Minggu, 23 Mei 2010
ATRIBUSI : Memahami Penyebab Perilaku Orang lain
Hal hal yang kita bicarakan pada pembahasan terdahulu (baca : sub bab :Persepsi Sosial) adalah hal-hal yang terkait dengan bagaimana kita membentuk kesan atas kehadiran orang lain secara dangkal. Dalam kehidupan kita sehari hari kita tidak hanya berhungan dengan kesan skilas di saat kita berjumpa dengan orang. Kita ingin sekali memahami perilaku orang lain sevcara mendalam, kenapa orang berperilaku dengan cara atau hasil tertentu. Upaya untuk memahami penyebab ini sangat terkait dengan proses Atribusi.
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Fritz Haider (1925). Menurut Haider, setiap individu pada dasarnya adalah seorang ilmuwan semu (pseudo scientist). Yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk mencari sebab kenapa seseorang berbuat dengan cara-caratertentu. Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian. Dua focus perhatian di dalam mencari penyebab suatu kejadian, yakni sesuatu didalam diri atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut mlakukan pencurian karena sifat dirinya yang memang suka mencuri, ataukah karena factor diluar dirinya, dia mencuri karenadipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya yang sakit keras. Bila kita (individu) melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan karena sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita (individu) tersebut melakukan atribusi internal (internal attribution). Tetapi jika kita (individu) melihat atau menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan situasi tertentu (misalnya mencuri untuk beli obat) maka kita melakukan atribusi ekternal (external attribution)
Proses atribusi telah menarikperhatian para pakar psikologi sosia dan telah menjadi objek penelitian yang cukup intensif dalam beberapa decade terakhir. Cikal bakal teori atribusi berkembang dari tulisan fritz Heider ( 1958) yang berjudul “Psychology of Interpersonal relations”Dalam tulisan tersebut Heidr menggambarkan apa yang disebutnya “naïve theory of action” , yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang untuk menafsirkan, menjelaskan dan meramalkan tingkah laku seseorang. Dalam kerangka kerja ini , konsep intensional (seperti keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba dan tujuan) memainkan peran penting.
Menurut Heider ada dua sumber atribusi terhadap tingkah laku : (1). Atribusi internal atau atribusi disposisional (2): atribusi ekternal atau atribusi mlingkungan. Pada tribusi internal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi (unsure psikologis yang mendahului tingkah laku). Pada atribusi ekternal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi tempat atau lingkungan orang itu berada.
Dua teori yang paling menojol dari segi konsep dan penelitian akan dibicarakan dalam sub-suba bab berikut ini, yaitu teori inferensi terlait (correspondence inference) dari Jones dan Davis (19650 dan teori ko-variasi Kelley (kelly’s covarioance Theory) yang dirumuskan oleh Harlod Kelly (1972).
Teori Inferensi Terkait (correspondence inference thepry)
Analisa tentang bagaimana orang menyimpulkan disposisi dari tingkah laku dilakukan oleh Jones and Davis (1965). Mereka melihat putusan-putusan dari intensi sebagai syarat dari putusan-putusan tentang disposisi. Akan tetapi studi lebih diarahkan kepada factor disposisional pada kajian selanjutnya.
Teori ini dikembangkan oleh Jones and Davies bermula dari asumsi bahwa seseorang mengobservasi perilaku orang lain dankemudian menarik kesimpulan tentang disposisi 9ciri-ciri sifat) kepribadian orang yang diamati tersebut.. Dengan kata lainteori inferensi terkait ini menjelaskan tentang bagaimana kita menarik kesimpulan temntang orang lain melalu observasi atau pengamatan terhadap orang lain tersebut. Sifat kepribadian tersebut (disposisi) inipun diasumsikankehadiran/keberadaannya stabil pada diri orang itu dan berlaku dari satu situasi ke situasi lainnya
Ada beberapa factor yang dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan tentang apakah suatu perbuatan disebabkan oleh sifat kepribadian ataukah disebabkan oleh tekanan situasi.. bila factor-faktor berikut ini hadir( ada) disaat seseorang melakukan perbuatan atau tindakan, maka dapat dipastikan perbuatan/tindakan tersebut disebabkan karena factor sifat-sifat kepribadian (disposisi) orang tersebut. Apa sajakah ketiga factor tersebut ?
1. Non Common Effect (tindakan yang tidak umum/ora sak umume uwong)
2. freely chosen act ( tindakan atas pilihan sendiri)
3. Low social desirability (tindakan yang menyimpang kebiasaan)
Penjelasan
1. Non common effect
Apa yang dimaksud dengan non-common effect (hal-hal yang memberi dampak yang kurang umum), yaitu situasi dimana penyebab dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh kebanyakan orang pada umumnya. Sebagai contoh misalnya , jika anda seorang pria memutuskan untuk menikahi seorang gadis yang cantik berusia masih muda dan berbudi pekerti luhur, maka dlam hal ini tidak ada hal-hal umum yang anda langgar. Artinya anda melakukan suatu hal yang lazim dan disukai umum. Sangat sulit bagi kita untuk mengatakan pilihan anda menikahi gadis tersebut karena sifat keribadian pria tersebut. Pria pada umumnya akan mau dan dengan senang hati menikahi gadis yang memiliki cirri-ciri demikian. Tetapi kalau seandainya seorang pria menikahi wanita pintet, kaya, tua dan buruk rupanya (tidak cantik), orang akan segera saja menyimpulkan bahwa pria itu memiliki sifat-sifat kepribadian yang materialistic (menyukai kekayaan si wanita). Kenapa demikian ? Karena biasanya pria tidak menyukai wanita tua yang rupanya jelak untuk dijadikan istri. Sifat-sifat yang tidak umum ini (tua dan jelek) inilah yang disebut non-common effect
2. Freely Chosen act
Dalam kehidupan keseharian kita, kadang kita menyaksikan banyak orang yang berbuat atau bertindak tidak atas keputusannya sendiri, tidak sedikit orang yang bertindak atau berbuat karena desakan atau paksaan situasi. Sebagai contoh misalnya dalam kisah cinta siti nurbaya seorang wanita muda harus menikah dengan Datuk maringgih, seorang duda tua yang kaya raya. Nurbaya menikah karena dipaksa oleh orang tuanya demi melunasi hutang-hutangnya. Dalam kasus ini sangat sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa Nurbaya adalah perempuan yang materialistic yang hanya mengejar harta benda sang datuk. Tetapi mjika Nurbayasendiri yang iningin menikah dengan duda tersebut sedangkan orang tuanya tidak menyarankan atau bahkan mungkin melarangnya, maka dengan mudah kita menarik kesimpulan bahwa wanita itu materilistik. Tindakan untuk menikah dengan datuk maringgih adalah tindakan yang dilakukan atas pilihan sendiri, bukan karena tekanan situasi..
3. Low Social desirability (tindakan atau perbuatan yang menyimpang kebiasaan)
Suatu ketika kita melihat seseorang berperilaku aneh, tidak wajar dan tidak sebagaimana mestinya. Dengan kata lain tindakan atau perbuatannya itu menyimpang dari kebiasaan umum. Misalnya ketika seseorang menghadiri upacara kematian (layat/takziyah-jw) semestinya orang tersebut harus menujukkan wajah sedih dan berempati atas kematian anggota keluarga si tuan rumah. Jika seseorang menujukkan ekpresi demikian akan sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa seseorang tadi kepribadiannya penuh empati dan simpati. Mengapa demikian ? karena dalam situasi layatan setiap orang dituntut untuk berbuat demikian. Tetapi kalau seseorang dalam layatan tersebut lalau menujukkan kegembiraan dengan tertawa-tawa, bahkan terbahak-bahak di saat orang lain susah maka dalam situasi ini akan mudah bagi kita untuk menarik kesimpulan bahwa kepribadian orang tersebut tidak beres. Kita akan dengan mudah menarik kesimpulan bahwa seseorang memiliki sifat keribadian tertentu bila dia berbuat menyimpang dari kebiasaan umum.
Teori ko-variasi Kelley (kelley’s covariation theory)
Harlod Kelley dalam teoriny menjelaskan tentang bagaimana orang menarik kesimpulan tentang “apa yang menjadi sebab” apa yang menjadi dasar seseorang melakukan suatu perbuatan atau memutuskan untuk berbuat dengan cara-cara tertentu. Menurut Kelley ada tiga factor yang menjadi dasar pertimbangan orang untuk menarik kesimpulan apakah suatu perbuatan atau tindakan itu disebabkan oleh sifat dari dalam diri (disposisi) ataukah disebabkan oleh factor di luar diri. Ketiga factor dasar pertimbangan tersebut adalah :
1. Concensus
Konsensus adalah situasi yang membedakan perilaku seseorang dengan perilaku orang lainnya dalam menghadapi situasi yang sama. Bila seseorang berperilaku sama dengan kebanyakan orang lain, maka perilaku orang tersebut memiliki konsesnsus yang tinggi. Tetapi bila perilaku seseorang tersebut berbeda dengan perilaku kebanyakan orang maka berarti perilaku tersebut memiliki consensus yang rendah. Misalkan saja “pak amin adalah penyuka laweakan yang dimainkan oleh group lawakan Srimulat. Setiap menonton pertunjukan srimulat pak amin selalu tertawa terpingkal-pingkel dan orang-orang lain pun juga tertawa juga.. Dalam contoh ini dpat kita katakana bahwa perilaku pak amin dalam hal tertawa menonton lawakan srimulat berkonsensus tinggi (high concensus). Tetapi bila bila hanya pak amin saja yang tertawa sedangkan orang lain cuma mesam mesem saja alias tidak tertawa, maka perilaku pak amin tersebut memiliki consensus yang rendah.
2. Consistency
Konsistensi adalah suatu kondisi yang menujukkan sejauh mana perilaku seseorang konsisten (ajeg) dari satu situasike situasi yang lain. Dalam contoh di atas, jika pak amin selalu tertawa menonton srimulat pada hari ini atau hari yang lain atau kapanpun pak Amin menonton srimulat selalu tertawa, maka perilaku pak Amin tersebut memiliki konsistensi yang tinggi (high consistency). Semakin konsisten perilaku seseorang dari hari ke hari maka semakin tinggi konsistensi perilaku orang tersebut.
3. Distinctivenss (Keunikan)
Keunikan menujukkan sejauhmana seseorang bereaksi dengan cara yang sama terhadap stimulus atau peristiwa yang berbeda. Dalam contoh di atas, kalau pak Amin tertawa menonton lawakan srimulat, juga tertawa menonton lawakan lainnya (lawakan tukul arwana, ektra vaganza dll) maka dapat dikatakan perilaku pak amin memiliki keunikan yang rendah (low distinctiveness) tetapi kalau pak amin hanya tertawa ketika menonton lawakan srimulat sedangkan terhadapan lawakan lainnya pak amin tidak tertawa, maka perilaku pak amin memiliki keunikan tinggi (high distictiveness). Mengapa demikian ? karena pak amin konsisten hanya tertawa pada srimulat kepada lawakanlainnya meski juga lucune puoool, pak amin tidak tertawa, Cuma mesam mesem…uniq khan .
Kovariasi antar ke tiga factor di atas akan menentukan apakah perilaku seseorang akan diatribusikan sebagai atribusi internal (disebabkan oleh factor dari dalam diri, yakni sifat/dispoisi kepribadian) ataukah disebabkan factor di luar diri atau factor situasi.
Perilaku akan diatribusikan sebagai atribusi internal bila perilaku tersebut memiliki consensus yang rendah, konsistensi tinggi dan keunikan yang rendah. Coba anda perhatikan situasi berikut ini : saya tertawa menonton lawakan srimulat, orang lain tidak tertawa menonton srimulat (konsesnsus rendah). Saya selalu tertawa kapan saja saya menonton srimulat (kosistensi tinggi), dan saya selalu tertawa menonton pertunjukan lawak, tidak hanya srimulat tetapi juga kelompok dagelan lainnya (keunikan rendah). Menurut anda apa sebab saya tertawa. Apakah hal itu lebih disebabkan oleh karena sifat diri saya yang suka dengan lawak, atau karena srimulat yang membuat saya tertawa karena kecanggihan kemapuan srimulat dalam membuat saya tertawa. Tentu saja anda mengatakan karena saya seorang yang suka lawakan, bukan karena kecanggihan kemampuan srimulat dalam membuat saya tertawa. Saya akan tertawa menonton lawakan apa saja, tidak hanya srimulat. Jadi kesimpulannya pada situasi demikian orang akan mengatribusikan penyebab perilaku pada diri saya (atribusi internal)
Dalam situasi bagaimanakah orang akan mengatribusikan penyebab perilaku ke situasi di luar diri (atribusi ekternal). Yaitu bila perilaku ditandai dengan konsesus yang tinggi, konsistensi yang tinggi dan keunikan yang tinggi. Coba kita lihat situasi berikut ini. Saya tertawa menonton srimulat dan orang lain juga tertawa (konsesnsus tinggi), saya selalu tertawa menonton srimulat kapan saja (konsistensi tinggi), saya hanya tertawa menonton srimulat, sedangkan pada lawakanyang lain saya Cuma mesam mesem saja alias tidak tertawa ( keunikan tinggi).
Pada ilustrasi tadi, kira-kira apakah penyebab saya tertawa, apakah karena saya tipe orang yang suka tertawa, ataukah karena memang srimulatnya yang lucu. Dalam situasi demikian ini orang atau anda cenderung untuk mengatakan srimulatlah yang membuat saya tertawa, karena saya tidak tertawa menonton lawakan yang lainnya (atribusi ekternal).
(naskah/ artikel selanjutnya berjudul. Teori kerpibadian tersirat dan Bias-Bias dalam persepsi social)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar