianjurkan. Yang tidak boleh terjadi adalah kecanduan menonton telivisi.
Secara psikologis menonton telivisi dalam rentang waktu yang panjang dan dengan frekwensi (tingkat keseringan) yang tinggi bisa menimbulkan kecanduan dan dapat membunuh daya imajinatif. Lebih daripada itu tontonan telivisi yang ditonton dengan frekwensi dan intensitas yang tinggi akan merangsang terjadinya metabolisme psikis secara berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya ketumpulan emosi seperti ndablek, cuek, apatis, penghayal dan sebagainya. Jika kebiasaan menonton telivisi dilakukan secara impersonal (tidak bersama-sama) maka dampak sosial yang terjadi adalah perilaku antisosial seperti lebih suka beraktivitas sendiri, tidak suka gaul, cuek pada keberadaan orang lain , tidak peduli pada norma umum dan lain sebagainya. Disamping itu, kecanduan menonton telivisi jelas sangat mengganggu aktivitas belajar para siswa sekolah, apalagi tidak sedikit stasiun-stasiun telivisi yang menempatkan acara-acara favorit anak-anak pada jam-jam di mana anak-anak seharusnya memulai kegiatan belajarnya.
Secara lebih luas, dampak psikososial dan kultural yang langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh masyarakat adalah terjadinya pergeseran dan perubahan nilai-nilai sosiologis dan budaya masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut dapat kita identifikasi dari munculnya perilaku-perilaku yang ‘tidak wajar’ yang sering diperlihatkan oleh sebagian warga masyarakat kita dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Misalnya mengubah warna dan potongan rambut dari warna hitam panjang menjadi potongan pendek dan kemerah-merahan, cara berpakaian yang simple sehingga menampakkan sebagian besar aurat, laki-laki pakai anting, gelang, kalung, pola dan pilihan makan yang ke-Amerika-nan, model pergaulan muda-mudi yang bebas, gaya hidup hedonis, kunsumtif dan permisif justru menjadi kebanggaan dan lain sebagainya. Bahkan bukan hanya perilaku tidak wajar, perilaku yang salah dan berdosa pun tidak jarang dilakukan oleh sebagian dari kita karena pengaruh tontonan TV , seperti misalnya perkelahian dan kekrasan yang seakan-akan telah menjadi olah raga harian, fitnah dan provokasi, tipu menipu menjadi gaya hidup, pelecehan seksual dan pemerkosaan seakan lumrah-lumrah saja dilakukan, apalagi kalau cuma hamil di luar pernikahan- itu sih cuma kecelakaan !! Belum lagi munculnya kata-kata makian, hujatan , kebencian yang seakan-akan menjadi kosa kata baru dalam perbendaharaan bahsa kita.
Semua perilaku-perilaku ‘tidak wajar’ tersebut adalah akibat intervensi yang sangat kuat dari pelajaran-pelajaran yang termuat di dalam tayangan-tayangan telivisi kita. Akibat dari intervensi yang dilakukan TV terhadap perilaku pemirsanya memang tidak seketika efeknya. Ia akan muncul secara evolutif. Perlahan dan pasti telivisi kita mendegradasi keutuhan aqidah, keimanan dan integritas mental, spiritual dan ketahanan kepribadian. Hanya pribadi-pribadi yang mempunyai ketahanan pribadi yang maksimal saja yang akan ‘kalis’ dari pengaruh buruk tayangan telivisi. Dengan kata lain pengaruh yang tercipta oleh media telivisi bisa mempercepat kehancuran nilai-nilai agama dan moral tradisional dari pemirsanya bila tidak dibarengi dengan adanya filterisasi yang memadai. Telivisi bisa melukai dan merusak peradaban kita. Komunikasi tanpa batas telah banyak mengakibatkan pergesaran moral. Banyak sekali tayangan telivisi saat ini yang sudah kehilangan fungsi, yang semestinya memberi hiburan dan pendidikan untuk membangun akhlak justru melukai pemirsanya, terutama pemirsa dari kalangan anak-anak. Smack down fever yang sempat merenggut korban jiwa anak beberapa waktu yang lalu dapat kita jadikan contoh betapa tayangan telivisi sangat mempengaruhi perilaku dan kondisi kejiawaan anak.
Pahami Karakter Psikologis Anak
Pengaruh telivisi terhadap anak-anak-anak sangat besar. Besarnya pengaruh itu disebabkan anak-anak memang berada pada fase meniru. Nak-anak adalah imitator ulung, karena itu mereka akan cenderung meniru adegan-adegan yang ditonton di telivisi. Tentu tidak akan merisaukan jika yang dititu adalah hal-hal yang baik.
Posisi anak-anak atas tayangan telivisi memang sangat lemh. Hal ini berkaitan dengan sifat anak-anak yang sulit untuk membedakan antara hal-hal yang fiktif dan nyata. Anak tidak memahami bahwa tayangan film, sinetron, kartoon, iklan yang dilihat di telivisi adalah hasil dari sebuah rekayasa. Jadi di mata anak-anak, apa yang mereka lihat adalah sebagai sebuah kenyataan atau realita. Kedua, anak tidak memiliki selfcensorshif dan belum memiliki batasan tentang nilai, ketiga, dalam menonton telivisi anak –anak cenderung pasif dan tidak kritis.
Dunia anak adalah dunia imajinatif. Mereka bergerak dan bertindak berdasar imajinasi mereka yang diolah sedemikian rupa berdasarkan pengalaman dan lingkungannya. Bahkan pembentukan kepribadian mereka di masa depan salah satunya didukung oleh imajinasi tersebut. Ketika tayangan telivisi yang bercorak mistis, sinetron dan film yang penuh dengan kekerasan, kecengengan, kepornoan serta smacdown yang jahat dan dunia glamor menjadi kiblat imitasi dan pengembangan daya khayal anak, maka bisa kita predikan aklan menjadi sepereti apa kehidupan anak-anak kita di masa yang akan datang. Semakin sering anak mengkonsumsi tayangan-tayangan buruk dari telivisi maka akan semakin besar kemungkinan terbentuknya pengruh negatif. Sehingga tidak perlu heran ketika menemuai anak-anak kita tumbuh menjadi remaja yang labil dan kerap melakukan hal-hal negatif berupa tindak kekerasan dan pengrusakan pada dirinya sendiri maupun pada orang-orang lain.
Perilaku manusia tidak terbentuk begitu saja. Perilaku terbentuk melalui proses belajar yang rumit. Ada tiga cara manusia membetuk atau menset perilaku sehingga ia menjadi mind set dalam hidupnya, yaitu 1. Imitasi (2) modeling (3) identifikasi. Ketiga cara tersebut terjadi secara evolutif, perlahan tapi pasti mengikuti arus perjalanan usia dan expiriance yang diperolehnya. Bila tontonan telivisi telah menjadi habituasi sejak dini maka telivisilah yang akan dijadikan refrensi untuk melakukan imitasi, modeling dan identifikasi. Maka tidaklah mengheranklan bila sekarang ini banyak dari anak-anak kita lebih mengidolakan bintang senetron atau tokoh dari film tertentu daripada mengidolakan orang tuanya, gurunya atau ustadnya. Anak-anak lebih banyak meniru perilaku idolanya daripada menuruti ajaran guru maupun ustad-ustadnya. Oleh karena itu mari kita perlakukan telivisi dengan tegas dan bijaksana demi kualitas moral akhlak budi pekerti dan masa depan anak-anak kita.
Namun demikian kita juga tidak boleh menutup mata bahwa tidak sedikit pula dipertontonkan perilaku-perilaku positip seperti menolong orang lain, bersyukur kepada allah, berkorban untuk kebajikan. Untuk adegan-adegan positip tersebut tentulah tidak perlu kita risaukan ketika hal itu terinternalisasi dalam benak sanubari pemirsa telivisi. Yang menjadi masalah bila adegan-adegan negatip tersebut ditiru atau diinternalisasikan kedalam sanubari pemirsa dan kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Untuk kasus ini barangkali tidak menjadi masalah bila pemirsanya orang dewasa, dimana mereka telah memilki daya rasionalitas yang komplit. Sehingga bisa menseleksi mana adegan yang nyata mana adegan yang tidak nyata. Pada anak-anak daya rasionalitas tersebut belum tumbuh, sehingga apa yang dilihat dilayar kaca dinilai sebagai suatu realita. Anak-anak akan menerima semua yang dilihat dan didengar dari layar kaca tanpa seleksi dan tanpa prasyarat apa-apa. Sehingga mereka menganggap semua itu adalah realita. Disinilah para orang tua perlu meluangkan waktu seluas-luasnya untuk mendampingi sang buah hati ketika mereka menonton tayangan telivisi, apapun acaranya. Orang tua harus mampu membuka ruang dialog dengan putra-putrinya untuk mendiskusikan hal-hal yang dilihat, dibaca maupun didengarnya dari teliivisi. Disamping itu orang tua harus menerapkan asas tegas dan disiplin dalam mengatur manajemen tontonan telivisi dirumah tangganya. Sebaiknya telivisi diposisikan sebagai barang ‘common use’ bukan private use. Secara positional telivisi hendaknya ditempatkan di ruang keluarga sehingga bisa ditonton bersama-sama. Hindari semaksimal mungkin keberadaan telivisi di ruang pribadi anak-anak kita.
Mengarahkan Anak dalam Menonton Telivisi
Pertama, membangun kesadaran bahwa telivisi mempunyai berbagai fungsi dan memberi pengaruh baik maupun buruk bagi kehidupan psikologis pemirsanya. Kedua, orang tua harus proaktif bertanya kepada anak mengenai acara-acara yang disukai sehingga membantu orang tua untuk mengidentifikasi acara-acara favorit anak. Ketiga, proaktif melihat. Keempat, membuat kesepakatan dengan anak tentang acara yang boleh dan tidak boleh serta waktu / saat yang boleh dan tidak boleh menonton. Kelima mendampingi anak nonton Telivisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar