Jumat, 08 April 2011

MEMBACA PETA POLITIK MUHAMMADIYAH


Soleh Amini Yahman
Waka Lembaga Pustaka Seni dan Budaya PDM Solo
Dosen Fakultas Psikologi UMS

Dalam konstelasi politik di Indonesia, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dengan jumlah anggota tidak kurang dari 40 juta jiwa, merupakan potensi yang sangat luar biasa dalam dinamika kehidupan partai partai politik di Indonesia. Tidak mengherankan jika akhirnya banyak tokoh-tokoh dari berbagai partai politik yang mencoba merapat dan berusaha menggandeng Muhammadiyah agar memberikan dukungan demi eksistensi partainya. Bahkan ada partai politik yang mengklaim dirinya sebagai partainya wong Muhammadiyah.

kegemerlapan kehidupan politik praktis memang sempat mengoda idialitas politik beberapa kader dan tokoh Muhammadiyah untuk mempolitikan Muhammadiyah. Tetapi pimpinan pusat Muhammadiyah dengan tegas kembali meneguhkan jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi non partai dan tetap menjaga netralitas kehidupan organisasi dari aktivitas kepartaian manapun juga. Muhammadiyah tetap beristiqomah sebagai ormas Islam keagamaan yang bergerak pada bidang dakwah amar makruf nahi munkar. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga Muhammadiyah benar-benar menjaga jarak dengan partai politik manapun, termasuk dengan Partai Amanat Nasional (PAN) maupun Partai Matahari Bangsa (PMB) yang memang secara defacto memiliki keterkaitan sejarah, khususnya terkait dengan sejarah kelahiran partai-partai tersebut yang didirikan dan dilahirkan oleh kader dan putra-putra terbaik Muhammadiyah.
Boleh Berpolitik
Lahirnya PAN maupun PMB sempat menimbulkan persepsi bahwa Muhammadiyah mulai limbung dalam menjaga konsistensi khitah perjuangannya sebagai organisasi non politik praktis. Kuatnya persepsi tersebut tidak lepas dari pengaruh nama-nama besar seperti Profesor Dr. M. Amien Rais sebagai ketua umum PAN dan mantan ketua pimpinan pusat Muhammadiyah pada waktu itu. Juga nama besar M. Darukutni (ketua umum PMB) sebagai tokoh generasi muda Muhammadiyah yang cukup populer dan kharismatik di kalangan generasi muda Muhammadiyah. Situasi persepsional yang membingunkan warga Muhammadiyah ini segera diluruskan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan pernyataan politik yang cukup tegas dan tangkas, bahwa jika ada yang menempatkan PAN maupun PMB sebagai partainya Muhammadiyah, maka hal itu merupakan penempatan yang salah tempat . Muhammadiyah tidak pernah mendirikan partai atau berafiliasi kepada partai politik manapun juga (Baca : Majalah Langkah Baru 2 maret 2007).
Namun demikian Muhammadiyah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada segenap warga, kader maupun pengurus Muhammadiyah untuk berpolitik atau menjadi pengurus partai politik manapun selama partai tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan Pancasila. Dalam aktivitas politik warganya, Muhammadiyah tidak pernah memberi arahan, tuntunan, bimbingan maupun nasehat terkait dengan perilaku dan pilihan politik warganya. Hal ini berarti Muhammadiyah tidak melarang dan tidak pernah mengharamkan warganya untuk berpolitik. Oleh karena itu Muhammadiyah meminta dan selalu mengingatkan kepada setiap pengurus dari tingkat pusat hingga pengurus ranting, agar segera mengurungkan niatnya menjadi pengurus Muhammadiyah jika niat itu dimaksudkan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik guna mendapatkan jabatan-jabatan politik tertentu, baik pada jabatan legislatif maupun jabatan eksekutif.
Dalam sejarah perkembangannya, hingga berusia 100 tahun pada saat ini, Muhammadiyah tidak pernah tercatat sebagai partai politik ataupun beafiliasi pada partai politik manapun, meskipun peluang menjadi partai Islam sangat terbuka. Dibawah komando kepemimpinan KH. AR Fakhrudin, sekitar tahun 1970-an Muhammadiyah pernah “dipaksa” oleh pemrintah orde baru agar mempolitikkan Muhammadiyah pada garis politik praktis. Namun dengan sikap santun dan tawadu’ Muhammadiyah menolak dan tetap berkhidmad pada gerakan dakwah Islam yang non partisan.
Politik Muhammadiyah
Menyusur peta perjalannan Muhammadiyah yang telah memasuki usia 1 abad, akan banyak diketemukan keunikan sejarah yang jarang atau bahkan tidak ada dalam kelompok ormas sebesar persyarikatan Muhammadiyah ini. Keunikan tersebut adalah tidak adanya nafas ‘perebutan’ untuk menjadi ketua umum. Oleh karena itu dalam pelaksanaan berbagai muktamar selama ini hingar bingar perebutan untuk menjadi ketua umum Muhammadiyah tidak pernah seru sehingga tidak banyak menarik insan pers untuk mengekpose perhelatan muktamar muhammadiyah secara besar-besaran karena tidak ada ‘serunya”.
Kondisi ini bukan berarti menempatkan orang-orang Muhammadiyah sebagai orang yang bermental ‘iren’ dalam pengertian bermalas-malasan untuk mewujutkan responsibilitas sosial politik mereka kepada Muhammadiyah. Konsep kepemimpinan kolektif yang menjadi pola dan acuan kepemimpinan dalam persyarikatan Muhammadiyah telah mengajarkan bahwa tugas menghidup-hidupkan dan menggembirakan umat dalam persyarikatan adalah menjadi tugas bersama, bukan tugas individual ketua umum, yang sangat besar kemungkinannya berimplikasi politik tertentu. Dalam konsep kepemimpinan kolektif ini kerendahatian dan kerjasama yang solid menjadi ciri utama, sehingga para pimpinan Muhammadiyah terhindar dari keterjerambapan ambisi politik individualnya karena ada unsur saling mengingatkan dan tegur sapa yang santun.
Selain daripada itu, dalam kaitannya dengan perjalanan kehidupan sosial politik Muhammadiyah ke depan, KH. Ahmad Dahlan tokoh pendiri Muhammadiyah pernah berpesan terhadap 6 hal yang harus menjadi perhatian dan dipedomani oleh para pimpinan dan warga Muhammadiyah dalam bermuhammadiyah. Pertama, tidak sekali-kali menduakan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain. Kedua, tidak sentimentil dan tidak sakit hati bila menerima celaan dan kritikan. Ketiga, Tidak berlaku sombong dan berbesar hati jika menerima pujian. Keempat, tidak ujub-kibir-riya’ atau jubriya. Kelima, ikhlas murni hatinya kalau sedang berkembang harta benda, pikiran dan tenaga. Keenam, bersungguh-sunguh hati dan tetap tegak pendiriannya.
Berangkat dari enam butir pesan inilah pimpinan dan warga Muhammadiyah mencoba untuk selalu belajar beristiqomah dan berkhidmad pada kehidupan sosial politik khas Muhammadiyah, yaitu politik dakwah amar makruf nahi munkar. Implementasi politik amar makruf nahi munkar sebagaimana dimaksud dalam konsep politik muhammadiyah ini banyak diwujutkan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan kesehatan. Melalui ratusan lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi serta ratusan rumah sakit PKU, balai pengobatan maupun klinik-klinik kesehatan di berbagai pelosok desa di seluruh pelosok tanah air, Muhammadiyah menujukkan kiprah politiknya dalam memajukan dan mensejahterakan umat dan bangsa Indonesia. Berpolitik dalam kacamata Muhammadiyah tidak mesti harus diperjuangkan melalui kiprahnya di lembaga-lembaga politik praktis yang berorientasi pada aspek kekuasaan.
Lantas, apakah hal ini berarti Muhammadiyah harus menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari kiprahnya politik praktis ? jawabnya adalah tidak. Jika sekiranya kemuhammadiyahannya tersebut membawa seorang warga/pimpinan muhmmadiyah ke ranah politik praktis, maka kerjakanlah hal itu dengan sungguh-sungguh sebagai wujud dan tanggung jawabnya sebagai warga Negara, dan niatkanlah amanah itu sebagai bagian dari dakwah Muhammadiyah. Konstelasi pikiran dan sikap yang demikian inilah yang pada akhirnya dapat memposisikan Muhammadiyah sebagai organisasi massa Islam menjadi besar, disegani dan selalu diperhitungkan dalam kancah kehidupan sosial politik di Indonesia.
Amal Usaha sebagai Basis Politik
Berbeda dengan badan usaha milik Negara (BUMN) yang konon sering dijadikan sebagai sumber financial partai-partai politik tertentu, maka amal usaha Muhammadiyah (AUM) bukanlah merupakan sumber dana bagi person-person Muhammadiyah yang kebetulan berkiprah di partai politik. Muhammadiyah memiliki banyak amal usaha berupa lembaga pendidikan, rumah sakit, pondok pesantren maupun lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi. Dinamakan dengan istilah amal usaha karena dalam pengelolaan lembaga lembaga AUM tersebut didasarkan pada aspek keikhlasan beramal namun juga didasarkan pada sisi profesionalitas pengelolaan sebuah usaha. Dengan konsep ini AUM dapat terus bertahan dan berkembang menjadi besar serta memberi hasil nyata sebagai sumber penghidupan ratusan ribu umat.
Lembaga amal usaha Muhammadiyah adalah milik Muhammadiyah dan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan dakwah Islam amar makruf nahi munkar. Dengan demikian maka orang-orang yang berada didalam lingkungan amal usaha muhammadiyah harus bersedia di audit kadar kemuhammadiyahannya oleh Muhammadiyah. Etika politik dalam amal usaha Muhammadiyah adalah etika baku, bahwa pengurus suatu amal usaha Muhammadiyah tidak menjadi pengurus lembaga partai politik. Hal ini sudah berjalan dan dilakukan oleh warga Muhammadiyah dengan istiqomah, amanah dan bertawadu’ (berendah hati), sehingga Muhammadiyah dapat terhindar dari kekisruhan manajemen dan kekisruhan pengelolaan antara mengelola amal usaha dan mengelola partai politik.
Dalam perjalanannya yang telah memasuki usia 100 tahun, Muhammadiyah kini telah menjelma menjadi lokomotif besar yang menarik sekian banyak gerbong yang mengangkut berbagai manusia dengan aneka tujuan dan cita-cita. Ada yang bertujuan selaras dengan tujuan Muhammadiyah, tetap tidak sedikit pula yang hanya sekedar menumpang dengan tanpa membeli karcis sebagai penumpang gelap. Para penumpang gelap inilah yang hendak menjadikan kereta Muhammadiyah ini menjadi kendaraan polotiknya dengan cara membajak lokomotif untuk dibelokkan menuju stasuin yang lain. Terhadap para penumpang gelap inilah Muhammadiyah perlu mewaspadai dengan cara memberi dakwah dengan lebih intensif sehingga potensi mereka yang besar tidak tersia-siakan dalam membangun Muhammadiyah. Untuk itu dalam salah satu pengajian warga Muhammadiyah di kantor PDM Solo beberapa waktu yang lalu, KH Muhammad Muqodas (PP Muhammadiyah) mengingatkan kembali tiga sifat dasar kepemimpinan Muhammadiyah sebagaimana dicontohkan oleh Rasollulah, yaitu prihatin terhadap penderitaan umat, sangat menginginkan kebaikan umat dan sangat tinggi belas kasihnya terhadap umat. Siapapun pimpinan Muhammadiyah yang akan dipilih dan terpilih dalam muktamar ke 46 di Yogyakarta tangal 3 – 8 Juli 2010 nanti harus dapat mengikuti dan mengejawantahkan tiga sifat dasar sebagaimana di contohkan oleh Nabi besar Muhammad SAW sebagai panutan Muhammadiyah. Selamat Bermuktamar semoga bermanfaat dan bermaslakhat bagi kehidupan umat dan bangsa Indonesia pada umumnya .amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar