Kamis, 21 April 2011
THE DIFFRENCES OF THE RELIGIOUS ORIENTATION VIEWED FROM THE EDUCATIONAL INSTITUTION
THE DIFFRENCES OF THE RELIGIOUS ORIENTATION VIEWED FROM THE EDUCATIONAL INSTITUTION
Soleh Amini Yahman
ABSTARCT
In the late of twentieth century, the issues of the improvement of the human resources quality become very important to be implemented in the life of society, and nation. What the quality of human resource means is the quality of knowledge, faith and obedience. One of the efforts which is carried out for the improvement of the human resource quality is the empowerment of the educational institutions, especially the public religiously educational institutions.
The aim of the research was to determine the differences of the religious orientation among the students of the Islamic boarding school, the students of the state Islamic high school and the students of the private Islamic high school.
The number of the research subjects were 528 students consisting of the students from the three educational institutions. The subjects were female and male students of 16 to 22 of age. The purposive random sampling technique was used to select the subjects
The data collection was carried out by using the orientation scale of religion. The arrangement of the scale was based on the assessment of Hunt and King (1977) toward the Intrinsic-Extrinsic Scale of Allport-Feagin. The basic pattern of the measurement in the religious orientation scale follows the pattern of Likert scale method. The item validity coefficient of the scale ranged from 0,491 (the highest) and 0,172 (the lowest) and the reliability coefficient was 0,792.
The data analysis was carried out by using the quantitative technique of the non-parametric statistic namely one way anava Kruskal-Wallis. It was found that the was a significant differences in religious orientation among the students of the Islamic boarding school, the state Islamic high school, and the private Islamic high school. Based on the result of the research, the religious orientation of the students of the Islamic boarding school was very intrinsic, and the religious orientation of the students of the Islamic high school was very extrinsic. 96
The results of the research concluded that the educational institution gives contribution in forming the religious orientation of the students. However, the educational institution was not the only factor which influences the religious orientation of the students.
Key word: religious orientation, human resource, public religiously educational, intrinsic- extrinsic orientation.
Perbedaan Orientasi Keagamaan Ditinjau Dari
Institusi Pendidikan Islam
The Differences Of The Religious Orientation Viewed
From Islamic The Educational Institusional
Soleh Amini
Pengantar
Isu tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia pada akhir abad ke-20 menjadi sangat penting untuk segera diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kualitas sumber daya manusia yang dimaksudkan adalah kualitas dalam keilmuan, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang maha esa. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualaitas sumber daya manusia adalah dengan memberdayakan lembaga-lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan yang mempunyai latar belakang ilmu pengetahuan umum dan keagamaan sekaligus.
Sejalan dengan isu tersebut, dalam dekade tahun 90-an institusi atau lembaga-lembaga pendidikan keagamaan semacam pondok pesantren dan sekolah-sekolah umum yang berlatar belakang keagamaan mengalami booming. Dalam dekade tersebut terlihat adanya peningkatan antusiasme kalangan muda untuk belajar atau bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan agama atau di lembaga-lembaga pendidikan umum yang mempunyai latar belakang agama. Hal itu tampak dari maraknya kehidupan di berbagai pondok pesantren yang selama ini diidentikkan dengan kehidupan kaum tradisionalis masyarakat pinggiran.
Sejalan dengan meningkatnya ghiroh keagamaan tersebut, sejumlah pondok pesantren mulai membenahi diri menjadi lembaga pendidikan modern tanpa harus meninggalkan identitas kepesantrenannya, demikian pula dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam non pesantren. Dimulai dari titik ini, masyarakat dapat menyaksikan hadirnya sejumlah pondok pesantren modern dan sekolah-sekolah Islam swasta yang sangat diminati masyarakat untuk menuntut ilmu pengetahuan. Yang menjadi pertanyaan dari fenomena ini adalah apakah meningkatnya ghiroh keagamaan tersebut benar-benar karena timbulnya kesadaran keagamaan di kalangan generasi muda, atau sekedar trend saja, atau karena meningkatnya kecemasan manusia atas perkembangan dunia yang semakin modern dan industrialis.
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka perlu diketahui alam fikiran, aspirasi dan motive dari generasi orang tua santri atau siswa yang melarbelakangi perginya para pemuda untuk belajar atau memasuki pesantren dan lebih mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Dari sudut pandang ini, tampaknya masyarakat tertarik pada lembaga pesantren terutama karena pondok pesantren merupakan lembaga yang mendukung nilai-nilai agama, yang di kalangan masyarakat agraris terasa amat dibutuhkan untuk bisa mempertahankan hawa segar masyarakat pedusunan. Sedangkan pada masyarakat kota, kebutuhan akan agama nampaknya lebih banyak dilatarbelakngi oleh pandangan bahwa pergaulan hidup di kota-kota telah mengalami semacam polusi yang membahayakan perkembangan pribadi dan pendidikan anak-anak. Oleh karena itu banyak orang tua tertarik untuk menitipkan anak-anaknya kepada para kiai agar mendapatkan bimbingan hidup yang baik ( Rahardjo, 1995). Pada sebagian keluarga muslim ada semacam tradisi yang mencita-citakan salah seorang anaknya ada yang menjadi pengabdi dan penyiar agama. Atas dasar itulah keluarga kemudian mengirimkan anaknya ke pondok pesantren atau ke lembaga pendidikan agama lainnya untuk menuntut ilmu. Dengan memasuki lembaga pendidikan keagamaan pesantren maupun non pesantren, mereka akan memiliki nilai lebih (value added), yaitu mereka tidak saja memiliki kualifikasi di bidang intelektual tetapi juga spiritual keagamaan.
Pendidikan merupakan salah satu kunci pembangunan sumber daya manusia. Para pendidik, sosiolog dan ahli-ahli ilmu sosial lainnya sepakat bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penentu yang sangat penting dan strategis dalam menentukan eksistensi kehidupan suatu bangsa di hari-hari yang akan datang. Oleh kerena itu sangat tidak berlebihan bila pendidikan ditempatkan sebagai suatu human investement untuk melangsungkan pembangunan nasional dan tempat menyiapkan kader-kader pembangunan handal. Oleh karena itu dalam kontek ini pendidikan bukan sekedar merupakan proses pengajaran kognitif formalistik saja, tetapi juga merupakan proses mental yang berupaya mendesain anak didik menjadi sosok yang berkepribadian unggul. Selain berilmu mereka juga dididik untuk beriman, bertaqwa, berbudi pekerti luhur, berbudaya dan berwawasan kebangsaan. Dengan konsep pendidikan yang demikian ini maka tujuan pembangunan nasional akan terwujut dalam kehidupan bangsa Indonesia di masa kini dan masa depan. Adapun tujuan pembangunan nasional Indonesia pada pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua ini dititik beratkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ditunjang dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan kemajuan iptek. Untuk itu faktor manusia menjadi sasaran utama pembangunan nasional. Kualitas manusia Indonesia paling tidak harus meliputi kualitas kepribadian, kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang maha esa (Thoha, 1999)
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari persoalan dan masalah sumber daya manusia yang unggul ini. Menyadari hal tersebut maka pendidikan menjadi prioritas penting dalam perencanaan pembangunan nasional Indonesia. Di Indonesia pendidikan diposisikan sebagai suatu upaya untuk membentuk anak didik dalam perkembangannya menuju kedewasan jasmani dan rohani (Ludjito,1992). Kedewsaan jasmani yang dimaksudkan adalah pertumbuhan yang sehat secara maksimal. Sedangkan kedewasaan rohani adalah pertumbuhan rohani (mental development) yang mencakup aspek kognitif dan afektif, atau dalam istilah bahasa Indonesia cipta, karsa dan rasa. Pada sisi yang lain, pendidikan juga dipandang sebagai suatu proses pertumbuhan yang di dalamnya terjadi proses pemberian bantuan kepada individu unuk mengembangkan kekuatan, bakat, kemampuan serta minatnya. Dengan demikian pendidikan merupakan pemberian kesempatan kepada seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap aspek-aspek kehidupan modern, yaitu suatu pola kehidupan sosial yang menghormati nilai-nilai keterbukaan, individualitas dan progeresif berhadapan dengan pola kehidupan sosial tradisional (Iriani, 1992).
Di Indonesia, pendidikan agama telah lama mendapatkan perhatian dari para pemimpin dan pendiri negara. Pendidikan agama telah dimulai sebelum kemerdekkan Repubulik Indonesia diproklamasikan. Yaitu sejak terbentuknya panitia kecil bagian pendidikan dan pengajaran dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam salah satu rekomendasinya panitia tersebut menyebutkan bahwa pembangunan pendidikan dan pengajaran harus bersendikan pada nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa guna menuju arah keselamatan dan kebahagian masyarakat (Ludjito, 1992). Tekad ini sejalan dengan upaya para pejuang dan pemimpin umat Islam yang dengan berbagai rintangan dan ancaman penguasa penjajah Belanda, telah mendirikan berbagai lembaga pendidikan agama berupa pondok pesantren, madrasah dan berbagai bentuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi-organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Al-Washliyah dan sebagainya. Kehadiran-kehadiran lembaga-lembaga pendidikan ini merupakan pelopor dari pendidikan agama (Islam) di Indonesia yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pondok pesantren merupakan salah satu sistem pendidikan nasional (Suyoto, 1988).
Agama sebagai sesuatu yang bersifat universal, oleh para pemeluknya diakui sebagai way of life. Oleh karena itu para pemeluk agama selalu menempatkan pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai keagamaan pada posisi yang amat strategis dalam mengatur kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Bila asumsi di atas menilai bahwa pendidikan keagamaan yang berimtaq sebagai penentu segala-galanya bagi vested intersted manusia di dunia, maka pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai keagamaan tidak hanya dipandang sebagai sarana pemuas kebutuhan manusia yang hanya sesaat di dunia, melainkan menjangkau kepentingan manusia di masa depan. Dengan kata lain, pendidikan umum yang lepas dari orientasi nilai-nilai agama lebih berorientasi pada antroposentris, sedangkan pendidikan keagamaan lebih berorientasi pada nilai-nilai yang bersifat theocentris. Artinya pendidikan umum dengan latar belakang keagamaan (seperti sekolah-sekolah Islam swasta dan madrasah aliyah negeri), tidak akan kehilangan unsur pokok dalam kehidupan individu dan masyarakat, yaitu dimensi kerohanian dan spiritualitas (Langgulung, 1988)
Dalam kehidupan masyarakat dewasa ini timbul penilaian dan sikap kontroversial terhadap isu yang berkenaan dengan pendidikan Islam. Pertama, Penilaian dan sikap yang optimistik, yaitu suatu sikap yang banyak mengharap kahadiran lembaga pendidikan Islam dengan berbagai institusinya akan membawa pencerahan bagi peningkatan kualitas sumber daya umat ke arah yang lebih baik. Kedua, penilaian dan sikap yang pesimistik, yaitu suatu sikap yang kontra positip terhadap peranan yang diambil oleh pendidikan Islam dalam membangun peningkatan kualitas sumber daya umat.
Penilaian dan sikap yang pertama tadi terbukti dengan semakin kokohnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan umum keagamaan. Hal itu terbukti dari maraknya kegiatan proses belajar mengajar di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan Islam dan pondok pesantren, baik yang berada di kota-kota maupun di daerah pedesaan. Tingginya kepercayaan masyarakat tersebut disebabkan karena institusi pendidikan Islam model sekolah umum agama, baik yang ada di luar maupun di dalam pesantren tidak saja mengemban tugas mulia yang mencakup pengembangan aspek intelektual, kultural dan kemampuan fisik jasmaniah, melainkan juga mencakup dimensi nilai-nilai transedental dan pembinaan kepribadian manusia itu sendiri (Mudzahar, 1992). Dengan kata lain, citra yang dikembangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah untuk melahirkan insan-insan atau sumber daya manusia yang cerdas disertai sikap mental yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa.
Pada penilaian dan sikap yang kedua, yaitu sikap pesimistis terhadap pendidikan Islam, berpandangan bahwa pendidikan Islam saat ini telah kehilangan moral force dan elan vital serta ruh keislamannyanya. Hal tersebut terbukti adanya kecenderungan pendidikan Islam yang belakangan ini lebih berorientasi pada selera konsumen. Blue print atau cetak biru lembaga pendidikan Islam pun tidak lagi ditentukan oleh pengelolanya, yaitu umat Islam, melainkan terus menerus bergantung pada penentu lapangan kerja. Oleh Karena itu tidak heran bila banyak pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya yang berlomba-lomba membangun lembaganya dengan pendekatan modern dan cenderung meninggalkan nilai-nilai tradisional khas pesantren (Abdullah, 1996).
Berangkat dari kontroversi inilah penulis merasa perlu dan tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan orientasi keagamaan pada siswa-siswi atau santriwan dan santriwati yang menempuh pendidikan formalnya di lembaga- lembaga pendidikan keagamaan seperti pondok pesantren, sekolah Islam swasta dan madrasah aliyah negeri. Penelitian ini penulis beri judul “Perbedaan Orientasi Keagamaan Ditinjau Dari Institusi Pendidikan”.
Penulis mengakui, memang sulit untuk mengungkap secara tepat apakah ada hubungan atau pengaruh pendidikan agama di lembaga pendidikan terhadap jiwa keagamaan atau orientasi keagamaan para anak didik. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, sebagaimana di kutip Jallaludin dan Ramayulis (1993), diketemukan fakta bahwa pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keberagamaan (religious orientation) anak. Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak, namun demikian besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak didik untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan-kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Tujuan penelitian ini secara metodologis adalah untuk mengetahui perbedaan orientasi keagamaan antara siswa santri pondok pesantren, siswa madrasah aliyah negeri, siswa pada sekolah-sekolah umum yang berlatar belakang pendidikan agama Islam ( sekolah Islam swasta).
Secara praktis, penelitian ini akan memberikan kontribusi riil dalam pembangunan pola dasar pendidikan keagamaan pada sekolah umum. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk memberikan gambaran yang tepat tentang kondisi orientasi keberagamaan para siswa santri di pondok pesantren, madrasah aliyah negeri dan siswa pada sekolah-sekolah Islam swasta, sehingga nantinya dapat dibentuk suatu pola atau plat form pendidikan yang idial pada ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut, sehingga tujuan menciptakan sumber daya manusia yang beriptek, berimtaq, sehat jasmani rohani dapat terwujud.
Cara Penelitian
Subyek penelitian ini melibatkan 528 subyek yang terdiri atas siswa santri pondok pesantren, siswa madrasah aliyah negeri dan siswa sekolah Islam swasta. Subyek penelitian memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Beragama Islam, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, berusia antara 16 sampai 22 tahun, masih tercatat sebagai siswa atau santri aktif, dan khusus subyek yang berasal dari pondok pesantren disyaratkan pula harus tinggal di dalam pondok pesantren.
Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purpusive random sampling. Dengan teknik ini semua siswa atau santri yang memenuhi kriteria atau persyaratan yang telah ditetapkan akan memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadi subyek penelitian.
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan angket, yang penulis beri nama angket skala orientasi keagamaan. Angket skala orientasi keagamaan ini disusun berdasarkan penafsiran Hunt dan King (1977) terhadap Intrinsic-Extrinsic Scale dari Allport–Feagin. Skala ini tersusun atas aspek-aspek sebagai berikut : (a) personal vs institusional, (b) unselfish vs selfishness, (c) relevansi terhadap keseluruhan kehidupan, (d) Kepenuhan penghayatan keyakinan, (e) pokok vs instrumental (f) asosiasional vs komunal dan (g) keteraturan penjagaan perkembangan iman. Pola dasar pengukuran skala orientasi keagamaan ini mengikuti pola metode Likert, dimana dalam menjawab pernyataan-pernyataan dalam angket, subyek diberikan lima option pilihan jawaban dengan kategori jawaban sebagai berikut ; Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Aitem-aitem yang ada di dalam angket dibedakan dalam dua kategori, yaitu aitem favourable dan aitem unfavourable. Kriteria pemberian skor adalah sebagai berikut : untuk aitem intrinsik yang berfungsi sebagai aitem favourable, jawaban sangat setuju (SS) nilai 5, setuju (S) 4, tidak setuju (TS) 2 dan sangat tidak setuju (STS) 1. Sedangkan untuk aitem ektrinsik yang berfungsi sebagai aitem unfavourable, jawaban sangat setuju (SS) mendapat nilai 1, setuju (S) 2, tidak setuju (TS) 4 dan sangat tidak setuju (STS) 5. Jawaban netral atau tidak dapat menentukan jawaban pada aitem intrinsik maupun ektrinsik memperoleh nilai 3.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil analisis data diperoleh koefisien perbedaan sebesar 7,584 dengan P < 0,050. Hal ini menujukkan bahwa ada perbedan orientasi keagamaan yang signifikan antara siswa santri pondok pesantren , siswa madrasah aliyah negeri dan siswa pada sekolah Islam swasta. Dari skor rerata terlihat bahwa siswa santri pondok pesantren orientasi keagamaannya paling intrinsik, sedangkan siswa pada madrasah aliyah negeri orientasi keagamaannya paling ektrinsik.
Adanya perbedaan orientasi keagamaan antara ketiga institusi pendidikan tersebut menujukkan bahwa institusi pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan dalam pembentukan orientasi keagamaan sisiwa. Dengan kata lain orientasi keagamaan siswa sedikit banyak dibentuk oleh tempat di mana siswa memperoleh pendidikan dan pengajaran formal keagamaannya. Kenyataan ini memperkuat pendapat-pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa faktor institusi penyelenggara pendidikan akan memberikan corak atau turut mempengaruhi arah orientasi keagamaan siswa. Namun demikian, koefisien perbedaan yang hanya sebasar 7,584 tersebut mengindikasikan bahwa faktor institusi pendidikan agama bukan menjadi faktor tunggal atau faktor satu-satunya yang mempengaruhi orientasi keagamaan siswa. Faktor lain-lain tersebut bisa berupa pengaruh peer group, konsistensi pendidikan dan praktek keagamaan di dalam keluarga, keadaan sosial ekonomi keluarga.
Hasil penelitian ini secara lebih spesifik menunjukkan bahwa orientasi keagamaan pada siswa santri pondok pesantren paling intrinsik dibandingkan dengan dengan siswa madrasah aliyah negeri dan siswa pada sekolah Islam swasta. Keadaan ini bila dibahasakan secara verbal berarti pendidikan keagamaan yang dilaksanakan di pondok pesantren benar-benar intensif, dalam arti bukan sekedar merupakan proses pengajaran agama saja. Pendidikan keagamaan di pondok pesantren benar-benar merupakan usaha internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri para santrinya, sehingga terbentuk kepribadian utama, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai universalitas agama Islam. Artinya pendidikan keagamaan yang dilaksanakan di pondok pesantren tidak dibatasi oleh sekat-sekat aliran keagamaan atau sekte-sekte tertentu, misi dan visi organisasi tertentu, walaupun masing-masing pondok pesantren tersebut mempunyai nama dan konsep atau sistem pendidikan dan pengajaran yang berbeda-beda. Dengan demikian fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran agama masih tetap terjaga. Konsekwensi dari keadaan ini adalah tumbuhnya kesadaran dari para santri pondok pesantren, bahwa keberadaan dirinya di pondok pesantren bukan semata untuk dirinya saja melainkan lebih untuk kepentingan agamanya. Oleh karena itu para santri tidak termotivasi untuk menjadi ‘orang besar’ dengan memanfaatkan kehidupan agamanya. Dengan kesadaran ini maka santri pondok pesantren tidak pernah terjebak untuk memanfaatkan agama demi kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian para santri menujukkan motivasi yang besar pada pada kehidupan keagamaannya. Kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan agama dianggap kurang berarti dan sedapat mungkin diintegrasikan dalam keselarasan dengan ajaran-ajaran agamanya.
Sementara itu pendidikan dan pengajaran keagamaan pada institusi pendidikan Islam swasta selain mengemban visi dan misi untuk mengembangkan agama Islam juga mengemban misi untuk memakmurkan organisasi keagamaan yang dibinanya. Dengan demikian pendidikan keagamaan yang diselenggarakan pada institusi sekolah Islam swasta tidak bebas nilai. Sampai taraf tertentu institusi pendidikan Islam swasta ini bisa dikatakan telah memanfaatkan agama untuk kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya, sehingga orientasi keagaamaan yang terbentuk pada siswa siswinya tidak lagi bersifat murni, dalam arti tidak terlalu intrinsik jika dibandingkan dengan orientasi keagamaan para santri di pondok pesantren. Orientasi keagaman siswa sekolah Islam swasta bersifat lebih moderat dan lebih permisif . Hal ini lebih disebabkan karena pendidikan keagamaan yang diberikan kepada siswa siswinya sangat berbeda dengan yang diterima santri pondok pesantren. Perbedaan tersebut terutama terletak pada metode dan sistem pendidikan, kurikulum dan suasana kebathinan yang berkembang dalam institusi.
Kurikulum pendidikan keagamaan di sekolah Islam swasta lebih mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayan, di mana pelajaran agama hanya diberikan satu kali dalam satu minggu selama dua kali empat puluh lima menit. Keadaan demikian kiranya dapat dimaklumi, sebab tujuan utama pendidikan pada institusi pendidikan Islam swasta bukan untuk mencetak ahli-ahli agama Islam, tetapi berusaha untuk mengintegrasikan atau memadukan nilai-nilai pendidikan modern dengan nilai-nilai pendidikan agama. Dengan demikian institusi ini berharap out put-nya kelak dapat menjadi ‘orang besar’ yang mempunyai pengetahuan duniawiah sekaligus pengetahuan agama yang memadai, meskipun bukan ahli agama. Oleh karena itu kurikulum pendidikan di institusi ini tidak secara spesifik bertemakan hal-hal yang bersifat keagamaan, meskipun nama institusi pendidikan tersebut mencerminkan sebagai lembaga pendidikan berlatar belakang pendidikan agama Islam.
Dari penelitian ini diketahui pula bahwa pendidikan keagamaan model madrasah aliyah negeri, orientasi keagamaannya paling ektrinsik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keinginan institusi madrasah aliyah negeri untuk menyelenggarakan model pendidikan yang menyeimbangkan dan mengintergrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam kurang menunjukkan hasil yang memuaskan, meskipun tidak bisa dikatakan gagal total. Kegagalan ini mungkin sekali disebabkan oleh kurikulum pendidikan yang diterapkan, di mana pelajaran agama , menurut kurikulum tahun 1994 pelajaran agama diberikan kurang dari sepuluh persen dari total mata pelajaran yang ada. Padahal pada kurikulum 1984 pelajaran agama diberikan sebesar 30 persen. Muatan kurikulum non agama yang demikian besar ini membuat siswa madrasah aliyah negeri kurang mempunyai kesempatan untuk mendalami agamanya secara intensif sehingga kehidupan agama mereka menjadi sangat perifer atau dangkal (dalam kapasitas mereka sebagai siswa institusi pendidikan keagamaan), lebih-lebih bila institusi madrasah aliyah negeri tersebut tidak menyelenggarakan kegiatan ektra kurikuler keagamaan di luar jam-jam belajar di sekolah.
Terlepas dari masalah kurikulum dan sistem pembelajaran di madrasah aliyah negeri, rendahnya orientasi keagamaan siwa-siswi madrasah aliyah negeri dibanding dengan santri pondok pesantren dan sekolah Islam swasta ini, kemungkinan juga disebabkan oleh faktor motivasi awal yang melatarbelakangi keputusan calon siswa untuk belajar di madrasah aliyah negeri. Banyak calon siswa yang masuk madrasah aliyah negeri pengetahuan dasar keagamaannya sangat sedikit, sehingga mereka berharap setelah sekolah di madrasah aliyah negeri akan memperoleh ilmu agama dan sekaligus ilmu pengetahuan umum. Tetapi kenyataan yang diperoleh tidak seperti harapannya, mereka lebih banyak memperoleh pengetahuan umumnya dari pada ilmu-ilmu agamanya.
Madrasah aliyah negeri adalah lembaga pendidikan dengan status negeri. Artinya pengelolaan madrasah aliyah negeri berada di bawah yuridiksi kekuasaan pemerintah, yang dalam hal ini Departemen Agama RI. Dalam kultur dan persepsi orang Indonesia, status negeri adalah selalu menjadi yang nomor satu dan pilihan nomor satu pula. Sehingga sangat memungkinkan sekali para siswa memilih atau memasuki madrasah aliyah negeri karena statusnya yang negeri tersebut, bukan karena identitas keagamaannya. Jadi sangat beralasan sekali bila orientasi keagamaan siswa madrasah aliyah negeri lebih bersifat ektrinsik daripada santri pondok pesantren dan siswa sekolah Islam swasta.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa ada perbedaan orientasi keagamaan antara siswa santri pondok pesantren, siswa madrasah aliyah negeri dan siswa pada sekolah Islam swasta. Siswa santri pondok pesantren orientasi keagamaanya paling intrinsik dan siswa pada madrasah aliyah negeri orientasi keagamaannya paling ektrinsik.
Saran
1. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mensinergiskan metode, muatan kurikulum dan sistem belajar mengajar dari ketiga institusi pendidikan tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara memadukan kelebihan-kelebihan yang ada pada masing-masing lembaga pendidikan dan menjadikannya sebagai pola dasar pembinaan bersama. Dengan cara ini diharapkan terwujut satu pola tunggal pembinaan pendidikan keagamaan Islam di bawah satu departemen teknis saja, yaitu Departemen Agama. Bukan dua atau tiga departemen seperti yang terjadi selama ini.
2. Madrasah aliyah negeri perlu meningkatkan muatan pendidikan agama minimal mendekati 50 persen. Penambahan pelajaran ini tidak harus dilakukan dengan cara merubah kurikulum atau mengurangi jam-jam pelajaran non keagamaan. Sebab penambahan tersebut dapat dilakukan dengan menyelenggarakan kegiatan ektra kurikuler wajib. Misalnya kegiatan mentoring, kuliah subuh, halaqah, dan penugasan mandiri.
3. Pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan nasional harus segera mulai membuka diri terhadap perubahan dan modernisasi. Pondok pesantren harus mulai membuka diri agar tidak terjebak pada eklusifisme, sehingga bisa lebih berperan dalam menyelenggarakan pendidikan anak bangsa dengan efisien, dan profesional. Pendekatan sistem dan manajemen pendidikan yang cenderung masih mempertahankan idiologi tradisionalis di lingkungan pondok pesantren perlu lebih disesuaikan dengan perkembangan jaman, sehingga kesan ekslusif dapat dikurangi, sehingga pondok pesantren benar-benar dapat menjadi bagian dari masyarakat bangsa Indonesia, bukan hanya menjadi milik umat Islam semata. Di samping itu dasar yuridis atau dasar hukum penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren perlu segera dipertegas, misalnya mengacu pada Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1992 serta tata peraturan perundangan lain yang berlaku di Indonesia.
4. Kepada peneliti selanjutnya , agar diteliti lebih mendalam motivasi dasar yang melatarbelakangi masuknya siswa-siswi ke salah satu lembaga pendidikan tersebut. Juga perlu dikontrol faktor demografi dan geografi dari lembaga atau institusi pendidikan yang dijadikan kancah atau lokasi penelitian. Di samping itu kepada peneliti selanjutnya, penulis juga menyarankan agar dipertegas identifikasi dari pondok pesantren, karena ada kecenderungan dari masyarakat untuk memilahkan pondok pesantren menjadi pondok pesantren modern dan pondok pesantren tradisional.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar