Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei tahun ini mengambil tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Sebuah tema strategis yang memang amat kontekstual dengan situasi kekinian yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan akhlak dan budi pekerti. Degradasi moral dan involusi budaya telah menjadi fenomena rutin yang makin menenggelamkan kemuliaan dan martabat bangsa. Perilaku kekerasan, vandalisme, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan tak jarang ditempuh dengan cara-cara curang ala Machiavelli, bahkan jika perlu menggunakan ilmu permalingan dan berselingkuh dengan dunia klenik dan mistik. Tak ayal lagi, negeri ini tak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada. Dalam situasi demikian, bangsa dan negeri yang besar ini perlu diingatkan kembali pada nilai-nilai genuine yang secara historis telah membuat kesejatian diri bangsa menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud untuk tenggelam ke dalam romantisme masa silam, yang jelas bangsa kita perlu belajar pada nilai-nilai kearifan lokal masa silam
sebagai basis perilaku untuk memasuki pusaran arus global yang makin rumit dan kompleks sehingga bangsa kita sanggup menjadi bangsa yang maju dan modern tanpa harus kehilangan pijakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Negeri kepulauan yang memiliki kemajemukan dalam soal etnis, bahasa, budaya, ras, dan berbagai kekuatan primordial lainnya itu sejatinya bisa membangun sebuah kesenyawaan peradaban yang menggambarkan mosaik keindonesiaan yang toleran, demokratis, bermartabat, berbudaya, dan beradab.
Namun, secara jujur mesti diakui, 65 tahun hidup merdeka, bangsa kita justru kian tenggelam dalam cengkeraman budaya pragmatis, instan, dan bar-bar, yang dinilai telah gagal memerdekakan manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Di tengah capaian pembangunan yang demikian pesat secara lahiriah, rohaniah bangsa kita justru kering-kerontang; tak sanggup membebaskan diri dari ketertindasan dan kesewenang-wenangan. Merebaknya perilaku tak beradab, seperti korupsi, penggusuran, main hakim sendiri, dan berbagai aksi kekerasan lainnya bisa menjadi bukti bahwa bangsa kita belum sepenuhnya bisa hidup merdeka. Pekik “merdeka!” hanya lantang diucapkan di atas mimbar dan podium orasi. Realitas yang terjadi justru sebaliknya. Masih banyak warga bangsa yang harus mengais rezeki dari tong-tong sampah, tidur di emper-emper toko, dan harus main kucing-kucingan dengan Satpol PP ketika mereka mencari peruntungan di trotoar atau alun-alun kota. Dengan dalih menjaga ketertiban dan kenyamanan kota, elite negeri ini rela berbuat biadab terhadap sesamanya dengan menggusur dan menistakan rakyat kecil yang hidup susah dan terlunta-lunta.
Merebaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme di atas panggung sosial negeri ini sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari karakteristik kekuasaan yang (nyaris) tak pernah berpihak kepada “wong cilik”. Hukum hanya menjadi milik mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. Melalui “hamba-hamba” hukum yang bisa mereka ajak untuk berselingkuh dan kongkalingkong, mereka bisa dengan mudah melakukan rekayasa kasus agar perilaku korup dan jahat yang mereka lakukan tak tersentuh oleh hukum. Sebaliknya, rakyat kecil yang tak berdaya bisa dengan mudah diperdayai dan dijebloskan ke penjara hanya karena maling coklat, kapuk randu, atau semangka, yang hanya sekadar dijadikan sebagai alat pengganjal perut. Akumulasi kekecewaan dan rasa tidak puas terhadap karakteristik kekuasaan yang semacam itu, disadari atau tidak, telah menumbuhkan semangat kolektif untuk melakukan “perlawanan” dengan melakukan aksi-aksi jalanan yang tak jarang menimbulkan situasi chaos dan berdarah-darah.
Di tengah situasi masyarakat yang chaos dan berdarah-darah semacam itu, pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan tak hanya dituntut untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, sehingga keluaran pendidikan benar-benar menjadi sosok yang “utuh” dan “paripurna”; menjadi pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.
Setidaknya, ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu segera diagendakan agar pendidikan karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke dalam institusi pendidikan kita. Pertama, membangun keteladanan elite bangsa. Sudah bertahun-tahun lamanya, semenjak rezim Orba berkuasa, negeri ini telah kehilangan sosok negarawan yang bisa menjadi teladan dan anutan sosial dalam perilaku hidup sehari-hari. Kaum elite kita, diakui atau tidak, hanya pintar ngomong di atas mimbar pidato, tetapi implementasi tindakannya ibarat “jauh panggang dari api”. Mereka ngomong “berantas korupsi dan mafia hukum”, tetapi realitas yang terjadi justru proses pembiaran terhadap perilaku-perilaku jahat dan korup. Mereka berteriak “membela wong cilik”, tetapi kenyataan yang terjadi justru peminggiran peran dan penggusuran rakyat kecil di mana-mana. Insitusi pendidikan tak akan banyak maknanya apabila kaum elite kita hanya berada “di atas menara gading kekuasaan”, miskin keteladanan, dan hanya sibuk bermain akrobat untuk mempertahankan kekuasaan semata.
Kedua, memberdayakan guru. Secara jujur harus diakui, profesi guru, semenjak disahkannya UU Guru dan Dosen, menjadi lebih “bergengsi” dan bermartabat. Setidak-tidaknya, guru yang dinyatakan sudah lulus sertifikasi sudah bisa menikmati tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sesungguhnya bukan hanya semata-mata tingkat kesejahteraan yang dibutuhkan guru, melainkan juga pemberdayaan dari ranah kompetensi yang selama ini masih menyisakan tanda tanya. Empat kompetensi –profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial– yang menjadi syarat wajib bagi guru profesional belum sepenuhnya bisa diimplementasikan dalam perilaku dan kinerja guru sehari-hari. Belum lagi persoalan perlindungan dan advokasi terhadap kinerja guru yang dianggap masih lemah, sehingga guru belum sepenuhnya mampu menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Yang tidak kalah penting, guru juga perlu terus diberdayakan dalam soal pengembangan pendidikan karakter lintas-mata pelajaran. Artinya, pendidikan karakter bukan hanya semata-mata menjadi tanggung jawab guru PKn atau Agama saja, melainkan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kinerja guru secara menyeluruh dan terpadu.
Ketiga, dukungan lingkungan sosial, kultural, dan religi terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Di tengah situasi peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, institusi pendidikan tak bisa sepenuhnya “otonom” dan berjalan sendiri tanpa “intervensi” lingkungan. Segenap elemen bangsa, mulai tokoh masyarakat, agama, hingga media, perlu memberikan dukungan penuh dan optimal terhadap implementasi pendidikan karakter. Media televisi yang selama ini telah menjadi “tuhan” baru di kalangan anak-anak dan remaja perlu menjalankan fungsinya sebagai pencerah peradaban dengan memberikan suguhan dan tayangan yang edukatif. Jangan sampai anak-anak yang tengah “memburu jati diri” dicekoki dengan tayangan sinetron mistik atau entertaintment yang serba glamor, hingga membuat anak-anak bangsa di negeri ini makin kehilangan pegangan dan basis pendidikan karakter dalam hidup dan kehidupannya.
Nah, selamat memeringati Hardiknas 2010, semoga pendidikan karakter yang menjadi tema dan narasi besar tahun ini tak hanya mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar