Minggu, 03 April 2011

RESTRUKTURISASI KOTA SOLO


Drs. Soleh Amini Yahman.MSi. Psi
Pendahuluan
Ketika kota Solo membara pada tanggal 14 - 15 Mei 1998 sepuluh tahun lalu, dunia terhenjak dan terkejut, tidak percaya bahwa peristiwa dahsyat itu terjadi di kota Solo. Kota yang terkenal dengan keagungan budaya, lemah lembut budi bahasanya , sopan santun perilakunya, tepo sliro terhadap sesama, tiba -tiba menjadi beringas meluluhlantakkan keindahan dan kecantikan kota solo yang bersemboyan BERSERI.


Pembangunan infra dan supra struktur kota yang telah dan sedang di mulai hancur lebur, sehingga pada saat itu kota solo seakan menjadi kota yang lumpuh total. Seorang kenalan saya dari Rusia dan Montana yang kebetulan anggota delegasi Word Haritage City Confrence (WHCC) yang diselenggarakan di kota Solo akhir oktober lalu, sempat bertanya tentang peristiwa yang terjadi 10 tahun yang lalu tersebut, dan merekapun menyatakan ketidakpercayaannya bahwa kota yang cantik ini pernah membara karena kerusuhan massal.
Konon, kerusuhan yang terjadi di Solo pada Mei 1998 adalah merupakan rentetan atau pengulangan dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sejak era tahun 1755. Terlepas dari benar dan tidaknya mitos tersebut, saya sangat meragukan bahwa peristiwa Mei 1998 itu berkaitan dengan peristiwa kerusuhan sebelumnya. Alasan saya adalah bahwa kurun waktu dari tahun 1755 hingga 1998 bukanlah waktu yang pendek Selama waktu yang lebih dari dua abad itu, pasti sudah banyak perubahan sosial terjadi. Adapun perubahan itu menyangkut antara lain komposisi penduduk, situasi sosial ekonomi dan politik serta pergeseran nilai yang erat kaitannya dengan pandangan menghormati satu sama lain.
Dalam perpekstif saya sebagai generasi muda yang lahir di abad XXI, saya melihat kerusuhan di kota Solo 1998 itu lebih disebabkan oleh terjadinya konflik kultural, sosial, ekonomi yang dibalut oleh kepentingan - kepentingan politik tertentu. Dilihat secara sepintas saja, kerusuhan di Solo 14 - 15 Mei 1998 adalah bagian dari keadaan masyarakat secara nasional. Salah satu Indikasinya, kerusuhan itu terjadi mengawali peristiwa turunnya Pak Harto dari singgasana kepresidenan. Jika hubungan antara turunnya pak Harto dengan kerusuhan itu ternyata menujukkan korelasi yang kuat maka kemungkinan besar, sumber sebab kerusuhan itu sangatlah bersifat politis. Ini artinya, penjarahan yang menyertai terjadinya kerusuhan tersebut bukanlah merupakan hal yang urgen dalam kejadian tersebut. Penjarahan hanyalah akibat saja. Yang penting adalah pembakaran toko (khususnya toko milik warga Cina), agar memberikan kesan kerusuhan yang terjadi adalah masalah SARA. Dengan demikian, penjarahan barang-barang oleh massa itu hanyalah latar belakang, sedangkan foreground-nya masalah kekuasaan. Dengan istilah sekarang, sumber sebabnya masalah kerusuhan di solo itu adalah konflik elite politik. Ini artinya, kerusuhan itu tidak bersumber dari dalam masyrakat Solo sendiri, tetapi dari luar. Dengan istilah sekarang, peristiwa kerusuhan di solo itu ada yang sengaja ‘ngompori’ untuk melakukan pengurusakan toko untuk memancing penjarahan. Mereka itulah yang disebut sebagai ‘provokator”.
Kebetulan atau tidak, yang jelas , kerusahan dan penjarahan itu terjadi setelah krisis moneter dan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Harga bahan pangan naik cepat sekali, sementara gaji atau pendapaan tidak bertambah. PHK terjadi dimana-mana, pengangguran menumpuk hukum tiadak lagi berdaya . Maka masyarakat mengalami “social anomali” , yaitu suatu penyimpangan dari tradisi budaya yang biasanya. Prinsip-prinsip Jawa rukun dan hormat pun menipis,dan krisis kepercayaan semakin merebak. Akhirnya emosi manusiapun menjadi tumpul. Hati nurani tidak lagi bicara, tolong menolong menjadi barang mahal dan langka. Akhirnya masyarakat terpaksa memasuki dunia ‘hukum rimba’. Berlakulah teori darwin “the survival of the fittest”, yang kuat dialah yang menang. Sampai disini maka kebudayaan sudah tidak ada lagi artinya. Yang ada tinggalah kekuatan fisik, otot, senjata tajam, batu, api atau apa saja yang bisa membuat mereka bertahan hidup. Akhirnya konsep dan cita-cita masyarakat madani yang sangat dicita-citakan wong Solo pun menguap tinggal di angan-angan.
Solo Menuju Masyarakat Madani
Tulisan ini tidak secara khusus dimaksudkan untuk membahas dan menganalisa kerusuhan di kota solo pada medio mei 1998 itu. Peristiwa kerusuhan tersebut hanya digunakan sebagai suatu catatan untuk menujukkan betapa supra dan infra struktur kota Solo hancur lebur karena peristiwa kerusuhan tersebut. Cita cita membangun masyarakat madani, masyarakat beradap terasa semakin jauh untuk dapat diwujudkan dengan terjadinya peristiwa tersebut. Mengapa cita-cita mewujutkan masyarakat madani bagi kota Solo terasa semakin jauh? Hal tersebut tidak lepas dari sikap masyarakat terhadap upaya membangun kembali kota Solo menjadi kota yang kuncoro , Berseri dan gemah ripah loh jinawi, seperti sebelum petaka mei kelabu tersebut terjadi.
Sikap Bermasyarakat
Sikap masyarakat saat ini dapat dikelompokkan kedalam empat fenomena . Pertama, reifikasi , yaitu sikap yang lebih mengarah pada segala realitas yang bukan ditekankan pada nilai humanisme tetapi pada nilai pragmatis-materilistis. Kedua , sikap manipulatif yang cenderung mengatasnamakan kepentingan rakyat atau kepentingan umum, tetapi sebenarnya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Ketiga, kecenderungan fragmentasi yang lebih mengarah pada suasana hidup berkelompok , dan pengkotak-kotakan dalam bentuk antara lain konspirasi, nepotisme dan lain-lain, yang saat ini sangat tampak menojol kepermukaan. Keempat, individualisasi yang cenderung pada kepentingan individu dan egoisme tanpa menghiraukan tata dan norma nilai yang ada dalam sistem sosial budaya masyarakat.
Fenomena tersebut tidak terjadi begitu saja dalam masyarakat Solo, ia terjadi secara evolutif dan tidak lepas dari pengaruh-pengaruh ekternal. Dalam lingkungan global akan kita saksikan adanya intervensi dan interaksi dalam kehidupan sosial budaya yang dapat mempengaruhi tata nilai budaya suatu masyarakat. Demikian pula halnya yang terjadi di Kota Solo atau Surakarta. Peristiwa luluh lantaknya kota Solo juga tidak lepas dari intervensi dan interaksi faktor ekternal yang mempengaruhi terjadinya perubahan struktur tata nilai budaya masyarakat Surakarta. Dalam kondisi seperti ini warga kota Solo perlu segera mempersiapkan dan mendinamisasikan local genius unggulan untuk memperkuat jati diri bangsa (warga) agar tidak semakin terpuruk oleh intervensi global.
Ada empat langkah besar yang dapat ditempuh guna melakukan restrukturisasi kota Solo menjadi kota yang madani, dalam tata nilai sosial budaya yang kondusif, yaitu sistem sosial budaya yang mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat menuju pada pertumbuhan ekonomi nasional yang partisipatif. Selain itu juga mampu membangkitkan solidaritas bangsa menuju pada pertumbuhan diri masyarakat.
Keampat langkah tersebut adalah : pertama, memperlebar keran-keran komunikasi yang dilakukan secara arif dengan dilandasi pikiran positif serta ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas. Cara ini dapat ditempuh dengan lebih memberdayakan lembaga wakil rakyat, baik yang berada di tingkat I maupun tingkat II. Lembaga DPRD bukan sekedar lembaga yang tanpa target, ia harus menjadi sarana penyalur komunikasi rakyat dengan pimpinannya yang ada di lembaga eksekutif. Dengan terbukanya keran-keran komunikasi yang semakin baik, maka kecenderungan fragmentasi yang lebih mengarah pada pengkotak-kotakan dan konspirasi dapat dihindari, demikian pula akan dapat dihindari sikap eklusifisme, nepotisme dan patron client.
Kedua, pengembangan konsep pembangunan yang bersifat bottom up plaining secara bijaksana. Masyarakat dilatih untuk berani menyampikan pendapatnya secara santun. Pimpinan harus bersedia mendengarkan dan mengakomodasikan kebutuhan riil yang diperlukan masyarakat. Dengan bottom-up plaining atau pengembangan dari bawah ini akan dapat dihindari terjadinya kecenderungan manipulasi.
Ketiga, Peningkatan kualitas sumber daya manusia secara luas menyeluruh agar masyarakat mampu memahmi budaya bangsa secara utuh, sehingga dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia ini akan dapat membawa netralitas sikap aparat dalam politik, sikap jujur, disiplin, transparan serta aspiratif sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Keempat, Meningkatkan moral, etika dan akhlak luhur, sehingga pelanggaran -pelanggran terhadap tata nilai budaya yang berupa penjarahan, fitnah, pembakaran, pembunuhan dan perbuatan yang tidak manusiawi tidak menjadi bagian dari tata nilai budaya kita.
Keampat langkah tersebut harus diimplementasikan dalam perilaku operasional sebagai tindakan riil seperti berupa penegakan hukum secara konsisten , tanpa pandang bulu. Prinsip setiap warga mempunyai kedudukan dan hak yang sama dimuka hukum harus dijunjung tinggi-tinggi. Reorientasi konsep pembangunan kota Solo, dari konsep Tri Kridha Utama (Solo sebagai kota budaya, Olah raga dan Pariwisata) menjadi Panca Krida Utama, yaitu kota Solo sebagai pusat Budaya, ekonomi, pendidikan,Pers dan Religius. Pemberdayaan potensi masyarakat sipil (civil empowerment) , yaitu dengan cara mengurangi dominansi dan peran ABRI/militer dalam pemerintahan sipil. Melaksanakan otonomi daerah secara konsisten. Artinya daerah harus diberi wewenang yang lebih luas dalam menentukan kebijakan pembangunan di daerahnya. Memberdayakan potensi ekonomi yang berorientasi pada rakyat banyak. Misalnya koperasi dan usaha kecil serta usaha yang berupa home industri. Konsekuens dari tindakan ini adalah merubah orientasi pembangunan ekonomi yang mengarahkan kota Solo sebagai kota industri modern menjadi kota industri yang berbasis rakyat banyak (padat Karya). Mengembalikan fungsi Keraton sebagai pusat pengembangan budaya, bukan sebagai pusat industri pariwisata. Memperbesar kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak bagi segenap lapisan masyarakat. Membangun manajemen ‘dakwah’ bagi semua agama dengan tetap berpegang teguh pada konsep ‘lakum dinukum waliyadien’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar