Selasa, 05 April 2011
OSPEK : MEMBANGUN KECERDASAN BUKAN KEKERASAN
Drs. Soleh Amini Yahman. MSi. PSi
Dalam Minggu-minggu terakhir bulan agustus,biasanya di berbagai perguruan tinggi sedang gayeng-gayengnya diselenggarakan hajatan rutin tahunan untuk menyambut hadirnya mahasiswa baru. Hajatan tersebut disajikan dalam aneka nama dan aneka menu. Ada yang menamakan Ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus), PPA (program pengenalan akademik) , Osmaru (orientasi mahasiswa baru) MOS (masa orientasi studi) dan lain-lain.
Diskurus tentang ospek memang selalu menarik untuk diperdebatkan setiap kali memasuki tahun akademik baru. Kemenarikan itu tidak lepas dari konsep stereotype yang telah begitu lekat menempel pada kegiatan ospek yang berbau dan berwarna kekerasan dan otoritarian. Dalam sepuluh tahun terakhir ini banyak pihak merasa sangat khawatir bahwa pelaksanaan ospek akan memberi dampak buruk bagi kehidupan psikososial dan kultural akademik para mahasiswa. Ospek banyak dituding sebagai media penyemaian bibit kekerasan dan otoritarianisme di perguruan tinggi. Betapa tidak, selama kurun waktu tersebut ospek tidak lebih sama dengan perpeloncoan yang sarat dengan kenaifan-kenaifan yang konyol dan jauh dari tradisi akademik yang seharusnya menjadi inti muatan kegiatan ospek. Akibatnya ospek yang seharusnya menjadi sinergi antara sisi kehidupan intelektual dan sisi kehidupan demokratis berbalik menjadi kolaborasi antara kekerasan, kedzoliman dan kesewenang-wenangan, dimana tiga sifat tersebut menjadi musuh nomor satu insan kampus perguruan tinggi. Inilah barangkali tragedi paling ironis dari kegiatan ospek yang selama kurang lebih sepuluh tahun belakangan ini dilaksanakan.
Kesadaran Intelektual
Ospek sebagai entri point masuknya seorang calon intelektual ke dalam dunia akademik, semestinya harus didesain sebagai kegiatan yang memungkinkan timbulnya pencerahan akademik bagi mahasiswa baru. Dari ospek inilah awalan yang efektif untuk mengkonstruksi karakter insan-insan terpelajar yang memilki nilai-nilai obyektifitas, kepercayaan, kebenaran dan moralitas serta tumbuhnya kesadaran akademi dan intelektualitas sebagai modal intellectual (intellectual capital). Dengan adanya wawasan, pengetahuan dan moralitas luhur ini, mahasiswa dapat meneguhkan integritas personalnya yang anti terhadap godaan-godaan kepentingan prgmatis jangka pendek. Target inilah yang seharusnya menjadi ruh atau nafas dari setiap perguruan tinggi dalam mendesain ospek yang humanis, kritis, akademis, demokratis dan moralis. Hal ini pulalah yang seharusnya menjauhkan ospek dari hal-hal yang bercorak feodalis, anarkhis, otoritarianis dan anti demokrasi.
Lenyapkan Disparitas
Mengkritisi ospek bagi penulis adalah mengkritisi sifat keakuan atau egosentrisme sekelompok mahasiswa senior yang merasa mempunyai “hak” untuk ‘membimbing dan mendidik” mahasiswa baru agar menjadi mahasiswa yang ‘benar’. Sampai saat ini sekalipun, kita masih sulit untuk melenyapkan kebiasaan tersebut dan masih kesulitan pula untuk menghadirkan suasana yang humanis atau ramah bagi kemanusian dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan mahasiswa senior dan yunior. Disparitas antara senior dan yunior masih sangat dominan sehingga nilai-nilai egalitraian (kesepadanan) masih sulit terwujut, belum lagi masih bercokolnya rasa ‘dendam’ dari korban ospek pada hari ini yang akan mewujut pada ospek tahun berikutnya. Korban hari ini adalah penguasa yang akan membalas dendam kepada korban pada tahun berikutnya.
Akan menjadi sangat berbahaya bagi kehidupan psikologis akademik mahasiswa ketika budaya anti demokrasi dan kesewenang-wenangan dalam ospek ini menjadi budaya atau tradisi diperguruan tinggi. Ospek yang konvensional harus mulai ditinggalkan jika perguruan tinggi tidak ingin melahirkan kadaer-kader bangsa yang elitis, sok birokratis, arogan dan tiran. Implikasi sosiopsikologis jangka panjang dari kondisi ini paling tidak akan membuat intimitas relasi sosial dalam kehidupan akdemik maupun kehidupan masarakat akan menjadi rigit. Budaya bertegur sapa menjadi hal yang asing, eksistensi kemanusiaan menjadi sempit dan lahirnya pimpinan-pimpinan yang rakus kekuasaan, despotis dan tidak peduali pada semesta.
Untuk menghindari atau minimal mengurangi dampak buruk jangka panjang tersebut, maka ospek semestinya dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan yang lebih menekankan pada pengembangan aspek-aspek akademik, profesionlaitas, kepemimpinan dan pengabdian pada masyarakat. Artinya ospek harus merupakan bentuk penjabaran konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi. Untuk menekan kemungkinan terjadinya gesekan-gesekan fisik dan friksi-friksi akibat disparitas senior yunior dalam kegiatan ospek, maka peran lembaga atau institusi (baca : dosen dan pimpinan perguruan tinggi) harus lebih intensif keterlibatannya di lapangan. Kalau toh program-program pelaksanaan ospek sudah disusun sesuai dengan tujuan, misi dan target idialnya, tetapi toh masih jatuh korban juga, maka hal ini karena keterlibatan lapangan dari institusi yang masih sangat minimal. Sedangkan peran pengendali kegiatan dan penyusunan program justru berada di tangan mahasiswa senior (baca: panitia pelaksana).
Salah Asumsi
Jatuhnya korban pada kegiatan ospek sebagaimana ospek-ospek pada tahun –tahun sebelumnya, lebih banyak disebabkan karena kurang pahamnya panitia penyelenggara terhadap tujuan penyelenggaraan ospek. Di kalangan mahasiswa senior tidak sedikit berkembang asumsi yang berbeda-beda mengenai tujuan ospek. Sebagian mengganggap ospek sebagai ajang untuk perlakuan keras terhadap mahasiswa baru (maru) agar mereka tahu diri dengan lingkungan baru, yaitu kampus yang selama ini menjadi wilayah kekuasaan mereka. Karena itu mahasiswa baru harus menghormati dan tunduk pada senior. Karena asumsi ini maka menjadi jamak ketika terdengar bunyi bentak-bentakan dan hukuman-hukuman dalam ospek. Sehingga yang terjadi kemudian adalah munculnya hal-hal yang tidak relevan dengan penyelenggaraan ospek. Kreativitas yang menyertai ospek tidak lagi jelas refrensinya. Sampi titik ini harus diakui bahwa ospek bellum sepenuhnya mengarah pada pembangunan kecerdasan nurani akademik, tapi masih mengarah pada pengembangan perilaku kekerasan. Ospek belum sepenuhnya mengarah pada upaya mempersiapkan mahasiswa baru untuk memasuki kultur akademik yang sebenarnya. Oleh karena itu pada ospek tahun ini, asumsi yang salah ini harus segera diluruskan, dikoreksi dan dibenarkan.
Masih Perlukah ?
Esensi perguruan tinggi terletak apada tanggung jawab untuk melahirkan insane akademik yang bergelut pada ilmu pengetahuan. Meski demikian dalam perspektif kekinian, perguruan tinggi dan status mahasiswa tidak lagi ekslusif. Oleh karena itu penyambutan mahasiswa baru dengan budaya aksesoris yang tidak relevan seperti perploncoan, penggojlokan tidak lumrah lagi untuk ditempatkan sebagai dinamika rimantisme kemahasiswaan sebagaimana jamannya Pak Ashadi Siregar di kampus birunya. Pada era kekinian ini orang lebih berharap pada hal-hal yang praktis, realistis dan argumentative. Untuk itu kebiasaan bentak-bentakkan dan perilaku aneh-aneh dalam ospek sudah out of date, bahkan dinilai merendahkan harkat dan martabat manusia sehingga besar kemungkinan menyulut terjadinya bentrokan antara mahasiswa baru dengan mahasiswa seniornya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya disorientasi pada penyelenggaraan ospek, maka senior perlu menempatkan dirinya bukan pada posisi lebih unggul dari adik-adiknya. Sebab secara psikologis jarak usia mental (mental age) antara senior dan yunior tidaklah terpaut jauh atau bahkan mungkin sama. Sehingga begitu mereka selasai ospek dan mulai mengikuti kuliah mereka akan berbaur bersama, menjadi teman dan tidk kelihatan lagi mana yang senior dan mana yang yunior.
Maka ospek tahun ini hendaklah dijadikan memontem yang berharga bagi civitas akademika, masyarakat dan bangsa Indonesia untuk memperbaharuhi moral intelektual dan cerdik pandai di negeri ini, untuk kembali pada habitat aslinya yang menjujung tinggi kebenaran (truth) , kepercayaan (trust) dan True (kebenaran yang benar). Semoga ospek tahun ini dapat memberikan kontribusi positif untuk melakukan pembaharuan terhadap tatanan psikososial dalam kehidupan kampus dan kehidupan kaum intelektual pada umumnya. Billahifisabililhaq fastabiqul khairat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar