Selasa, 05 April 2011
PROSTITUSI PENYAKIT MASYARAKAT KOTA Drs. Soleh Amini Yahman. MSi. Psi
Dis-kursus tentang masalah penyakit masyarakat (pekat) di kota Solo, khususnya yang menyangkut masalah pelacuran atau prostitusi, tampaknya tidak akan segera berhenti diwacanakan. Hal itu mengingat ‘prestasi’ aparat kepolisian dan aparat pamong praja dalam menangkap, menyisir dan mentipiringkan pelaku kejahatan sosial ini dalam beberapa waktu terakhir ini cukup membanggakan. Dalam sebulan terakhir ini berbagai koran dan media massa seperti tidak pernah kehabisan space untuk memberitakan sepak terjang aparat dalam mentertibkan pelaku-pelaku prostitusi di wilayah Solo Raya. Inti pemberitaan tersebut adalah menyangkut perilaku prostitute yang dilakukan oleh warga masyarakat dari berbagai golongan lapisan dan berbagai profesi.
“Prestasi” berbagai penangkapan dan pengungkapan perilaku tidak terpuji ini perlu kita apresiasi sebagai upaya polri bersama pemkot Surakarta untuk menekan perkembangan endemik penyakit masyarakat. Namun demikian orientasi kegiatan operasi ini masih berorientasi pada tataran kuantitatif dan normatif, belum pada tataran rehabilitasi dan pemberdayaan. Artinya gerakan operasional terhadap masalah penyakit masyarakat masih pada target menangkap sebanyak-benyaknya biang keladi pelaku kejahatan sosial ini. Masalah yang timbul sesudah itu tidak tahu akan dikelola dengan cara bagaimana. Oleh karena itu tidak mengherankan bila prostitusi di kota ini tetap berjalan terus, sementara operasi pekat oleh polri juga jalan terus.
Meskipun tidak menjadi headline, gencarnya pemberitaan tersebut dapat dijadikan indikator bahwa masalah prostitusi di wilayah surakarta dan sekitarnya telah mencapai garis merah yang membahayakan, sehingga perlu segara dikoreksi untuk mencegah perkembangan yang lebih meluas dan tidak menggangu kenyamanan kehidupan sosial masyarakat. Tulisan ini mencoba memahami permasalahan pelacuran dari perspektif perilaku sosial, tidak hanya melihat masalah prostitusi dari sisi diri pelacur (pelaku) itu sendiri. Mengapa pelacuran tetap ada, sementara gerakan penghancuran juga terus dilakukan.
Dosa Sosial
Meskipun prostitusi atau pelacuran merupakan masalah klasik, masalah kuno tetapi ternyata selalu menjadi aktual dalam perbincangan masyarakat. Walaupun menjadi masalah lama, ternyata penanggulangannya tidak pernah mengalami kemajuan. Tingkat pertumbuhannya bukan menujukkan kecenderungan yang menurun tetapi sebaliknya menujukkan kenaikan yang cukup memprihatinkan. Keprihatinan ini tentu saja bukan hanya karena prostitusi merupakan dosa pribadi para pelakunya, tetapi juga karena merupakan tabungan dosa sosial kita bersama. Untuk itu supaya bisa meneropong dengan pandangan jernih ke dalam kehidupan prostitusi ini kita dituntut mempunyai kemampuan untuk membebaskan diri dari segala prasangka. Sebab pandangan yang normatif hanya akan memburamkan kaca mata pandang kita dan bersikap menghukum.
Dengan titik pandang tanpa prasangka itulah perbincangan tentang dunia prostitusi akan menjadi lebih manusiawi. Artinya kita memandang mereka sebagai manusia sesama kita dan berada bersama-sama kita. Sebab tidak satupun wanita yang pernah bercita-cita menjadi pelacur ! Nasip dan perjalanan hiduplah yang akhirnya menjadikan mereka seorang pelacur.
Faktor Penyebab
Di Indonesia, prostitusi terjadi karena berbagai sebab dan menjelma dalam berbagai bentuk. Ada yang berakar pada masalah ekonomi dan kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya kesempatan kerja, bangkurutnya usaha di sektor pertanian, miskinnya nilai-nilai luhur dan norma kesusilaan yang absurd, gaya hidup masyarakat perkotaan yang permisif dan eksklusif, majunya perkembangan teknologi informasi dan media massa bahkan ada pelacuran yang berbungkus tradisi. Untuk yang disebut terakhir kita bisa mengambil contoh pelacuran yang berbungkus ziarah di Gunung Kemukus Sragen.
Disamping itu dalam permasalahan pelacuran ini tampaknya program keluarga berencana (KB) juga harus ikut dituding memberi andil. Pelaksanaan program KB, khususnya dalam pengadaan dan pendistribusian /penjualan alat kontrasepsi yang sembrono serta penyelewengan kode etik kedokteran dalam soal tindakan aborsi atau pengguguran kandungan adalah merupakan salah satu pintu masuk berkembangnya perilaku zina, perselingkuhan dan pelacuran. Lebih parah lagi ketika kondom yang semula ditujukan sebagai alat kontrasepsi KB justru dikampanyekan sebagai alat pencegah penularan penyakit kelamin menular !
Sebagai ilustrasi betapa hebatnya faktor penyebab jatuhnya pilihan pada profesi pelacur ini, Cahyo Purnomo (1984) melaporkan hasil penelitiannya di komplek Dolly Surabaya sebagai berikut : dari 48 responden yang diwawancarai 66% memilih bekerja sebagai pekerja seks karena alasana ekonomi. Dari jumlah tadi 19 orang menyatakan pekerjaannya cepat menghasilkan uang dan sisanya 13 orang mengaku tidak memiliki ketrampilan kerja lain. Kemudian 12,5 % karena alasan psikologis seperti patah hati, balas dendam dan dipaksa kawin. Sisanya 20,83% tidak tahu kalau dijebloskan ke dalam pekerjaan menjual kenikmatan bercinta. Sementara itu Soleh Amini Yahman (1999) dalam laporan studi kasus yang dilakukan di beberapa lokasi jalanan di kota Solo melaporkan, dari 12 WTS yang diwawancarai menemukan hampir 95% pekerja seks tersebut menjadi pelacur karena faktor kemisikinan ekonomi . Temuan lain dari studi kasus tadi juga memaparkan bahwa pelaku pelacuran sebenarnya mempunyai pemahaman yang cukup terhadap nilai-nilai moral dan etika. Mereka menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan dosa dan mengingkari nilai-nilai moral etika dan agama.
Boleh jadi paparan hasil dua penelitian tadi tampaknya sudah usang dan tidak up to date lagi untuk melihat persoalan yang sama di era tahun 2010 ini, namun demikian penulis masih berkeyakinan ada relevansi dari data lama tadi dengan kondisi prostitusi di masa kini. Kalau toh tidak, minimal informasi lama tersebut dapat dijadikan referensi sekunder bagi penelitian-penelitian di masa kini.
Tindakan Pemerintah
Terhadap permasalahan pelacuran ini, pemerintahan kota Solo sebenarnya sudah memberikan perhatian yang cukup proporsional melalui kantor dinas sosial dan kantor pemberdayaan perempuan, serta dinas kesehatan. Bentuk perhatian tersebut misalnya diwujudkan dalam kegiatan penyuluhan kesehatan, pelatihan dan pemberdayaan wanita di panti rehabilitasi Panti Karya Wanita Pajang. Di samping itu lembaga-lembaga swadaya masyarakat, seperti Yayasan Kakak, Spek-HAM, SARI dan yang lainya juga tidak sedikit memberikan partisipasi positip untuk mengurai masalah prostitusi di wilayah Surakarta ini. Semua bentuk kegiatan itu dimaksudkan untuk menekan agar pertumbuhan pelacuran tidak melaju seperti deret ukur. Tapi sayangnya oleh masyarakat, tanggung jawab tersebut tampaknya semata-mata hanya diletakkan pada pundak pemerintah dan segelintir LSM yang mempunyai kepedulian terhadap masalah penyakit esek-esek ini. Pelibatan peran aktif masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab kolektif relatif masih minim, sehingga usaha-usaha mulia tersebut akan menjadi sia-sia.
Sampai dengan titik ini maka masalah pelacuran bukanlah semata mata merupakan masalah sosial murni tapi sudah menjelma menjadi masalah sosial pathologis yang memerlukan terapi-terapi holistic, menyeluruh dan paripurna. Artinya model kurasi dan rehabilitasi terhadap permasalahan prostitusi/pelacuran tidak hanya dikenakan kepada diri pelaku prostitude (pelacur) saja , tetapi juga kepada pihak-pihak di luar diri pelacur itu. Di antaranya para oknum pemilik losmen/hotel, panti pijat, salon kecantikan, bar, karaoke atau tempat penginapan yang menyalahgunakan tempat usahanya untuk kegiatan prostitusi terselubung. Juga kepada petugas penyidik, penyuluh yang kadang-kadang suka mengambil keuntungan pribadi dibalik pelaksannan tugas-tugasnya. Tidak kalah penting untuk dilakukan tindakan juga kepada konsumen dan pengusaha (germo, ibu bapak asuh). Dengan model terapi holistik ini diharapkan akar permasalahan yang menghidupkan kegiatan prostitusi akan terkikis dan akhirnya mati, walau kelak di kemudian hari mungkin akan tumbuh dan hidup kembali, yaitu ketika kepedulian sosial masyarakat mulai lemah, ikatan silaturahmi mulai merenggang dan intimitas sosial individu mulai mengendor.
Akhirnya persoalan pun mudah diraba. Mampukah pemerintah dan masyarakat membangun sebuah semangat kebersamaan untuk mengobati atau setidak-tidaknya secara perlahan menyedikitkan dosa sosial ini. Perjuangan bersama terus dilakukan untuk menuju cita-cita normatif mewujutkan kota Solo yang bersih dari penyakit sosial menuju kota solo yang benar-benar “berseri’ bukan hanya tanpa korupsi tapi juga tanpa prostitusi. Untuk itu perlu adanya suatu forum yang berkarakter egaliter dengan melibatkan berbagai unsur dan elemen masyarakat guna merancang satu konsep dan platform bersama untuk pengendalian berbagai penyakit masyarakat di kota Solo ini. Elemen dan unsur masyarakat dalam forum itu tidak boleh mengedepankan egosime kelompok atau merasa lebih superior dari unsur lainnya. Kebersamaan dan kesetaraan adalah kata kunci untuk mengurai permasalahan ini. Persoalan yang terkait dengan merebaknya prostitusi di kota Solo ini jangan hanya dibebankan pada pihak polisi atau pemkot saja. Dalam pengendalian dan pentatalaksanaan kota Solo agar terbebas dari masalah prostitusi dalam segala bentuk perwujutannya maka, akademisi, usahawan, rohaniawan dan para pemegang stakeholder lainnya harus terlibat secara aktif partisipatif, tidak sekedar mendukung dalam arti kata dukungan pasif. Pemerintah Kota Solo harus mulai bersungguh-sungguh mencermati persoalan sosial ini, dengan memberikan perhatian terhadap ketercukupan fasilitas material maupun fasilitas non material, seperti penyediaan sumber daya manusia yang trampil dan mengerti persoalan, dan berakhlakul kharimah bukan sekedar sumber daya yang berotot kuat, berkumis lebat dan berani ngoprak-ngoprak preman bertampang sangar yang selama ini dikenal sebagai pelindung kebejatan dan kemungkaran semacam pelacuran dan teman-temanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar