Selasa, 05 April 2011
PENYAKIT MASYARAKAT PENDEKATAN KEPOLISIAN SAJA TIDAK CUKUP
Soleh Amini Yahman
Dalam satu dua bulan terakhir ini, khususnya menjelang masuknya bulan suci ramadhan 1431 H, Kepolisian wilayah Surakarta bersama segenap jajarannya giat dan aktif melakukan operasi terhadap penyakit masyarakat. Berbagai bentuk penyakit dan penyimpangan-penyimpangan sosial seperti pelacuran, perjudian, minuman keras, premanisme, pengamen jalanan, narkoba, bahkan pasangan selingkuh semua disikat habis tanpa ampun.
Terhadap kinerja kepolisian ini, masyarakat layak memberi acungan jempol. Tetapi akankah kinerja kepolisian ini memberi hasil yang optimal bila model pendekatannya hanya bertumpu pada model pendekatan kepolisian yang lebih menekankan pada pendekatan pembinaan kamtibmas dan hukum positip saja. Tulisan Ini mencoba membuka diskusi dan menawarkan model pendekatan “psikosocial holistic aprroach” dalam menangani dan meng-intervensi permasalahan penyakit sosial kemasyarakatan yang keberadaannya makin hari semakin merebak di kota Solo tercinta ini.
Interdisipliner lintas sektoral
Kompleksitas masalah-masalah sosial yang berkembang dalam masyarakat menuntut suatu pendekatan interdispliner dan lintas sektoral. Pendekatan ini perlu ditempuh mengingat bahwa etiologi munculnya masalah-masalah sosial itu bukanlah berangkat dari satu faktor tunggal . Artinya kejadian atau pemunculan suatu masalah sosial itu disebabkan oleh interplay multy factor. Berbagai faktor secara bersama sama dan saling terkait menyebabkan dan sekaligus menjadi penyebab dari suatau masalah sosial. Interkoneksi antar factor-factor ini mengakibatkan terjadinya akumulasi permasalahan, sehingga membentuk tumpukan permasalahan yang pada akhirnya berkembang menjadi penyakit masyarakat. Jadi masalah sosial disebabkan bukan oleh satu faktor tunggal. Oleh karena itu penanganan , pengkajian dan intervensi terhadap permasalahan sosial tidak bisa didekati hanya dari satu disiplin ilmu atau hanya dari satu sektor saja, melainkan harus menggunakan pendekatan yang bersifat interdisipliner dan lintas sektoral.
Proses pembelajaran terhadap pemunculan atau terjadinya permasalahan sosial harus dikaji secara holistik. Untuk itu diperlukan kekuatan sinergis dari berbagai kekuatan ilmu dan sektor. Egosime keilmuan harus mulai ditinggalkan diganti dengan pendekatan kolaboratif antar disiplin ilmu dan sektor sehingga tercipta kebersamaan dan analisis yang komprehensif dalam memotret dan mengatasi berbagai permasalahan sosio-kultural yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa.
Dalam perspektif akademik, ilmu-ilmu sosial yang paling dekat dan memiliki keterkaitan dengan kajian-kajian terhadap permasalahan sosial adalah ilmu sosiologi, antropologi dan psikologi sosial. Ketiga bidang ilmu ini dapat dikatakan sebagai ilmu dasar yang selalu diajarkan pada sekolah atau perkuliahan-perkuliahan bidang ilmu sosial. Ilmu-ilmu dimaksud dijadikan pijakan bagi para ahli dan pengambil keputusan untuk mengelola, menata dan “membudidayakan’ permasalahan yang ada sehingga permasalahan sosial tidak berkembang penjadi petaka sosial.
Dari paparan tersebut di atas maka berbagai lembaga masyarakat dan struktur sosial (pemerintah ormass, orpol, LSM dan sebagainya) harus membangun sinergi bersama untuk menangani masalah-masalah sosial yang hidup atau berkembang dalam kehidupan masyarakat. Mengapa harus demikian ? Karena permasalahan sosial itu terjadi karena tidak berfungsinya sistem dari lembaga-lembaga dan struktur sosial kemasyarakatan dalam memberdayakan (empowered) potensi masyarakat secara optimal. Ketidakoptimalan inilah yang menimbulkan frustrasi colectif sehingga terjadi anomitas sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Indikasi tersebut dapat dilihat dari menipisnya intimitas organik dalam relasi sosial. Keadaan ini ini membawa warga dalam perilaku yang individualistic, atomistic dan cenderung egoistic. Kondisi yang demikian ini sangat rentan menimbulkan letupan-lertupan sosial dan membiaknya penyakit sosial kemasyarakatan yang mengancam integritas sosial kemasyarakatan.
Dari sinilah social stakeholder perlu membangun sinergi positip, dengan sinergi ini potensi-potensi masyarakat yang masih berceceran dikumpulkan untuk mebentuk potensi baru sehingga menjadi lebih berdayaguna dalam melakukan perlawanan terhadap berbagai masalah sosial.
Masalah Sosial ?
Secara definitip masalah sosial adalah semua bentuk tingkah laku yang melanggar adat istiadat, hukum, konvensi sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian maka dapat ditarik suatu pengertian , masalah sosial adalah semua situasi, kondisi dan perilaku yang dianggap oleh mayoritas warga masyarakat sebagai hal yang sifatnya mengganggu, tidak dikehendaki keberadaannya, berbahaya dan merugikan orang banyak walaupun permasalahan tersebut pada waktu dan ditempat yang lain dapat diterima dan dianggap tidak membahayakan. Dari pendefinisian ini maka dapat ditegaskan bahwa masalah sosial itu bersifat relatif dan situasional. Artinya bisa saja sesuatu hal (peristiwa, perilaku, nilai, kebiasaan) dianggap sebagai masalah sosial, sedangkan di tempat dan waktu yang lain dianggap sebagai hal yang biasa. Oleh karena itu dalam ‘menangkap’ suatu permasalahan sosial harus diperhatikan secara benar aspek-aspek sosiologis, psikologis dan antropologis yang membungkusnya
Ketidakcermatan meraba aspek-aspek tersebut hanya akan menjadikan upaya intervensi menjadi hal yang sia-sia. Oleh karena itu pola pembelajaran dan pola analisa terhadap masalah sosial atau penyakit masyarakat ini harus dilakukan secara all out, namun dengan tetap memperhatikan aspek-aspek hukum yang lebih universal, yaitu hak asasi manusia. Target intervensi terhadap masalah sosial ini adalah untuk menekan bukan menghilangkan sama sekali. Sebab penghilangan sama sekali terhadap masalah atau penyakit sosial adalah hal yang mustahil.
Permasalahan sosial adalah bagian dari dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan. Maka apapun metodenya unsur manusia sebagai pelaku dan sekaligus sebagai korban tetap harus menjadi fokus dalam program intervensi yang ada.
Di samping itu suatu persoalan dapat saja dianggap sebagai suatau masalah sosial atau bukan juga sangat tergantung dari faktor waktu atau era. Pergeseran nilai-nilai sosial bisa saja menempatkan suatu persoalan yang dahulu kala dianggap sebagai hal yang sangat tercela, tetapi pada waktu sekarang dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja dan boleh dilakukan. Proses yang demikian ini terjadi karena proses evolusi sosial, yaitu berubahnya nilai-nilai sosial yang terjadi secara lambat laun tetapi pasti terjadi.Oleh karena itu pendalaman terhadap permasalahan sosial atau fenomena penyakit sosial tidak boleh menggunakan asumsi dan prediski yang universal. Secara psikososiologis masalah sosial atau penyakit sosial harus didalami bukan kasus perkasus, tetapi sebagai sebuah rangkaian dan rentetan dari sejumlah gejala sosial. Berangkat dari titik ini maka masalah sosial atau penyakit sosial bisa pula didekati dengan menggunakan model pendekatan ‘kewilayahan’ . Masalah sosial di kota solo bisa jadi bukan menjadi masalah di kota makasar atau di Kyoto jepang. Masalah sosial adalah khas dan bersifat local character.
Bukan hanya tugas polisi.
Sebagai pengemban dan penjaga kamtibmas, polisi selalu menjadi pihak tertuding ketika ketertiban dan keamanan masyarakat terusik karena merebaknya penyakit masyarakat merajalela. Hal ini menjadi wajar karena hanya polisilah yang dipahami oleh masyarakat sebagai pihak yang wajib dan berhak melakukan penertiban dan memulihkan keamanan masyarakat. Masyarakat tidak melihat peranan sektor lain dalam proses ini. Oleh karena itu perlu dilakukan pembelajaran terhadap masyarakat bahwa penegakan atau intervensi masalah sosial bukan hanya menjadi tugas kewajiban dan hak institusi kepolisian. Bersama-sama polisi sektor dan institusi lain diluar kepolisian perlu dinampakkan peranannya. Departeman sosial, departemen agama, departemen hukum dan hak asasi manusia dan depnakertrans perlu ‘ditayangkan’ lebih jelas peranannya dalam upaya ini. Demikian pula para akademisi perlu membangun jaringan akademis dan lintas ilmu yang lebih solid sehingga tidak hanya satu disiplin ilmu yang tampak dominan. Dengan pola yang demikian ini maka sesungguhnya urusan menanangani penyakit masyarakat bukan hanya tugas polisi untuk ‘membina” nya. Pembinaan polisi akan menjadi sia-sia ketika polisi hanya memberikan tilang tipiring kepada pelacur yang ketangkep garukan, demikian pula sang preman akan tetap perkasa ketika polisi hanya mengumpulkan mereka di lapangan mapolres kemudian diberi sedikit nasehat dan boleh pulang. Semoga tulisan ini memberi inspirasi untuk menggiatkan penanganan atas berbagai permasalahan sosial di kota kita tercinta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar