Senin, 04 April 2011

IMPLIKASI PSIKOLOGIS TAYANGAN HOROR / MISTIS DIMEDIA MASSA TERHADAP PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN*

Drs. Soleh Amini Yahman. Psi. MSi.

PENDAHULUAN

Kemajuan teknologi informasi komunikasi, khususnya televisi , secara total telah merubah pola perilaku komunikasi sosial masyarakat, dari komunikasi sosial konvensional kepada bentuk komunikasi sosial yang modern. Selain daripada itu telivisi juga telah merubah format perilaku sosiokultural dan kehidupan psikologis masyarakat penontonnya. Salah satu dampak revolusi telivisi yang kini tengah berlangsung di Indonesia adalah terbentuknya pola perilaku yang serba cepat, ringkas, praktis dan juga efisien, sehingga cenderung melahirkan sikap hidup yang yang cenderung praktis, pragmatis, hedonis dan individualis. Dengan kata lain, revolusi telivisi di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosiopersonality (kepribadian sosial) dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, tidak bisa menaifkan efek positp dari proses revolusi telivisi tersebut, terutama efek penyebaran informasi dan perluasan wawasan masyarakat terhadap nilai-nilai sosial baru yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan hidup keluarga maupun masyarakat.


Indonesia sebagai bagian dari tata kehidupan dunia internasional , mau tidak mau harus menerima kenyataan dan membuka diri terhadap kemajuan teknologi informasi ini. Kehadiran puluhan Telivisi swasta tidak perlu membuat masyarakat menjadi panik dan over protektif terhadap perilaku menonton / membaca dari anak-anak kita. Sikap yang paling bijak adalah waspada dan sudi meluangkan waktu untuk berdialog dan menemani anak-anak kita diwaktu mereka menonton televisi. Disamping itu orang tua juga harus mau belajar dan memperluas wawasan (dengan membaca dan menonton) sehingga bisa mengimbangi pengetahuan global dari anak-anak kita, sehingga dialog bisa berjalan secara berimbang. Bahkan kalau perlu orang tua tidak perlu malu belajar dari anak-anak kita .
Indonesia sebagai bagian dari tata kehidupan dunia internasional, mau tidak mau harus menerima kenyataan hadirnya ‘kehidupan baru’ pada era teknologi informasi dan komunikasi ini. Sebagai negara yang menerapkan kebijakan “open sky polecy” atau kebijakan langit terbuka, kita harus siap menerima dan mengakses segala informasi, baik yang konstrukstif maupun destruktif , dari peralatan media massa kita, khususnya media telivisi, radio, koran majalah, film dan internet. Catatan kecil ini mencoba menyoroti dampak media informasi (khususnya televisi) dari sudut pandang psikologi , khususnya lagi masalah penayangan cerita horor/ mistis terhadap kesehatan jiwa dan perkembangan kepribadian anak.
Dunia Horor/Mistis di Televisi
Sejalan dengan ketatnya persaingan dunia telivisi swasta indonesia untuk memperebutkan penonton, maka pengelola stasiun telivisi berusaha sehebat mungkin untuk menyajikan tontonan yang sekiranya dapat menarik perhatian masyarakat pemirsa, tidak peduli apakah tontonan itu edukatif atau tidak edukatif. Salah satu tontotnan yang mereka persembahkan kepada penonton adalah tayangan yang berbau mistis, horor atau klenik yang dikemas dalam setting menegangkan, lucu, action, komedi atau drama. Hampir tidak ada stasiun televisi di indonesia yang tidak menayangkan tontonan berbau mistis kepada pemirsanya, kecuali metro tv.
Mengapa tayangan horor atau mistis itu menarik dan laku dijual ? mengapa tayangan itu begitu diminati oleh pemirsa TV dari segala segmen usia ? Dalam konsep psikologi, manusia adalah mahluk yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Terhadap hal-hal yang sifatnya tidak jelas, manusia terdorong untuk membuka ketidakjelasan tersebut menjadi hal yang jelas dan terbuka. Demikian pula halnya dengan dua goib, atau dunia mistis sebagai hal yang tidak jelas atau abstrak, manusia ingin membukanya sehingga rasa keingintahuannya terpuaskan. Oleh karena itu begitu ada sarana yang sekiranya dapat memuaskan rasa keingintahuannya tersebut maka dengan antusias mereka mencoba untuk mendapatkannya. Salah satu sarana yang diangap dapat memuaskan rasa keingintahuannya tersebut adalah tayangan horor melalui media telivisi.
Dalam psikologi dikenal istilah ‘adventure, yang artinya berpetualang, yaitu keberanian untuk melakukan tindakan atau perilaku yang mengandung resiko atau tantangan (chalance). Dengan berpetualang tersebut individu merasa dirinya hebat dapat menaklukkan tantangan atau menghadapi resiko, sehingga jiwanya merasa terpuaskan. Demikian pula halnya dengan menonton tayangan horor yang relatif menakutkan, secara psikologis dapat dipandang sebagai upaya untuk berpetualang . Orang sudah tahu bahwa tayangan horor adalah tayangan yang menakutkan. Normalnya orang berusaha menghindari hal-hal yang menakutkan, tapi dalam hal tayangan horor di TV ini orang justru berebut untuk menontonnya. Disinilah aspek berpetualang sedang dipraktekkan oleh individu penyuka tayangan horor.
Rasa takut, kadang memang diperlukan sebagai ajang katarsis , yaitu membersihkan hambatan, atau ketegangan. Katarsis ini berfungsi sebagai katup pengaman, yaitu cara untuk melampiaskan tekanan-tekanan emosi tertentu yang ingin dilampiaskan . Dalam hal menyukai tayangan horor ini, bisa jadi individu berusaha untuk melampiaskan ketegangan-ketegangan tertentu dengan membangun ketegangan-ketegangan baru dengan cara menonton tayangan horor yang menakutkan atau menyeramkan. .
Semua fenomena perilaku tersebut barangkali tidak terlalu menjadi masalah kalau yang melakukan adalah orang dewasa, dimana logika berfir dan kesadaran akalnya telah tersusun dengan lengkap dan sempurna. Masalah akan timbul bila fenomena perilaku tersebut di atas dilakukan oleh anak-anak yang belum mampu mempraktekkan cara berfikir abstrak. Apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar mereka tangkap sebagai hal yang kongkrit. Bila gejala ini yang terjadi terhadap tayangan horor di TV kita maka kita wajib untuk khawatir terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak-anak kita.
Implikasi Psikologis Tayangan Horor.
Bagi orang dewasa, tayangan horor bisa menjadi hiburan yang menegangkan, sekaligus mengasyikkan . Hal ini karena orang dewasa mempunyai kesadaran yang nyata bahwa apa yang mereka lihat hanyalah sebuah tontonan, bukan realita yang sebenarnya. Berbeda halnya dengan pemirsa anak-anak. Dalam mengkonsumsi sebuah tayangan di TV atau film, anak menganggap apa yang mereka lihat dan mereka dengar adalah sebuah realita. Akal pikir mereka belum dapat menangkap bahwa tayangan film adalah sebuah rekayasa elektronik dengan berbagai trik dan efek buatan sehingga tayangan tersebut seperti kejadian nyata dan benar-benar hidup. Disinilah pentingnya orang dewasa memberi penjelasan kepada anak anak ketika melihat sebuah tayangan TV, baik itu tayangan perang, drama maupun horor.
Horor atau mistis adalah sebuah misteri. Secara psikologis tayangan misteri akan membawa dampak negatif terhadap perkembangan kognisi dan afeksi anak, terutama dalam hal cara berfikir dan memecahkan masalah. Sebagai contoh dalam tayangan sinetron Bidadari (RCTI) anak / pemirsa dihadapkan pada ibu peri yang berhati baik dengan “ratu Ayu” yang berhati jahat. Ibu peri selalu memberi solusi kepada Lala yang sedang menghadapai masalah ( yang ditokohkan sebagai figur anak baik) hanya dengan mengibaskan sebatang tongkat kecil, dan semua beres. Cara seperti ini akan terinternalisasi dalam kehidupan anak sebagai penonton sehingga anak dalam menghadapi masalah sering menghayalkan kehadiran ibu peri untuk menolongnya. Dan ketika anak sakit hati atau dendam dengan temannya ia berkhayal untuk didatangi ratu ayu unruk memuaskan rasa dendam dan rasa sakit hatinya. Demikian pula sinetron Jin dan Jun, aladin, Tuyul dan mbak Yull. Semua menyajikan kemustahilan-kemustahilan yang akan membawa anak kepada pemikiran praktis dan memperlemah perjuangan anak dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya, sehingga anak menjadi irrasional dan berfikir instan. Kondisi ini akan berimplikasi pada terbentuknya kepribadian yang immature dan helpless (ketidak berdayaan)
Pada sisi yang lain tayangan Horor yang disajikan dengan kemasan menakutkan dan menegangkan seperti, Gentayanagn , Misteri Tengah Malam, Sinetron misteri, Dunia lain, dan lain lain, kalau sempat dilihat/ditonton oleh anak-anak maka akan membawa anak pada kehidupan yang menegangkan dan menakutkan sehingga anak akan selalu dihinggapi perasaan takut karena terbayang-bayang oleh isi tayangan horor yang dilihatnya. Implikasinya anak menjadi penakut menghadapi situasi-situasi tertentu , seperti waktu malam hari, sendirian di rumah, tidur sendiri di kamar dan lain-lain. Demikian juga anak akan terhinggapi mimpi-mimpi buruk dalam tidurnya sehingga bisa menyebabkan anak mengalami gangguan tidur.
Selain daripada itu tayangan horor yang disseting dalam situasi yang menegangkan/menakutkan akan membuat anak menjadi peribadi yang tergantung pada orang lain . Kebutuhan akan orang lain ini diperlukan karena anak butuh pelindung / teman dari kejadian yang menakutkan, yang barangkali terjadi sebagaimana yang pernah dia lihat di telelevisi. Oleh karena itu kemandirian anak bisa terhambat.

Penutup.
Impilkasi psikologis dari tayangan horor dalam tayangan telivisi terhadap perkembangan kepribadian anak, sebagaimana diuraikan dimuka dapat dieleminir dengan sikap yang bijaksana dari segenap komponen masyarakat, terutama orang tua dan guru. Orang tua bisa membuka dialog untuk mendiskusikan isi tayangan tersebut dengan menggunakan bahasa anak-anak. Sedangkan pihak pendidikan (sekolah bisa juga membuat diskusi kelompok kecil untuk melakukan sharing antar teman dan guru mengenai tayangan tayangan di televisi yang dilihatnya. Kita tiidak perlu panik dengan melarang anak-anak kita untuk menonton sebuah tayangan karena khawatir terhadap dampak negatif atau implikasi buruk dari tayangan tersebut. Yang perlu kita lakukan selaku orang tua adalah perduli dengan perilaku anak kita, yaitu meluangkan waktu untuk menemani anak-anak kita nononton TV. Sebab bagiamanpun juga tayangan telivisi adalah sebuah kebutuhan bagi anak-anak yang hidup dialam informasi dan komunikasi seperti sekarang ini. Larangan-larangan kepada anak-anak kita justru akan merangsang rasa keingintahuannya membesar. Biarkan anak hidup dengan dunianya, kita dampingi mereka , tanpa harus menjadikan kita sebagai badan sensor yang ektrim dan kaku. Demikian semoga bermanfaat.
Surakarta. 1 Maret 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar