by Soleh Amini Yahman
Tanggal 20 Mei dicatat dan ditetapkan oleh bangsa Indonesia sebagai hari kebangkitan nasional. Memperingati hari kebangkitan nasional berarti melakukan proses evaluasi diri sebagai bangsa.
Apakah kehidupan berbangsa dan bernegara selama 61 tahun sejak memerdekakan diri dari belenggu penjajahan telah memberikan arti bagi kehormatan, harga diri dan martabat sebagai sebuah Bangsa. Sudah benar-benar bangkitkah bangsa Indonesia dari keterjajahan dan mampu berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah lebih dahulu menemukan kesadaran dirinya sebagai sebuah bangsa. Sudah benar-benar lepaskah bangsa Indonesia dari cengkraman penjajahan bangsa lain. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu terulang dan terulang setiap kali memperingati hari kebangkitan nasional, dan selama itu pula kita selalu ragu-ragu untuk memberikan jawaban yang pasti. Masih ada keraguan dalam sanubari untuk mengatakan bahwa bangsa kita telah bangkit dan lepas dari cengkraman penjajahan. Keraguan ini timbul karena realita kehidupan masyarakat bangsa Indonesia masih menujukkan banyaknya ketergantungan terhadap negara maju dan bahkan kehidupan bangsa ini masih banyak diatur dan ditentukan oleh kebijakan-kebijakan negara lain. Maka yang terjadi bangsa ini menjadi obyek ekperiemntasi politik, sosial, ekonomi dan bahkan budaya oleh negara-negara adi daya, terutama Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya. Dengan menggunakan keunggulan teknologi yang dimilikinya, mereka memindahkan ribuan ton kekayaan alam Indonesia ke negara mereka, dan dengan kekuatan ekonominya mereka mengatur bagaimana tatanan sosial ekonomi negeri ini harus dijalankan. Pencabutan subsidi bahan bakar minyak sebagai salah satu contohnya.
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di negara-negera Asia tenggara telah menimbulkan efek domino yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi indonesia. Bila negara-negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, Philipina, Korea telah sembuh dan bangkit dari krisis ekonomi, tidak demikian dengan Indonesia. Bahkan lebih parahnya lagi krisis yang mula-mula berbasis pada sektor ekonomi justru berkembang menjadi krisis yang multidemensional, di antaranya krisis politik, kultural dan sosial.
Sejalan dengan merebaknya krisis multidemensional itu, cobaan dan ujian bangsa Indonesia tidak juga mereda. Berbagai musibah, huru hara dan bencana alam melanda negeri. Hempasan gelombang tsunami di aceh dan nias, banjir bandang di jember dan trenggalek, tanah longsor, kecelakaan pesawat terbang dan kereta api yang beruntun, konflik bersenjata di maluku, aceh, sulawesi, papua dan kasus-kasus white color crime seperti korupsi,kolusi dan nepotisme, benar-benar membuat bangsa Indonesia mengalami shock yang luar biasa. Belum lagi gangguan terorisme dan merebaknya berbagai penyakit menular yang mematikan.
Pertanyaan yang timbul dari rentetan kasus-kasus itu adalah dosa apa yang telah diperbuat bangsa ini sehingga Tuhan begitu murka ? Benarkan itu semua sekedar ujian atau cobaan ? Ataukah ini semua merupakan buah dari kekufuran kita terhadap kenikmatan yang telah dilimpahkan tuhan kepada bangsa kita ? Jawaban yang pasti atas rentetan pertanyaan tersebut memang sulit dijawabnya mengingat kompleksitas etiologi yang menyebabkan timbulnya aneka permasalahan yang membelit kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian bangsa Indonesia akan bisa mengurai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut bila kita mau melakukan evaluasi diri untuk kemudian menemukan kesadaran diri sebagai bangsa yang berwibawa dan patut dihormati oleh bangsa-bangsa lain termasuk negara adi daya.
Oleh karena itu marilah momen hari kebangkitan nasional ini dijadikan titik pijakan untuk merenungkan dan kemudian berbuat untuk membenahi kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah porak poranda karena kebodohan emosional dan kebodohan spiritual kita sebagai bangsa.
Kecerdasan Emosional & Spiritual
Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang bersifat multidimensi diperlukan adanya ketajaman pikir dan nurani yang tinggi sehingga mampu melihat permasalahan tidak secara parsial dan perifer. Permasalahan bangsa harus dilihat secara holistik atau menyeluruh sehingga akan terungkap keterkaitan atau interkoneksi antara satu permasalahan dengan permasalahan yang lain. Untuk mencapai tahapan tersebut hanya dimungkinkan bila bangsa Indonesia memiliki tingkat kecerdasan emosional (emotional intelegence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelegence) yang tinggi. Dengan kecerdasan emosional dan kecerdsan spiritual ini manusia akan berorientasi secara postif dan konstruktif dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. Orientasi pemecahan persoalan dengan model pendekatan kecerdasan emosional-spritual tidak hanya pada landasan logika semata, karena memang tidak semua permasalahan dapat dianalisa secara logika intelektual. Banyak sisi-sisi persoalan kehidupan bangsa yang harus diselesaikan dengan pendekatan logika nurani dan spiritual. Bahkan konon menurut Daniel Goldman (1998) kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang sebesar 20% atas kepiawian seseorang dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan, 80 % lainnya disumbangakn oleh faktor kecerdasan emosi dan spiritual, dengan demikian maka keunggulan hati (heart) selangkah lebih cerdas daripada keunggulan kepala (head) dalam meratifikasi persoalan-persoalan kehidupan bangsa.
Kecerdasan emosional mencakup aspek kontrol diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan untuk memotivasi diri agar menjadi lebih baik. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan, memahami dan secara ktif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi merupakan persyaratan dasar untuk dapat menggunakan intelegensi secara efektif. Kecerdasan emosional akan menuntun kita untuk berfikir asosiatif yang terbentuk oleh kebiasaan dan memampukan seseorang untuk dapat mengenali pola-pola emosi. Sedangkan kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk berfikir secara kreatif, berwawasan jauh dan bahkan akan menuntun seseorang untuk berani mengubah aturan yang dianggap telah keluar dari nilai-nilai illahiyah dan nilai-nilai humanitas.
Danah Zohar dan Ian Marshal (1999) memberikan batasan tentang kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang terkait dengan persoalan makna dan nilai. Apabila dikaitkan dengan teori chaos, maka saat ini bangsa Indonesia sedang berada pada titik ‘ujung’, yaitu titik pertemuan antara tatanan dan kekacauan. Antara yang diketahui dan yang tidak diketahui. Untuk itulah diharapkan kita memiliki kemampuan untuk dapat membaca makna dan nilai yang terkandung dalam setiap persoalan bangsa.
Untuk mencapai pada tataran kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi maka ketrampilan emosional dan spiritual tersebut harus dilatihkan pada anak-anak kita sejak usia dini dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengaktulisasikan potensi intelektuil yang telah dimiliki anak secara genetis, baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan natural.
Kecerdasan spiritual tidak mempunyai hubungan yang liner dengan masalah kehidupan beragama. Kecerdasan spiritual tidak sama dengan kualitas kehidupan beragama dan tidak harus dihubung-hubungakn dengan masalah perilaku keagamaan. Namun demikian penguasaan dan kualitas yang baik dalam kehidupan beragama akan sangat membantu dalam mempermudah meningkatkan kecerdasan spiritual, sehingga individu dapat menangkap makna dan nilai kehidupan dengan lebih baik.
Tanda-tanda kecerdasan emosional-spiritual yang telah berkembang dengan baik diantaranya adalah adanya kemampuan untuk bersikap fleksibel dan tidak panik dalam menghadapi kegentingan dan kegawat daruratan. Mampu dan dapat memanfaatkan penderitaan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, terbentuknya kualitas hidup yang dililhami oleh visi dan nilai, mampu melihat keterkaitan pada berbagai persoalan dan memiliki kemampuan untuk bekerja mandiri. Memiliki kecenderungan bertanya “mengapa atau “bagaimana jika ’ dalam mencari jawaban pada hal-hal yang sifatnya mendasar
Semoga momentum peringatan hari kebangkitan nasional 2006 dapat menjadi titik awal pembangunan kesadaran sebagai bangsa yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual sehingga kita tidak tergopoh-gopoh dan panik ketika harus menghadapi rentetan persoalan kehidupan. Bangkit dan raih kembali kejayaan bangsa kita. Ayo kita bisa !!! Wallahu a’lam bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar