Senin, 25 April 2011

Perbedaan Psikologi Sekolah dengan Psikologi Pendidikan dan ruang lingkup serta perannya


Pengertian Psikologi sekolah
Psikologi sekolah merupakan ilmu terapan dari psikologi pendidikan yang hanya berfokus pada sekolah dan bidang – bidangnya di sekolah, terutama terhadap murid.
Psikologi sekolah berusaha menciptakan situasi yang mendukung bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi, dan emosi yang bertujuan untuk membentuk pola pikir anak.

Pengertian Psikologi Pendidikan
Menurut santrock, psikologi pendidikan adalah cabang psikologi yang mengkhususkan diri pada pemahaman tentang proses belajar dan mengajar dalam lingkungan pendidikan.
Secara harfiah atau etimologis, psikologi berasal dari kata "psyche" yang berarti jiwa dan "logos" yang berarti ilmu. Psikologi mengandung makna yaitu ilmu jiwa yang berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari jiwa manusia melalui gejala-gejalanya, aktivitas-aktivitasnya atau perilaku manusia. Psikologi pendidikan berarti cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari jiwa manusia atau perilaku manusia di bidang pendidikan.
Psikologi pendidikan mempelajari bagaimana manusia belajar dalam bidang pendidikan, keefektifan dalam proses pembelajaran, cara mengajar, dan pengelolaan organisasi sekolah.

Dari pengertian psikologi pendidikan dan psikologi sekolah itu sendiri, dapat dilihat perbedaan bahwa psikologi pendidikan adalah  cabang ilmu psikologi yang mempelajari jiwa manusia dalam bidang pendidikan serta gejala – gejala di bidang pendidikan. Sedangkan psikologi sekolah adalah ilmu terapan dari psikologi pendidikan yang lebih mengkhususkan diri lagi hanya di dalam lingkungan sekolah, dalam proses pembelajaran dan pengajaran dan lebih secara detail memahami jiwa dan perilaku manusia di dalamnya terutama terhadap murid.


Ruang Lingkup Psikologi Sekolah
Pelaksanaan psikologi disekolah:
-    Pelaksanaan tes;
-    Melakukan wawancara dengan siswa, guru, orangtua, serta orang-orang yang terlibat dalam pendidikan siswa;
-    Observasi siswa di kelas, tempat bermain, serta dalam kegiatan sekolah lainnya;
-    Mempelajari data kumulatif prestasi belajar siswa.

 (Jack I. Baron (1982)
Peran Psikologi Sekolah ditinjau dari bidang – bidang terapan:
Psikodiagnostik: meliputi pelayanan tes kecerdasan, kemudian pemberian laporan tertulis yang memberi gambaran kelemahan dan kekuatan yang terungkap oleh tes tersebut.
Klinis dan konseling: perhatian psikolog sekolah terhadap anak didik bersifat menyeluruh, yang mana membantu pihak sekolah dalam menyelesaikan berbagai masalah kesmen yang dihadapi anak. Pada tingkat ini peran psikolog erat dengan masalah kelompok dalam kelas dan masalah yang berkaitan dengan kelas.
Indusrti dan organisasi: dalam hal ini psikolog ikut terlibat dalm tindakan yang menyangkut kebijakan dan prosedur sekolah, dalam pengembangan dan evaluasi program serta pelayanan sekolah,dapat berupa; supervisi, pendidikan, konsulatan bagi kariawan edukatif maupun nonedukatif (membantu malakukan seleksi, penempatan, serta urusan-urusan personalia lain), dan bekarja sama dengan ahli-ahli lain dalam masyarakat.

Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan

(La Sulo, 1990:16).
Dalam peninjauan secara statis, kajian psikolog tentang siswa dalam situasi pendidikan mencakup kajian tentang gejala-gejala jiwa atau aktivitas dan tingkah laku yang umum yang terdapat pada manusia umumnya, yaitu perhatian, pengamatan, tanggapan, ingatan, fantasi, berfikir sikap, minat, motivasi, inteligensi, dan sebagainya dan kajian tentang perbedaan-perbedaan individual antar individu-siswa yang mencakup perbedaan dari segi kepribadian, inteligensi, bakat, minat, dan sebagainya. Sedangkan dalam peninjauan secara dinamis, yaitu mencakup kajian psikologi tentang individu siswa dalam proses pendidikan, yakni perubahan tingkah laku dan cara – cara penilaiannya di dalam pendidikan yang mencakup: (1) perubahan perilaku karena pertumbuhan dan perkembangan; atau karena peserta didik mengalami proses pematangan dan pendewasaan, (2) perubahan perilaku karena belajar yang merupakan faktor terpenting dalam proses pendidikan dan pembelajaran, (3) cara-cara mengukur atau mengevaluasi pencapaian karena perubahan-perubahan tersebut.
Selain itu, peran psikologi pendidikan juga mencakup kajian-kajian tentang hal-hal lain yang erat kaitannya dengan situasi dan proses pendidikan, yaitu kajian tentang bimbingan dan konseling, kajian psikologis terhadap individu yang mengalami penyimpangan psikis (jiwa), sosial, dan fisik, kajian tentang implikasi dari prinsip pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya terbatas pada sistem persekolahan tetapi pendidikan dapat dilakukan di luar sistem persekolahan, misalnya pendidikan untuk orang dewasa, dan kajian psikologis tentang bahan pengajaran yang seharusnya dipilih dan diorganisasikan sedemikian rupa agar dapat diserap oleh peserta didik.
Psikologi pendidikan berperan penting dalam peningkatan mutu siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip psikologi kedalam dunia pendidikan. Psikologi dengan objek manusia (tingkah laku), sedangkan pendidikan berorientasi pada perubahan perilaku siswa, cocok untuk dipadukan dengan harapan mendapatkan perilaku siswa yang diinginkan. 

Daftar Pustaka
Santrock, John W. 2008, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Penerbit: Kencana Prenada Media Group: Jakarta

Kamis, 21 April 2011

THE DIFFRENCES OF THE RELIGIOUS ORIENTATION VIEWED FROM THE EDUCATIONAL INSTITUTION


THE DIFFRENCES OF THE RELIGIOUS ORIENTATION VIEWED FROM THE EDUCATIONAL INSTITUTION

Soleh Amini Yahman


ABSTARCT
In the late of twentieth century, the issues of the improvement of the human resources quality become very important to be implemented in the life of society, and nation. What the quality of human resource means is the quality of knowledge, faith and obedience. One of the efforts which is carried out for the improvement of the human resource quality is the empowerment of the educational institutions, especially the public religiously educational institutions.
The aim of the research was to determine the differences of the religious orientation among the students of the Islamic boarding school, the students of the state Islamic high school and the students of the private Islamic high school.
The number of the research subjects were 528 students consisting of the students from the three educational institutions. The subjects were female and male students of 16 to 22 of age. The purposive random sampling technique was used to select the subjects
The data collection was carried out by using the orientation scale of religion. The arrangement of the scale was based on the assessment of Hunt and King (1977) toward the Intrinsic-Extrinsic Scale of Allport-Feagin. The basic pattern of the measurement in the religious orientation scale follows the pattern of Likert scale method. The item validity coefficient of the scale ranged from 0,491 (the highest) and 0,172 (the lowest) and the reliability coefficient was 0,792.
The data analysis was carried out by using the quantitative technique of the non-parametric statistic namely one way anava Kruskal-Wallis. It was found that the was a significant differences in religious orientation among the students of the Islamic boarding school, the state Islamic high school, and the private Islamic high school. Based on the result of the research, the religious orientation of the students of the Islamic boarding school was very intrinsic, and the religious orientation of the students of the Islamic high school was very extrinsic. 96
The results of the research concluded that the educational institution gives contribution in forming the religious orientation of the students. However, the educational institution was not the only factor which influences the religious orientation of the students.

Key word: religious orientation, human resource, public religiously educational, intrinsic- extrinsic orientation.


Perbedaan Orientasi Keagamaan Ditinjau Dari
Institusi Pendidikan Islam

The Differences Of The Religious Orientation Viewed
From Islamic The Educational Institusional

Soleh Amini

Pengantar
Isu tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia pada akhir abad ke-20 menjadi sangat penting untuk segera diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kualitas sumber daya manusia yang dimaksudkan adalah kualitas dalam keilmuan, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang maha esa. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualaitas sumber daya manusia adalah dengan memberdayakan lembaga-lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan yang mempunyai latar belakang ilmu pengetahuan umum dan keagamaan sekaligus.
Sejalan dengan isu tersebut, dalam dekade tahun 90-an institusi atau lembaga-lembaga pendidikan keagamaan semacam pondok pesantren dan sekolah-sekolah umum yang berlatar belakang keagamaan mengalami booming. Dalam dekade tersebut terlihat adanya peningkatan antusiasme kalangan muda untuk belajar atau bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan agama atau di lembaga-lembaga pendidikan umum yang mempunyai latar belakang agama. Hal itu tampak dari maraknya kehidupan di berbagai pondok pesantren yang selama ini diidentikkan dengan kehidupan kaum tradisionalis masyarakat pinggiran.
Sejalan dengan meningkatnya ghiroh keagamaan tersebut, sejumlah pondok pesantren mulai membenahi diri menjadi lembaga pendidikan modern tanpa harus meninggalkan identitas kepesantrenannya, demikian pula dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam non pesantren. Dimulai dari titik ini, masyarakat dapat menyaksikan hadirnya sejumlah pondok pesantren modern dan sekolah-sekolah Islam swasta yang sangat diminati masyarakat untuk menuntut ilmu pengetahuan. Yang menjadi pertanyaan dari fenomena ini adalah apakah meningkatnya ghiroh keagamaan tersebut benar-benar karena timbulnya kesadaran keagamaan di kalangan generasi muda, atau sekedar trend saja, atau karena meningkatnya kecemasan manusia atas perkembangan dunia yang semakin modern dan industrialis.
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka perlu diketahui alam fikiran, aspirasi dan motive dari generasi orang tua santri atau siswa yang melarbelakangi perginya para pemuda untuk belajar atau memasuki pesantren dan lebih mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Dari sudut pandang ini, tampaknya masyarakat tertarik pada lembaga pesantren terutama karena pondok pesantren merupakan lembaga yang mendukung nilai-nilai agama, yang di kalangan masyarakat agraris terasa amat dibutuhkan untuk bisa mempertahankan hawa segar masyarakat pedusunan. Sedangkan pada masyarakat kota, kebutuhan akan agama nampaknya lebih banyak dilatarbelakngi oleh pandangan bahwa pergaulan hidup di kota-kota telah mengalami semacam polusi yang membahayakan perkembangan pribadi dan pendidikan anak-anak. Oleh karena itu banyak orang tua tertarik untuk menitipkan anak-anaknya kepada para kiai agar mendapatkan bimbingan hidup yang baik ( Rahardjo, 1995). Pada sebagian keluarga muslim ada semacam tradisi yang mencita-citakan salah seorang anaknya ada yang menjadi pengabdi dan penyiar agama. Atas dasar itulah keluarga kemudian mengirimkan anaknya ke pondok pesantren atau ke lembaga pendidikan agama lainnya untuk menuntut ilmu. Dengan memasuki lembaga pendidikan keagamaan pesantren maupun non pesantren, mereka akan memiliki nilai lebih (value added), yaitu mereka tidak saja memiliki kualifikasi di bidang intelektual tetapi juga spiritual keagamaan.
Pendidikan merupakan salah satu kunci pembangunan sumber daya manusia. Para pendidik, sosiolog dan ahli-ahli ilmu sosial lainnya sepakat bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penentu yang sangat penting dan strategis dalam menentukan eksistensi kehidupan suatu bangsa di hari-hari yang akan datang. Oleh kerena itu sangat tidak berlebihan bila pendidikan ditempatkan sebagai suatu human investement untuk melangsungkan pembangunan nasional dan tempat menyiapkan kader-kader pembangunan handal. Oleh karena itu dalam kontek ini pendidikan bukan sekedar merupakan proses pengajaran kognitif formalistik saja, tetapi juga merupakan proses mental yang berupaya mendesain anak didik menjadi sosok yang berkepribadian unggul. Selain berilmu mereka juga dididik untuk beriman, bertaqwa, berbudi pekerti luhur, berbudaya dan berwawasan kebangsaan. Dengan konsep pendidikan yang demikian ini maka tujuan pembangunan nasional akan terwujut dalam kehidupan bangsa Indonesia di masa kini dan masa depan. Adapun tujuan pembangunan nasional Indonesia pada pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua ini dititik beratkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ditunjang dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan kemajuan iptek. Untuk itu faktor manusia menjadi sasaran utama pembangunan nasional. Kualitas manusia Indonesia paling tidak harus meliputi kualitas kepribadian, kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang maha esa (Thoha, 1999)
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari persoalan dan masalah sumber daya manusia yang unggul ini. Menyadari hal tersebut maka pendidikan menjadi prioritas penting dalam perencanaan pembangunan nasional Indonesia. Di Indonesia pendidikan diposisikan sebagai suatu upaya untuk membentuk anak didik dalam perkembangannya menuju kedewasan jasmani dan rohani (Ludjito,1992). Kedewsaan jasmani yang dimaksudkan adalah pertumbuhan yang sehat secara maksimal. Sedangkan kedewasaan rohani adalah pertumbuhan rohani (mental development) yang mencakup aspek kognitif dan afektif, atau dalam istilah bahasa Indonesia cipta, karsa dan rasa. Pada sisi yang lain, pendidikan juga dipandang sebagai suatu proses pertumbuhan yang di dalamnya terjadi proses pemberian bantuan kepada individu unuk mengembangkan kekuatan, bakat, kemampuan serta minatnya. Dengan demikian pendidikan merupakan pemberian kesempatan kepada seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap aspek-aspek kehidupan modern, yaitu suatu pola kehidupan sosial yang menghormati nilai-nilai keterbukaan, individualitas dan progeresif berhadapan dengan pola kehidupan sosial tradisional (Iriani, 1992).
Di Indonesia, pendidikan agama telah lama mendapatkan perhatian dari para pemimpin dan pendiri negara. Pendidikan agama telah dimulai sebelum kemerdekkan Repubulik Indonesia diproklamasikan. Yaitu sejak terbentuknya panitia kecil bagian pendidikan dan pengajaran dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam salah satu rekomendasinya panitia tersebut menyebutkan bahwa pembangunan pendidikan dan pengajaran harus bersendikan pada nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa guna menuju arah keselamatan dan kebahagian masyarakat (Ludjito, 1992). Tekad ini sejalan dengan upaya para pejuang dan pemimpin umat Islam yang dengan berbagai rintangan dan ancaman penguasa penjajah Belanda, telah mendirikan berbagai lembaga pendidikan agama berupa pondok pesantren, madrasah dan berbagai bentuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi-organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Al-Washliyah dan sebagainya. Kehadiran-kehadiran lembaga-lembaga pendidikan ini merupakan pelopor dari pendidikan agama (Islam) di Indonesia yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pondok pesantren merupakan salah satu sistem pendidikan nasional (Suyoto, 1988).
Agama sebagai sesuatu yang bersifat universal, oleh para pemeluknya diakui sebagai way of life. Oleh karena itu para pemeluk agama selalu menempatkan pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai keagamaan pada posisi yang amat strategis dalam mengatur kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Bila asumsi di atas menilai bahwa pendidikan keagamaan yang berimtaq sebagai penentu segala-galanya bagi vested intersted manusia di dunia, maka pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai keagamaan tidak hanya dipandang sebagai sarana pemuas kebutuhan manusia yang hanya sesaat di dunia, melainkan menjangkau kepentingan manusia di masa depan. Dengan kata lain, pendidikan umum yang lepas dari orientasi nilai-nilai agama lebih berorientasi pada antroposentris, sedangkan pendidikan keagamaan lebih berorientasi pada nilai-nilai yang bersifat theocentris. Artinya pendidikan umum dengan latar belakang keagamaan (seperti sekolah-sekolah Islam swasta dan madrasah aliyah negeri), tidak akan kehilangan unsur pokok dalam kehidupan individu dan masyarakat, yaitu dimensi kerohanian dan spiritualitas (Langgulung, 1988)
Dalam kehidupan masyarakat dewasa ini timbul penilaian dan sikap kontroversial terhadap isu yang berkenaan dengan pendidikan Islam. Pertama, Penilaian dan sikap yang optimistik, yaitu suatu sikap yang banyak mengharap kahadiran lembaga pendidikan Islam dengan berbagai institusinya akan membawa pencerahan bagi peningkatan kualitas sumber daya umat ke arah yang lebih baik. Kedua, penilaian dan sikap yang pesimistik, yaitu suatu sikap yang kontra positip terhadap peranan yang diambil oleh pendidikan Islam dalam membangun peningkatan kualitas sumber daya umat.
Penilaian dan sikap yang pertama tadi terbukti dengan semakin kokohnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan umum keagamaan. Hal itu terbukti dari maraknya kegiatan proses belajar mengajar di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan Islam dan pondok pesantren, baik yang berada di kota-kota maupun di daerah pedesaan. Tingginya kepercayaan masyarakat tersebut disebabkan karena institusi pendidikan Islam model sekolah umum agama, baik yang ada di luar maupun di dalam pesantren tidak saja mengemban tugas mulia yang mencakup pengembangan aspek intelektual, kultural dan kemampuan fisik jasmaniah, melainkan juga mencakup dimensi nilai-nilai transedental dan pembinaan kepribadian manusia itu sendiri (Mudzahar, 1992). Dengan kata lain, citra yang dikembangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah untuk melahirkan insan-insan atau sumber daya manusia yang cerdas disertai sikap mental yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa.
Pada penilaian dan sikap yang kedua, yaitu sikap pesimistis terhadap pendidikan Islam, berpandangan bahwa pendidikan Islam saat ini telah kehilangan moral force dan elan vital serta ruh keislamannyanya. Hal tersebut terbukti adanya kecenderungan pendidikan Islam yang belakangan ini lebih berorientasi pada selera konsumen. Blue print atau cetak biru lembaga pendidikan Islam pun tidak lagi ditentukan oleh pengelolanya, yaitu umat Islam, melainkan terus menerus bergantung pada penentu lapangan kerja. Oleh Karena itu tidak heran bila banyak pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya yang berlomba-lomba membangun lembaganya dengan pendekatan modern dan cenderung meninggalkan nilai-nilai tradisional khas pesantren (Abdullah, 1996).
Berangkat dari kontroversi inilah penulis merasa perlu dan tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan orientasi keagamaan pada siswa-siswi atau santriwan dan santriwati yang menempuh pendidikan formalnya di lembaga- lembaga pendidikan keagamaan seperti pondok pesantren, sekolah Islam swasta dan madrasah aliyah negeri. Penelitian ini penulis beri judul “Perbedaan Orientasi Keagamaan Ditinjau Dari Institusi Pendidikan”.
Penulis mengakui, memang sulit untuk mengungkap secara tepat apakah ada hubungan atau pengaruh pendidikan agama di lembaga pendidikan terhadap jiwa keagamaan atau orientasi keagamaan para anak didik. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, sebagaimana di kutip Jallaludin dan Ramayulis (1993), diketemukan fakta bahwa pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keberagamaan (religious orientation) anak. Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak, namun demikian besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak didik untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan-kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Tujuan penelitian ini secara metodologis adalah untuk mengetahui perbedaan orientasi keagamaan antara siswa santri pondok pesantren, siswa madrasah aliyah negeri, siswa pada sekolah-sekolah umum yang berlatar belakang pendidikan agama Islam ( sekolah Islam swasta).
Secara praktis, penelitian ini akan memberikan kontribusi riil dalam pembangunan pola dasar pendidikan keagamaan pada sekolah umum. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk memberikan gambaran yang tepat tentang kondisi orientasi keberagamaan para siswa santri di pondok pesantren, madrasah aliyah negeri dan siswa pada sekolah-sekolah Islam swasta, sehingga nantinya dapat dibentuk suatu pola atau plat form pendidikan yang idial pada ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut, sehingga tujuan menciptakan sumber daya manusia yang beriptek, berimtaq, sehat jasmani rohani dapat terwujud.
Cara Penelitian
Subyek penelitian ini melibatkan 528 subyek yang terdiri atas siswa santri pondok pesantren, siswa madrasah aliyah negeri dan siswa sekolah Islam swasta. Subyek penelitian memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Beragama Islam, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, berusia antara 16 sampai 22 tahun, masih tercatat sebagai siswa atau santri aktif, dan khusus subyek yang berasal dari pondok pesantren disyaratkan pula harus tinggal di dalam pondok pesantren.
Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purpusive random sampling. Dengan teknik ini semua siswa atau santri yang memenuhi kriteria atau persyaratan yang telah ditetapkan akan memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadi subyek penelitian.
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan angket, yang penulis beri nama angket skala orientasi keagamaan. Angket skala orientasi keagamaan ini disusun berdasarkan penafsiran Hunt dan King (1977) terhadap Intrinsic-Extrinsic Scale dari Allport–Feagin. Skala ini tersusun atas aspek-aspek sebagai berikut : (a) personal vs institusional, (b) unselfish vs selfishness, (c) relevansi terhadap keseluruhan kehidupan, (d) Kepenuhan penghayatan keyakinan, (e) pokok vs instrumental (f) asosiasional vs komunal dan (g) keteraturan penjagaan perkembangan iman. Pola dasar pengukuran skala orientasi keagamaan ini mengikuti pola metode Likert, dimana dalam menjawab pernyataan-pernyataan dalam angket, subyek diberikan lima option pilihan jawaban dengan kategori jawaban sebagai berikut ; Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Aitem-aitem yang ada di dalam angket dibedakan dalam dua kategori, yaitu aitem favourable dan aitem unfavourable. Kriteria pemberian skor adalah sebagai berikut : untuk aitem intrinsik yang berfungsi sebagai aitem favourable, jawaban sangat setuju (SS) nilai 5, setuju (S) 4, tidak setuju (TS) 2 dan sangat tidak setuju (STS) 1. Sedangkan untuk aitem ektrinsik yang berfungsi sebagai aitem unfavourable, jawaban sangat setuju (SS) mendapat nilai 1, setuju (S) 2, tidak setuju (TS) 4 dan sangat tidak setuju (STS) 5. Jawaban netral atau tidak dapat menentukan jawaban pada aitem intrinsik maupun ektrinsik memperoleh nilai 3.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil analisis data diperoleh koefisien perbedaan sebesar 7,584 dengan P < 0,050. Hal ini menujukkan bahwa ada perbedan orientasi keagamaan yang signifikan antara siswa santri pondok pesantren , siswa madrasah aliyah negeri dan siswa pada sekolah Islam swasta. Dari skor rerata terlihat bahwa siswa santri pondok pesantren orientasi keagamaannya paling intrinsik, sedangkan siswa pada madrasah aliyah negeri orientasi keagamaannya paling ektrinsik.
Adanya perbedaan orientasi keagamaan antara ketiga institusi pendidikan tersebut menujukkan bahwa institusi pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan dalam pembentukan orientasi keagamaan sisiwa. Dengan kata lain orientasi keagamaan siswa sedikit banyak dibentuk oleh tempat di mana siswa memperoleh pendidikan dan pengajaran formal keagamaannya. Kenyataan ini memperkuat pendapat-pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa faktor institusi penyelenggara pendidikan akan memberikan corak atau turut mempengaruhi arah orientasi keagamaan siswa. Namun demikian, koefisien perbedaan yang hanya sebasar 7,584 tersebut mengindikasikan bahwa faktor institusi pendidikan agama bukan menjadi faktor tunggal atau faktor satu-satunya yang mempengaruhi orientasi keagamaan siswa. Faktor lain-lain tersebut bisa berupa pengaruh peer group, konsistensi pendidikan dan praktek keagamaan di dalam keluarga, keadaan sosial ekonomi keluarga.
Hasil penelitian ini secara lebih spesifik menunjukkan bahwa orientasi keagamaan pada siswa santri pondok pesantren paling intrinsik dibandingkan dengan dengan siswa madrasah aliyah negeri dan siswa pada sekolah Islam swasta. Keadaan ini bila dibahasakan secara verbal berarti pendidikan keagamaan yang dilaksanakan di pondok pesantren benar-benar intensif, dalam arti bukan sekedar merupakan proses pengajaran agama saja. Pendidikan keagamaan di pondok pesantren benar-benar merupakan usaha internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri para santrinya, sehingga terbentuk kepribadian utama, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai universalitas agama Islam. Artinya pendidikan keagamaan yang dilaksanakan di pondok pesantren tidak dibatasi oleh sekat-sekat aliran keagamaan atau sekte-sekte tertentu, misi dan visi organisasi tertentu, walaupun masing-masing pondok pesantren tersebut mempunyai nama dan konsep atau sistem pendidikan dan pengajaran yang berbeda-beda. Dengan demikian fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran agama masih tetap terjaga. Konsekwensi dari keadaan ini adalah tumbuhnya kesadaran dari para santri pondok pesantren, bahwa keberadaan dirinya di pondok pesantren bukan semata untuk dirinya saja melainkan lebih untuk kepentingan agamanya. Oleh karena itu para santri tidak termotivasi untuk menjadi ‘orang besar’ dengan memanfaatkan kehidupan agamanya. Dengan kesadaran ini maka santri pondok pesantren tidak pernah terjebak untuk memanfaatkan agama demi kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian para santri menujukkan motivasi yang besar pada pada kehidupan keagamaannya. Kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan agama dianggap kurang berarti dan sedapat mungkin diintegrasikan dalam keselarasan dengan ajaran-ajaran agamanya.
Sementara itu pendidikan dan pengajaran keagamaan pada institusi pendidikan Islam swasta selain mengemban visi dan misi untuk mengembangkan agama Islam juga mengemban misi untuk memakmurkan organisasi keagamaan yang dibinanya. Dengan demikian pendidikan keagamaan yang diselenggarakan pada institusi sekolah Islam swasta tidak bebas nilai. Sampai taraf tertentu institusi pendidikan Islam swasta ini bisa dikatakan telah memanfaatkan agama untuk kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya, sehingga orientasi keagaamaan yang terbentuk pada siswa siswinya tidak lagi bersifat murni, dalam arti tidak terlalu intrinsik jika dibandingkan dengan orientasi keagamaan para santri di pondok pesantren. Orientasi keagaman siswa sekolah Islam swasta bersifat lebih moderat dan lebih permisif . Hal ini lebih disebabkan karena pendidikan keagamaan yang diberikan kepada siswa siswinya sangat berbeda dengan yang diterima santri pondok pesantren. Perbedaan tersebut terutama terletak pada metode dan sistem pendidikan, kurikulum dan suasana kebathinan yang berkembang dalam institusi.
Kurikulum pendidikan keagamaan di sekolah Islam swasta lebih mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayan, di mana pelajaran agama hanya diberikan satu kali dalam satu minggu selama dua kali empat puluh lima menit. Keadaan demikian kiranya dapat dimaklumi, sebab tujuan utama pendidikan pada institusi pendidikan Islam swasta bukan untuk mencetak ahli-ahli agama Islam, tetapi berusaha untuk mengintegrasikan atau memadukan nilai-nilai pendidikan modern dengan nilai-nilai pendidikan agama. Dengan demikian institusi ini berharap out put-nya kelak dapat menjadi ‘orang besar’ yang mempunyai pengetahuan duniawiah sekaligus pengetahuan agama yang memadai, meskipun bukan ahli agama. Oleh karena itu kurikulum pendidikan di institusi ini tidak secara spesifik bertemakan hal-hal yang bersifat keagamaan, meskipun nama institusi pendidikan tersebut mencerminkan sebagai lembaga pendidikan berlatar belakang pendidikan agama Islam.
Dari penelitian ini diketahui pula bahwa pendidikan keagamaan model madrasah aliyah negeri, orientasi keagamaannya paling ektrinsik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keinginan institusi madrasah aliyah negeri untuk menyelenggarakan model pendidikan yang menyeimbangkan dan mengintergrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam kurang menunjukkan hasil yang memuaskan, meskipun tidak bisa dikatakan gagal total. Kegagalan ini mungkin sekali disebabkan oleh kurikulum pendidikan yang diterapkan, di mana pelajaran agama , menurut kurikulum tahun 1994 pelajaran agama diberikan kurang dari sepuluh persen dari total mata pelajaran yang ada. Padahal pada kurikulum 1984 pelajaran agama diberikan sebesar 30 persen. Muatan kurikulum non agama yang demikian besar ini membuat siswa madrasah aliyah negeri kurang mempunyai kesempatan untuk mendalami agamanya secara intensif sehingga kehidupan agama mereka menjadi sangat perifer atau dangkal (dalam kapasitas mereka sebagai siswa institusi pendidikan keagamaan), lebih-lebih bila institusi madrasah aliyah negeri tersebut tidak menyelenggarakan kegiatan ektra kurikuler keagamaan di luar jam-jam belajar di sekolah.
Terlepas dari masalah kurikulum dan sistem pembelajaran di madrasah aliyah negeri, rendahnya orientasi keagamaan siwa-siswi madrasah aliyah negeri dibanding dengan santri pondok pesantren dan sekolah Islam swasta ini, kemungkinan juga disebabkan oleh faktor motivasi awal yang melatarbelakangi keputusan calon siswa untuk belajar di madrasah aliyah negeri. Banyak calon siswa yang masuk madrasah aliyah negeri pengetahuan dasar keagamaannya sangat sedikit, sehingga mereka berharap setelah sekolah di madrasah aliyah negeri akan memperoleh ilmu agama dan sekaligus ilmu pengetahuan umum. Tetapi kenyataan yang diperoleh tidak seperti harapannya, mereka lebih banyak memperoleh pengetahuan umumnya dari pada ilmu-ilmu agamanya.
Madrasah aliyah negeri adalah lembaga pendidikan dengan status negeri. Artinya pengelolaan madrasah aliyah negeri berada di bawah yuridiksi kekuasaan pemerintah, yang dalam hal ini Departemen Agama RI. Dalam kultur dan persepsi orang Indonesia, status negeri adalah selalu menjadi yang nomor satu dan pilihan nomor satu pula. Sehingga sangat memungkinkan sekali para siswa memilih atau memasuki madrasah aliyah negeri karena statusnya yang negeri tersebut, bukan karena identitas keagamaannya. Jadi sangat beralasan sekali bila orientasi keagamaan siswa madrasah aliyah negeri lebih bersifat ektrinsik daripada santri pondok pesantren dan siswa sekolah Islam swasta.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa ada perbedaan orientasi keagamaan antara siswa santri pondok pesantren, siswa madrasah aliyah negeri dan siswa pada sekolah Islam swasta. Siswa santri pondok pesantren orientasi keagamaanya paling intrinsik dan siswa pada madrasah aliyah negeri orientasi keagamaannya paling ektrinsik.
Saran
1. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mensinergiskan metode, muatan kurikulum dan sistem belajar mengajar dari ketiga institusi pendidikan tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara memadukan kelebihan-kelebihan yang ada pada masing-masing lembaga pendidikan dan menjadikannya sebagai pola dasar pembinaan bersama. Dengan cara ini diharapkan terwujut satu pola tunggal pembinaan pendidikan keagamaan Islam di bawah satu departemen teknis saja, yaitu Departemen Agama. Bukan dua atau tiga departemen seperti yang terjadi selama ini.
2. Madrasah aliyah negeri perlu meningkatkan muatan pendidikan agama minimal mendekati 50 persen. Penambahan pelajaran ini tidak harus dilakukan dengan cara merubah kurikulum atau mengurangi jam-jam pelajaran non keagamaan. Sebab penambahan tersebut dapat dilakukan dengan menyelenggarakan kegiatan ektra kurikuler wajib. Misalnya kegiatan mentoring, kuliah subuh, halaqah, dan penugasan mandiri.
3. Pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan nasional harus segera mulai membuka diri terhadap perubahan dan modernisasi. Pondok pesantren harus mulai membuka diri agar tidak terjebak pada eklusifisme, sehingga bisa lebih berperan dalam menyelenggarakan pendidikan anak bangsa dengan efisien, dan profesional. Pendekatan sistem dan manajemen pendidikan yang cenderung masih mempertahankan idiologi tradisionalis di lingkungan pondok pesantren perlu lebih disesuaikan dengan perkembangan jaman, sehingga kesan ekslusif dapat dikurangi, sehingga pondok pesantren benar-benar dapat menjadi bagian dari masyarakat bangsa Indonesia, bukan hanya menjadi milik umat Islam semata. Di samping itu dasar yuridis atau dasar hukum penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren perlu segera dipertegas, misalnya mengacu pada Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1992 serta tata peraturan perundangan lain yang berlaku di Indonesia.
4. Kepada peneliti selanjutnya , agar diteliti lebih mendalam motivasi dasar yang melatarbelakangi masuknya siswa-siswi ke salah satu lembaga pendidikan tersebut. Juga perlu dikontrol faktor demografi dan geografi dari lembaga atau institusi pendidikan yang dijadikan kancah atau lokasi penelitian. Di samping itu kepada peneliti selanjutnya, penulis juga menyarankan agar dipertegas identifikasi dari pondok pesantren, karena ada kecenderungan dari masyarakat untuk memilahkan pondok pesantren menjadi pondok pesantren modern dan pondok pesantren tradisional.

Selasa, 19 April 2011

MENUJU SUKSES SPMB (Seleksi Penerimn Mahasiswa Baru)


Soleh Amini Yahman

Rahasia yang mengubah seseorang menjadi pemenang adalah lakukan hal yang biasa dengan cara yang luar biasa. Berbekal usaha, ketekunan, doa dan keberuntungan niscaya kemenagan dapat anda genggam.

Keyakinan yang kuat bahwa anda bisa akan mendorong anda untuk berusaha menjadi bisa, dan ketika anda bisa maka andalah sang pemenang itu.

Untuk menjadi pemenang sejati anda membutuhkan dua hal
1. mentalitas sebagai seorang pemenang
2. sikap kesatria ketika kalah

Pendahuluan
Seleksi penerimaan mahasiswa baru bagi lulusan SMA yang bermaksud meneruskan / melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi sebenarnya sudah menjadi rutinitas akademik yang berlangsung setiap setahun sekali. Oleh karena itu, jika persiapan-persiapan yang diperlukan telah dipersiapkan sejak awal (sejak kelas 1 SMA). Maka seharusnya SPMB tidak menjadi momok atau menjadi beban bagi para anak didik pasca kelulusannya pada tingkat sekolah menengah atas.
Mengapa setiap kali SPMB digelar selalu menimbulkan “gejolak” dan irama kekemrungsungan pada anak-anak didik kita ? hal itu tidak lepas dari konsep dan cara berpikir yang tidak tepat dalam menghadapi atau mengikuti SPMB. Konsep dan cara berpikir yang salah tersebut adalah menempatkan SPMB sebagai pintu darurat untuk masuk gerbang kesuksesan. Akibat cara berpikir yang demikian itulah yang menyebabkan terjadinya perilaku atau tindakan dengan cara-cara yang darurat pula. Mengikuti bimbingan tes pada bulan-bulan terakhir menjelang SPMB adalah salah satu contoh cara bertindak yang salah, yang justru akan menimbulkan ketegangan mental dan menguras energi positif sehingga mengalami degradasi konsentrasi, stress dan disorientasi lingkungan. Jika ketiga hal tersebut terjadi pada diri seseorang maka akan terjadi pesimisme dan apatisme sehingga melumpuhkan ekpektasi dan daya juang.

Fakta Bicara
Sudah menjadi fakta bahwa setiap tahun tingkat persaingan untuk menembus UMPTN bahkan juga UMPTS atau SPMB semakin meningkat, baik persaingan secara kualitatif maupun kuantitatif. Keberhasilan menembus ketatnya persaingan dalam SPMB tidak lagi semata-mata hanya ditentukan oleh kesiapan akademik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sikap mental serta pengetahuan-pengetahuan teknis terkait prosedur pendaftaran yang semakin canggih dan modern. Kesalahan teknis administratif atau salah akan berakibat fatal. Salah mengisi data berarti kalah sebelum berperang dimulai. Sebab itu data harus diisi dengan hati-hati dan benar. Ikutilah semua petunjuk yang ada dalam buku panduan SPMB dan jangan percaya pada cara yang disampaikan oleh siapapun jika cara tersebut berbeda dengan apa yang diutarakan dalam buku panduan.
Hal lain yang tidak kalah urgen ntuk dipersiapkan dalam menembus SPMB adalah masalah bagaimana membangun STRATEGI. Strategi adalah rencana yang cermat dan efektif mengenai kegiatan, langkah dan metode untuk mencapai sasaran. Dengan demikian strategi merupakan faktor yang dominan dalam meraih sukses. Kesalahan strategi bisa meliputi strategi belajar, Strategi memilih jurusan, Strategi persiapan dan lain sebagainya.

Strategi Umum : Petunjuk Singkat

1. Persiapan Fisik :
a. Jaga Kondisi Fisik agar slalu fit dan Prima. Keluhan kesehatan sekecil apapun pada saat hari H dapat mempengaruhi konsentrasi. Oleh karena itu kurangi begadang karena akan menguras energi.
b. Berolah raga secara teratur : lakukan jogging minimal seminggu 1 X dan lakukan olah raga sesuai hobby. Hal ini akan membuat tubuh menjadi fresh dan siap action !
c. Makanlah makanan yang bergizi : makanlah 3 kali sehari (tidak harus mahal-mahal) yang penting dapat memenuhi keseimbangan gizi, protein, karbohidrat (pokoknya kayak yang di empat sehat lima sempurna itu lho)
2. Persiapan Mental Dan Spirtual
a. Berpikir positif dan optimistik : Konsistenkan sikap bahwa “saya Bisa !!” saya bisa berhasil, saya dapat mencapainya. Jauhi sikap pesimis dan jangan mudah terprovokasi atas pilihan jurusan yang anda inginkan.
b. Pelajari kisi-kisi soal UMPTN, berlatihlah soal-soal dari bank soal UMPTN secara teratur. Ikuti tryout UMPTN/SPMB untuk bahan refleksi kesiapan diri.
c. Jika prestasi di Raport tidak terlalu menggembirakan, janganlah minder, karena tidak ada aturan baku bahwa SPMB/UMPTN/UMPTS hanya bagi mereka yang nilainya gilang gemilang.
d. Kenali potensi diri dan keinginan terdalam saat pemilihan jurusan. Pilihlah jurusan yang sesuai dengan potensi diri dan keinginan anda yang terdalam. Bukan memilih jurusan karena trend semata-mata. Bila jurusan anda sesuai dengan keinginan terdalam anda, maka akan membuat diri anda bersemangat menghadapi SPMB.

Tentang PTN dan PTS
Hingga saat ini pandangan yang bersifat dikotomik tentang PTN dan PTS masih terus berlangsung. Jika kita mengacu pada konsep pola tunggal pembinaan PTN dan PTS yang mulai diterapkan oleh pemerintah sejak tahun 1987, maka cara pandangan yang diskrimintip tentang PTN dan PTS tersebut harusnya sudah terkikis. Hari gini masih mempersoalkan masalah status PTN/PTS....? Apalagi dengan telah disahkannya undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) maka secara dejure seharusnya tidak ada lagi status PTN dan status PTS. Lebih lagi dengan adanya akreditasi perguruan tinggi yang dilakukan oleh BANPT (badan akreditasi perguruan tinggi) yang melakukan akreditasi tidak saja pada PTS melainkan juga PTN.
Namun demikian masyarakat memang harus tetap memasang kewaspadaan dan keberhati-hatian terhadap sejumlah PTS yang tidak bermutu, yang hanya berorientasi pada bisnis semata-mata, bahkan kadang-kadang melakukanpembohongan atau penipuan terhadap peserta didik. Maka masyarakat harus melakukan chek and re chek dan melakukan konfirmasi atau penelitian yang seksama sebelum memutuskan memasukkan putra-putrinya untuk kuliah atau belajar di PTS. Konfirmasi tentang status dan eksistensi PTS dapat dilihat melalui web-nya Kopertis atau di direktorat pendidikan tinggi (Dirjen Dikti) Depdiknas.

Tips Sukses SPMB

Buat kamu-kamu yang pengen ikutan spmb, berikut ada sedikit tips praktis tentang persiapan menjelang umptn. Sebenarnya kamu-kamu nggak perlu takut ya untuk ikutan spmb, yang penting kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi spmb.

Langkah pertama :

Kalo mau ikutan spmb, ya... Diniatkan yang mantap, jangan setengah hati. Siapkan semua "senjata" serta "perlengkapan perang" untuk menghadapi yang satu ini. Mantapkan tujuan kita pengen masuk kemana, misalnya kedokteran ui, teknik elektro itb, psikologi ugm atau teknik mesin undip. Pertimbangkan pula keadaan ekonomi orang tua, cita-cita, harapan orang tua, serta peluang kerjanya setelah lulus nanti.

Beli atau pinjam soal-soal spmb tahun-tahun terdahulu dari kakak-kakak kelas atau saudara, terus kerjakan soal-soal itu sebanyak mungkin. Karena soal spmb itu mengulang dari soal-soal tahun terdahulu, paling angkanya yang berubah. Oya, dari dulu spmb itu namanya selalu berubah, tapi inti-nya tetap sama. Dulu namanya proyek perintis, skalu, sipenmaru, umptn kemudian spmb.

Juga jangan remehkan mata ujian hari pertama, terutama bahasa indonesia. Rugi lho kalo nilai bhs. Indonesianya kecil, karena itu merupakan tambang nilai di spmb. Minimal bisa 25 soal yang benar.

Langkah kedua :

Kalo bisa ikutan bimbingan belajar alias bimbel, tapi kalo nggak bisa, usahakan untuk mencari referensi lain di luar bimbel, jangan malu minta ajarin sama kakak kelas yang sudah kuliah, bahkan jangan malu juga nanya sama adik kelas yang lebih pintar. Yang penting kan ilmunya bisa diserap.

Langkah ketiga :

Untuk mengukur sejauh mana persiapan dan kemampuan kita, ikut try-out spmb, pasti donk banyak tempat atau instansi di kotamu yang ngadain try-out spmb. So jangan ragu untuk ikutan. Begitu keluar nilai try-out kamu segera cocokkan sendiri dengan passing grade jurusan dan ptn yang akan kamu tuju. Kalo nilainya cukup pilih saja, tapi kalo nggak cukup pilih alternatif lain, misalnya pilih jurusan atau ptn dengan nilai passing grade yang lebih rendah. O,ya untuk bisa mengetahui nilai passing grade jurusan di ptn, bisa dilihat di bimbel atau tanya saja sama teman yang ikutan bimbel. Jangan segan untuk konsultasi ke pengajar bimbel ataupun ke kakak kelas yang pernah lulus umptn.

Langkah keempat :

Jangan lupa untuk selalu meminta petunjuk serta pertolongan dari allah, karena hanya allah yang akan menentukan segalanya. Perbanyak ibadah sunnah, misalnya shalat qiyamul lail, puasa senin kamis, shalat dhuha, dll

Langkah kelima :

Hati-hati dengan masalah teknis pengisian formulir pendaftaran. Pengisian formulir harus tepat dan hati-hati. Tidak boleh kotor, basah, terlipat atau lecek. Karena formulir umptn akan dibaca oleh komputer sehingga hal-hal tsb sangat berpengaruh. Sayang kan..., kalo sampai terjadi "kecelakaan" pada formulir spmb, padahal sebenarnya nilai spmb kamu cukup tinggi.

Langkah keenam :

Jangan lupa untuk survei tempat umptn minimal 2 hari sebelum spmb. Ambil resiko terburuk yaitu mendapatkan meja atau tempat duduk yang kurang memadai. Jadi, siapin semaksimal mungkin. Dan pada malam hari sebelum spmb jangan terlalu banyak belajar ataupun kegiatan berat lainnya, tapi istirahat untuk menenangkan pikiran, agar besoknya bisa segar. Pakailah pakaian yang nyaman, agar tidak menggangu konsentrasi.

Siapkan "senjata-senjata" berikut : minimal 4 mata pensil 2b yang siap pakai, bisa dengan menyerut 2 ujung pensil 2b, penghapus yang bersih, penggaris, klip/penjepit kertas minimal 5 buah, pulpen, tissue/saputangan, alas, jam yang tepat, air minum. O, ya kartu ujian-nya nggak boleh lupa lho...

Kalo bisa datang jangan terlalu kepagian atau terlambat. Kalo kepagian kita bisa be-te nungguin lama, kalo telat kita juga nggak tenang ngerjain soal. Waktu optimalnya kira-kira 15 menit sebelum masuk. Hindari membawa buku yang banyak, karena memberatkan, cukup "senjata" saja yang dibawa. Yakinlah bahwa kamu telah mengisi form nama, nomor ujian dan kode soal dengan benar. Jangan lupa periksa berulang-ulang.

Untuk mengerjakan soal-soal hitungan, pertama bukalah klip pada naskah soal, kemudian pisahkan satu-satu per mata pelajaran, jepit dengan klip/penjepit kertas yang telah kamu siapkan, nah, misalnya untuk mengerjakan soal fisika, dapat menghitung/mencoret-coret pada belakang naskah soal pelajaran lainnya. Lebih mudah khan??

Kerjakanlah soal yang kamu anggap paling mudah terlebih dahulu baru meningkat ke yang sedang kemudian yang sulit, sisakan waktu minimal 15 menit untuk memindahkan ke lembar jawaban. Manfaatkan waktu-waktu "injury time" untuk mengecek terakhir kebenaran form nama, nomor dll serta jawaban pada lembar jawaban komputer. Jangan terburu-buru tapi juga jangan membuang waktu. Hindari pekerjaan yang membuang waktu misalnya menyerut pensil, dsb. Rugi lho.

Setelah selesai ujian, langsung pulang, jangan keluyuran, siapkan untuk hari kedua. Kalo perlu sembunyikan lembaran soal yang kita bawa pulang. Hindari ajakan teman untuk membahas soal atau mengungkit-ungkit tentang umptn, karena akan sangat mengganggu "jiwa" kita. Kecuali kalo sudah "kebal" sih nggak apa-apa. Kalau ketemu teman cukup dengan obrolan yang ringan saja.

Hal-hal yang tak kalah penting dalam pemilihan jurusan

Sebelum memilih jurusan, ada baiknya cari informasi terlebih dahulu agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Tanya-tanya sama kakak kelas atau teman, bagaimana kuliahnya, dosennya, fasilitasnya, pergaulannya, ospeknya, biaya kuliahnya, praktikumnya, dll.

Sumber : syahril_dian@yahoo.com

Bagi Anda peserta SPMB 2010/2011, Selamat meraih jurusan dan universitas yang Anda idam-idamkan !

Senin, 18 April 2011

Apakah tujuan dari bimbingan sekolah?


Tujuan dari bimbingan sekolah dibedakan kepada tiga tujuan, yaitu tujuan remedial, tujuan preventif dan tujuan yang bersifat meningkatkan perkembangan.
Tujuan remedial ialah tujuan yang diarahkan agar siswa berfungsi pada tingkat kemampuannya sendiri. Contohnya, siswa yang terlalu cemas dalam menghadapi suatu situasi (situasi ujian, misalnya) dianggap perlu mendapatkan bantuan untuk membuatnya mampu dalam menghadapi situasi – situasi yang ada di sekolah, tepatnya selama masa pendidikan. Tujuan remedial ini merupakan tujuan yang berkaitan dalam menghilangkan sifat – sifat negatif siswa.
Tujuan reventif pada dasarnya adalah usaha mengurangi kebutuhan untuk intervensi konseling remedial. Ini dapat dicapai dengan cara membuat tidak diperlukannya intervensi remedial atau dengan jalan mengurangi taraf gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh siswa – siswa yang memang butuh perhatian. Dengan demikian tercapainya tujuan ini dapat menghemat tenaga, waktu dan dana yang diperlukan untuk intervensi remedial. Contohnya, adanya latihan pengembangan pribadi atau latihan keterampilan sosial (social skill)  bagi murid – murid, dapat mencegah keonaran yang disebabkan konflik – konflik antar siswa atau antara siswa dengan guru.
Sedangkan tujuan yang sifatnya meningkatkan perkembangan, pusat perhatiannya adalah membantu siswa mencapai kemampuan psikologis semaksimal mungkin sesuai tingkat perkembangan pada usianya. Tujuan perkembangan, termasuk tujuan pertumbuhan, mengarah pada hubungan antar pribadi yang lebih mendalam dan lebih diperkaya, dalam masalah pemanfaatan waktu luang, dan dalam peningkatan peri kemanusiaan.
Dalam konseling, seringkali tercapainya tujuan remedial tercapai pula beberapa perkembangan. Sebaliknya, tujuan remedial yang dipersyaratkan. Ada kalanya tujuan perkembangan termasuk meningkatkan fungsi siswa di atas normal kelompoknya, karena itu tujuan remedial prasyarat perlu dipenuhi. Tujuan remedial pun diperlukan sebagai intervensi dari tujuan reventif. Maka, tujuan remedial yang memenuhi tujuan – tujuan lainnya di dalam bimbingan konseling di sekolah.

Daftar Pustaka
Sukadji, S. (2000).Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok:Lembaga Pengambangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Senin, 11 April 2011

Apakah terdapat jenis – jenis gangguan bicara dan bahasa pada anak? Apa sajakah itu?


Gangguan dan masalah bicara dan bahasa pada anak bermacam - macam, tergantung kesulitan dan gangguan yang diderita anak tersebut, gangguan - gangguannya antara lain: 

·   Gangguan Artikulasi, yaitu masalah dalam pengucapan suara secara benar. Anak penderita gangguan artikulasi mungkin sulit berkomunikasi dengan teman atau guru dan merasa malu. Akibatnya, anak penderita artikulasi ini enggan bertanya, tidak mau berdiskusi, atau berkomunikasi dengan temannya. 
·   Gangguan suara, yaitu masalah pada anak yang berbicara dengan tidak jelas, keras atau terlalu kencang yang tampak dalam ucapan suaranya. Begitu pula anak – anak yang berbibir sumbing, sulit dimengerti apa yang dikatakannya.
·    Gangguan kefasihan, yaitu masalah pada anak yang berbicara lamban atau biasa disebut gagap. Kondisi ini terjadi ketika ucapan anak terbata – bata, jeda panjang, atau berulang – ulang. Terkadang, anak – anak penderita gangguan ini merasa kecemasan karena gangguan yang dideritanya ini (gagap) sehingga membuat kondisi mereka semakin parah.
Bahasa reseptif adalah penerimaan dan pemahaman atas bahasa. Anak penderita gangguan bahasa reseptif akan kesulitan untuk menerima informasi, informasi masuk tetapi otak akan sulit untuk memerosesnya secara efektif yang menyebabkan anak kelihatan cuek atau bengong saja.
Bahasa ekspresif adalah kemampuan anak dalam menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran dan berkomunikasi dengan orang lain. Anak – anak penderita gangguan bahasa ekspresif akan kesulitan untuk memberikan tanggapan atau mengekspresikan pendapatnya.                                   

Anak penderita gangguan bahasa dan suara akan kesulitan dalam berkomunikasi dengan orangtua, guru dan temannya. Maka, dibutuhkan pengajaran khusus dalam masa pendidikan mereka dan penanganan khusus juga untuk dapat merawatnya selama menderita gangguan berbicara tersebut. Dan gangguan yang diderita anak pun dapat diperbaiki dengan terapi bicara dan suara agar dapat membantu anak untuk berkomunikasi sehingga memudahkannya untuk berinteraksi. 

Daftar Pustaka
Sukadji, S. (2000).Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok:Lembaga Pengambangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 

Jumat, 08 April 2011

PERSON PERCEPTION

MENTAL STRUCTURES
The basic building blocks of meaning we could call contrasts: we cut up the world into little pieces, we separate this from that, we make differentiations. There are many other names we could use: constructs, concepts, percepts, categories, dimensions, and so on, all with slightly differing meanings. But they all ultimately refer to this process of making one into two: more or less; it's this or it's that; there are two kinds of people in the world; it's them or us; it's got to be one or the other; it's black or white; please answer, yes or no; what goes up must come down.
Most of the time, we use only one end or the other of a contrast at a time. These ends are called characteristics or, especially in reference to the characteristics of people, traits. But the other end is always there, lurking in the background. You can't have one without the other -- good without bad, up without down, fat without thin...


Please note that these contrast need not be verbal: My cat knows the difference between the expensive cat food and the cheap stuff, yet can't tell you about it; an infant contrasts between mommy and non-mommy; wild animals contrast safe areas and dangerous ones, etc. Even adult humans sometimes "just know" without being about to say -- unconscious contrasts, if you like: what is it about that person that you like or dislike?
Contrasts don't just float around independently, either. We interrelate and organize them. For example, we can define a category: "Women are adult female human beings." Or we can go a step further and organize things into taxonomies, those tree-like structures we come across in biology: A Siamese is a kind of cat, which is a kind of carnivore, which is a kind of mammal, which is a kind of vertebrate....
Or we can put contrasts into more temporal structures, like rules. These are often called schemas or scripts. You can find explicit examples in books about card games, etiquette, or grammar; but you know quite a few rule systems yourself, even if they have become so automatic as to be unconscious!
Not all organization of contrasts are so tightly structured. We can describe something: "Women are delicate." As the example is intended to suggest, descriptions, as opposed to definitions, need not be true! Beliefs are similar to, but looser than, taxonomies. Whereas birds definitely (i.e. by definition) are vertebrates and have feathers, it is only my belief that they all fly -- I could be wrong! Stereotypes are examples of beliefs; so are opinions. But some beliefs are so strongly held that we see them as definite.
There are also narratives -- the stories we have in our minds. These are temporal, like rules, but are amazingly flexible. They can be a matter of remembered personal experiences, or memorized history lessons, or pure fiction. I have a suspicion that these contribute greatly to our sense of identity, and that animals don't have them to the degree we do.
Generativity
One lovely thing we can do with the verbal contrasts and characteristics is describe a person to someone -- i.e. give a list of traits. We then begin to deal with them socially before we actually meet them! They, in fact, could be long dead, and yet we can get to know them somewhat. Each word or phrase we give or hear narrows the range of possible expectations a little more. He's male? So what. He's male, 40-ish, chubby, a professor of psychology... Oh, I know who you mean. The more that is said, the more precise the anticipations.
In linguistics, it is said that language is generative. That means that, with a small set of words and a small set of rules of grammar, you can create (generate) a potentially infinite set of meaningful sentences. Well, this generativity is characteristic of all human activity. This means that, no matter how many contrasts you can relate about a chubby professor or whatever, there are still an infinite number of possible characteristics or behaviors that the 40-ish professor can generate. That professor, in other words, can still surprise you!
Since we are still "built" to try to anticipate him, we try one more thing: We try to anticipate others by putting ourselves into our anticipations! We make the assumption that they will do what we would do if we were in their situation and in the kinds of pigeon-holes we have placed them in. I call this "the assumption of empathic understanding."
This seems to be such a strong tendency in human beings that we often do it when we are trying to anticipate non-human beings and things. We tend to be anthropomorphic in our dealings with animals, for example. I tend to see my cat as being manipulative, Machiavellian, even sociopathic when, in fact, she doesn't have the I.Q. of a bean sprout. We even attribute "souls" to non-living things, which is called animism. So our ancestors attempted to appease angry volcanoes, or give thanks for the generosity of the earth, and so on.
When all else fails, we expect others to be like us.
Interaction of traits
Some of the preceding makes people sound rather computerish -- all orderly and neat. For better or for worse, however, there is nothing terribly neat about our use of traits. Trait meanings can vary quite a bit, depending on the context they, and we, are in. Traits vary, for example, in the presence of other traits.
The original research on this involved giving people lists of trait adjectives, as if we were describing a blind-date: "He's cute, has a good personality, works at the mall, drives a 'vette..."

For example, try to imagine this person:
cold, handsome, intelligent, concerned.
Compare your image with this person:
warm, handsome, intelligent, concerned.
If I asked you for details, you might have some like mine: Number one is a physicist, looks a bit like James Bond, and is concerned about the disposal of nuclear waste; Number two is a psychologist, is the "cute" kind of handsome, and is concerned with the emotional welfare of young children.
Some traits -- called central traits -- are "heavier" than others, that is, are responsible for more alteration in other traits while tending to remain relatively untouched themselves. Warm-cold is an example. Or try imagining this person:
Strong, tough, cold, athletic, and...female.
What happened? Well, we all know strong, tough, cold, athletic women; but male-female is a very strong contrast and influences our interpretation of other traits dramatically.
It also seems that the first traits we hear have the greatest effects. Try this one:
Popular, friendly, warm, ugly.
And compare it with this one:
Ugly, warm, friendly, popular..
In the second example, you more easily adapted the following words to the prime one (ugly), whereas in the first, your stereotypes had you imagining a fairly attractive person.
Note that these things don't just happen when we describe someone with a list of trait adjectives. They happen as we piece together our impressions of a real person right in front of us! And so our last example is also the way "first impressions" happen. And first impressions do, indeed, have a large impact.
Put first impressions together with the heaviest contrast of all -- good-bad -- and you have what is called the halo effect: If we quickly evaluate a person as good, everything afterwards will be seen with a "halo" around it... this person can do no wrong! If we see them as bad, the halo becomes horns, hoofs, and a pointy tail, and even possible positive traits are interpreted negatively!
Inferences
As I said earlier, contrasts don't just float around loose. They are organized to some degree. This means that we can make inferences from one characteristic to another. Usually, this means going from a fairly obvious characteristic to one that is more "abstract," hidden, or uncertain. For example, when you see a person in a lab coat with a stethoscope around her neck and a certain kind of diploma on the wall, you might infer that this person is a physician. Or if you see someone being rude to someone else, you might infer that she is obnoxious, that is, has some inner trait that will lead her to be rude in other situations and might involve other behaviors as well.
Note that some of our inferences are more a matter of definitions, and others are more a matter of beliefs. Certain college degrees, for example, are crucial to who is or isn't a doctor; their manner of dress, or their bedside manners, might be important, but are not crucial.
There are several different bases for the inferences we make:
(1) A smile is usually correctly understood as an indication of happiness because smiles seem to be a part of our biology. There is no culture in the world that does not understand the smile, though many misuse and pervert that understanding.
(2) "The finger" is understood, in our culture, as an indication of contempt, because it is a part of our cultural communications system. Language, gestures, clothing, social ritual, occupation, and much of body language is cultural.
(3) Being female has been, in our culture, traditionally assumed to imply poor mechanical ability. This assumption, of course, has lead parents to discourage the development of mechanical abilities in their daughters: Why bother? The inference is, therefore, a self-fulfilling prophecy. The expectation creates itself!
(4) Finally, many of our inferences don't really work at all. They are perpetuated because we often ignore or deny contradictions -- perhaps they are threatening to us -- or the contradictions simply don't show up well, as when we have little contact with some category of people. We could call these superstitious inferences.
INFERENCES FROM APPEARANCE
Probably the simplest inferences we can make begin with the appearance of the person before us. As you'll see, there is a good deal of superstition here, but also some inferences well rooted in biology.
Facial expression of emotion
First, we tend to infer emotion from facial expressions. Charles Darwin noted that animals as well as people communicate emotion through facial expression, and that certain expressions appear to be universal among human beings: Smiling is a sign of happiness and warmth towards another; crying is a sign of sadness; the frown with down-turned eye-brows is a sign of anger.
Laughter, too, is universal, but it is a more complex thing: It may signify happiness, yet if someone greeted you by laughing, you would feel funny--laughter can be very hostile, as when we find someone's misfortunes amusing. In other words, laughter reflects interpersonal tension and tension-release, such as when we conclude that we are not afraid of the stranger (that silly clown!) after all.
Anthropologists have noted these and other expressions even in cultures that had had no previous contact with the mainstream of world cultures.
Not only the expressions but the inferences we make from the expressions may be built-in. Notice how we tend to smile when someone smiles, or cry when they cry. Even babies do that! It's called "social contagion," and may explain the sometimes terrifying behavior of mobs.
But notice that some expressions are culture-bound, such as the single raised eye-brow (signifying wry amusement in our culture) or the tongue pushing out the cheek (signifying sexual interest in Latin America).
And further, we can manipulate even our natural expressions. All the European cultures use facial expressions willfully and in exaggerated fashion. Other cultures, notably the Japanese, suppress some expressions and use stereotypical versions of others. Only a few cultures, such as the Polynesians', tend to express their feelings fairly directly and honestly.
Finally, of course, no matter what your natural feelings or your cultural adaptations, you can lie with your facial expressions. It takes a good eye to catch the minute differences between a well-acted emotion and the real thing!
Facial structure
It is perhaps the biological bases of facial expressions that leads us to make further inferences based on facial structures: A blockhead is honest but dumb, a weak chin means a weak personality, a high brow means great intelligence, a low brow means coarse or vulgar tastes, beady eyes means sneakiness, a prune-face suggests a prude, and so on.
Most of these are superstitious or even bigoted: Some derive from the supposed characteristics of certain ethnic groups and their supposed similarity to certain animals (English stereotypes of Irish people, for example -- they all look like leprechauns, don't they now?) Some -- the prune face or beauty-pageant smiles, for example -- are the results of habitual expressions of disgust or sociability. Beware of how you hold your face: It may stay that way!
The body
And if your face can tell something about you, why not your body? William Sheldon even developed a theory (with some supportive research) that connected body types with personality types: To exaggerate, thin people (ectomorphs) are neurotic (cerebrotonic), muscular people (mesomorphs) are jocks (somatotonic), and fat people (endomorphs) are jolly (viscerotonic). Sheldon maintained that there really is a biological (or, more precisely, an embryological) connection.
But it could also be a matter of self-fulfilling prophecy: The broad-shouldered boy gets pushed into football by his over-zealous father, or the lonely chubby girl makes jokes at her own expense in order to make friends.
Clothing
Fortunately, we cover our bodies with clothing. (I've been to nude beaches and they are not a pretty sight!) And this gives us another opportunity for making inferences. Obviously, there's nothing biological here. First, it is a great opportunity for communicating about oneself, consciously and unconsciously. It is a way of expressing ourselves.
Sometimes, the communication is very direct: you can wear a t-shirt with a political slogan or favorite band on it, for example, or wear a cross, or a star of David, or yin-yang, or peace sign.
But generally, in order to communicate, we need to rely on our cultures' stereotypes. Otherwise, how would others know what kind of statement we are trying to make? This is another example of the effect of context on person perception.
For example, if one dresses sloppily (relative to the norms of your society), that might suggests to people in one culture that one is lazy. In another culture, it might suggest that the person is interested in higher things. In a third, it might suggest that the person is relaxed and comfortable. In a fourth, it might mean you are uncouth....
Within a culture, sloppy may mean good things at a family barbecue, and bad things at uncle Joe's funeral!
A curious point: If you dress "conventionally" (for whatever place and time you are in), people will trust you more! Deviation in dress suggests deviation in other matters as well.
Actually, you needn't move from one culture to another. You can stay in one place and just wait a few years: The styles will change. In the 1950's lipstick meant liberal; in the 1960's, it meant conservative. Today...I don't know. Glasses used to mean smart, reliable, industrious (frequent reading may have led to this stereotype!); today, with the availability of contacts, glasses are simply a choice.
Again notice that we can lie with clothes, even more easily than with our facial expressions. We can, for example, "dress for success," or at least for an interview.
Please notice that these inferences are not necessarily from the obvious to the less visible -- we can work them backwards, too. For example, what does a librarian look like? Forgive me my stereotypes, but I picture a woman (despite the many male librarians I've met), a bit older, dressed in a conservative suit (tweed, even), dark stockings, sensible shoes, hair in a bun, and glasses with one of those little gold chains. I'm ashamed of myself, but there is in fact a little of the self-fulfilling prophecy at work here: Someone who wants to be a librarian, identifies with the profession, may in fact tend to dress in keeping with the stereotype and thereby promote it!
Attractiveness
The strongest effect of face and body is the overall characteristic of attractiveness. We tend to see pretty people as being nicer, smarter, even morally better -- we like them more. This has held up under the research: for example, psychologists found that teachers preferred and expected more from the pretty kids and less from the unattractive ones. They even made excuses when the attractive ones didn't meet up with their expectations!
I should note that the longer you know someone, the less important their attractiveness becomes. And also note that there are plenty of exceptions to the rules when it comes to making inferences from attractiveness--note the "dumb blonde" stereotype. And finally, don't forget that beauty is in the eye of the beholder -- it is very subjective and (beauty pageants to the contrary) impossible to measure!
Speech
Along with appearance we can include how you sound. We can make quite a few inferences from the sound of your voice, and not too inaccurately, either. For example, we can infer social class. In England, for example, we can easily tell the upper class dialects of Brideshead Revisited from the lower class dialects of Upstairs Downstairs.
This isn't restricted to England by any means, though. On Long Island, for example, you can hear a range of class dialects running from "Long Island Lockjaw," named for the way its speakers keep their teeth together when they speak, to the working class dialects famous for their "Jeet yet?" and "Watcha doon?"
We can also tell people's origins. Australians (“Ozzies”), for example, stand out when they speak "Strilian" and wish you a "G'die mite." Likewise, we can tell Americans from Brits, Scotsmen from Englishmen, and Liverpudlians from Londoners. We can even tell which part of London a person is from. Only a "Cockney" Londoner, for example, would say "vewwy li'oo" for "very little."
How we deal with r's alone can tell a lot: If American news anchors pronounce "fire" with a light r, central Pennsylvanians say "fiyur," with a strong r, and Oklahomans say "fahrr," New Yorkers say "fiyuh," and aristocratic Brits say "faah." In Massachusetts, an r changes a preceding a: "a nice caah." And Rhode Islanders drop nearly all r's: "thwee nice caahs."
Words may differ in different dialects. The plural for you is a good example: Many Americans say "you guys." New Yorkers often say "youse" and even "youse guys." Southerners say "you-all" or "y'all." And in Appalachia they say "you-uns."
In Pennsylvania, you can practically tell what county someone is from on the basis of a few sentences: If you're from Lancaster (pronounced Lancster), you might say "the lawn needs mowed," "the peanut butter is all," or "outen the light." On the other hand, if you're from Huntingdon, you might say "leave him go" or "I left the dog out," "you-uns comin'?" or even "thar she be! Thar be yer woman!"
Generally, city dialects are loose, open, fast, and loud. Country dialects are slow and drawled. Upper class dialects tend to be tenser, more precise, and rather clipped. Surprisingly, this pattern holds well even cross-culturally!
Some dialects have different speech patterns for men and women! Japanese is notorious for this, with different pronunciations, grammatical structures, and even words for each gender. But they are not alone: Haven't you ever noticed that certain words (naughty ones) are spoken much more frequently by men? Or that women tend to speak in a more roundabout, less confrontational, fashion? And in Oklahoma there are even phonetic differences: men will say "thenk yuh," while women tend to say "think yuu."
We also infer emotion, especially anxiety, from the pitch of your voice, the stop-gaps you use (umm, and uh, you know...), stuttering and so on, with some accuracy. When the pitch of your voice begins to rise, it's not a bad bet that you're lying! A loud person is usually pegged as an extravert; a quiet one as an introvert.
And last, there are those very stereotyped inferences that have been perpetuated in movies and the like: A high pitched voice suggests that you are small (with some logic) and good (hi there, Minnie, heh heh!); a low pitched voice suggests you are large (usually true) and bad (I AM your father!). And so on.
INFERENCES FROM ACTS
Although facial expressions are commonly thought of as momentary things, things you can capture in a photograph, in fact they take some time to accomplish. Research that suggests that we are not very good at interpreting facial expressions often ignores that fact, using only still photographs of people. As you should understand by now, everything in social psychology involves context, including the context of complete movements.
There are, then, quite a few inferences we make that begin with acts.
Gestures
Perhaps the most obvious are gestures, often called emblems in social psychology. They are mostly cultural devices that communicate in much the same way that words do.
The simplest are movements of intention, that is, the very beginnings of an action that come to stand for the whole thing, like when your date keeps making motions toward the door.
Examples are plentiful: When we greet someone with our arms outstretched, that's a sign that we want to hug and perhaps make nice. If we greet someone with our fists clenched, that might mean something else. If we put our hands or arms over or in front of our heads, that suggests self-protection, and may be used to indicate that you've had enough and can't take any more.
The most universal movement of intention is pointing. Pointing derives from the act of reaching for something. Mind you, some cultures point with the entire hand. Others may point with the chin or even with the tongue.
While some movements are, like pointing, fairly universal, many are specific to each culture, such as placing ones hands on one's cheeks to suggest upset or placing hands together under one cheek to suggest the need to sleep.
Most gestures seem pretty arbitrary, like words: If "bow-wow" might be a sensible thing to call a dog, the word "dog" is just traditional. A good example of an arbitrary gesture is the "thumbs up" gesture, indicating approval, which comes to us from the ancient Romans.
There are other gestures of approval: In all cultures, movements like clapping, snapping fingers, and stomping feet are used as applause. A famous European gesture of approval is the "pursed hand," where all the fingers of one hand are brought together and pointed up. Some say this comes from the act of feeling material in the market place for its quality. It is also used to indicate something is very fine, small, or precise, and can be used to say "listen to me, this is exactly what I mean to say." We can kiss our fingertips and say "magnifique!" Or we can touch only our index finger and thumb, and say "okay!" Be careful though: that gesture may also mean zero or certain orifices!
We are superstitious creatures, and so have many gestures of protection: We cross our fingers (a cross? or some ancient symbol for lovers?); we point our index finger and pinky at someone to protect ourselves from the evil eye; we cover our mouths when we yawn (to keep our souls from escaping).
We also use gestures to communicate on the sly: We can pull our lower eyelid with our index finger, or form a circle around our eye, to tell our friends to be alert and take a look. We can touch or pull our earlobe, to say "listen up!" We can tap or rub the side of our nose, to say "I smell trouble!"
Some of these gestures pertain to matters of sex: The "fig," the thumb sticking between the index and middle fingers, is a symbol for the female genitalia, and is used in some places to indicate sexual interest. So are gestures like pushing out one's cheek with one's tongue, or the hand purse and okay sign (which suggests another explanation of their origin!)
Some gestures express hostility: Flicking ones chin or teeth, or biting one's thumb, expresses disinterest or contempt. Thumbing one's nose expresses mockery ("I make a long nose at you!"). Holding up the index and little fingers suggests that the person to whom it is directed is a cuckold. (This is the origin of “bunny ears.”) Dropping one's pants while facing away from someone ("mooning") is experiencing a resurgence of popularity.
The examples I've been using are of European origin. There are gestural "languages" for every region of the world. In Islamic countries, for example, showing the bottom of the foot is the primary gesture of contempt. This is difficult for Americans, who are prone to cross their legs and thus insult their Islamic hosts.
One set of gestures is particularly intriguing to the psychologist: gestures of sexual hostility. The most famous is, of course, the "finger." It represents the penis, and says, essentially, "I wish sexual aggression upon your person." We can emphasize the message by using the entire forearm (popular in Italy) or by using two fingers instead of one (popular in England). In Australia, the thumb, jerked upward, is a common substitute, once used inadvertently by former president Bush on a visit.
This last example shows how dangerous gestures can be in cross cultural situations: In Greece and Turkey, that same backhanded "v" is used as a victory sign, adapted from Churchill's original forehanded "v" because, in Greece and Turkey, the forehanded "v" is the obscene gesture, going back to ancient Constantinople, where people would push excrement into criminal's faces as they were paraded through the streets.
On a more positive note, their are gestures of greetings, love, and friendship: The kiss and the hug are the most universal. But note the enormous number of variations, with their different meanings in different cultures. Does one kiss one's host or hostess on the hand, the cheek, or the mouth? If the cheek, does one kiss the left or the right? Does one kiss both cheeks, or even kiss three times (very popular among Europeans today)? Or do you kiss the air? Are the rules different for men and women?
Some cultures do not use the kiss as a greeting. Asian cultures typically avoid bodily contact. Eskimos rub noses instead, and Maoris press their noses together.
Even hugs have variations. American men (and many women) seem to have a bit of a problem with hugs: Instead of "just hugging" they pat each others’ backs repeatedly.
There are many different ways to greet each other. In many regions, a raised hand is common. This may come from the desire, way back, to show that one has no weapons. European cultures take it one step further and clasp hands. It's as if two warriors want to show trust, but can't quite, and so need to hold on to each other's weapon-hands. The Chinese, on the other hand, "shake" their own hands, and Indians typically raise their hands in a prayer-like gesture.
A note: We shake right hands, not left. In fact, the left hand has been considered dirty by both European and Moslem cultures. It is the bathroom hand -- the one you used to wipe yourself in the age of leaves, stones, or sand. It is still taboo in many countries to eat with your left hand.
Another greeting is the bow. It is a symbol of submission, which might be why it has never been as popular in the west as in the east. In Japan, the depth of the bow indicates relative status. If you are uncertain, repeated bows may be necessary until the correct relationship is established. Prostration is the extreme form.
The bow is to be contrasted with dominance gestures, any movement that raises one higher than others, such as being on a platform or tilting one's head back and looking down one's nose at someone. Being more comfortable than others is another way of indicating dominance -- you shouldn't sit in the presence of royalty, for example.
Curiously, the yes nod and the no shake are nearly universal gestures. Erwin Straus' theory is that the yes nod is an abbreviated version of the bow of submission, i.e. "you are correct and I bow to your will." The no shake, on the other hand, involves no lowering of the body or the head. You remain erect, as if standing your ground, and only turn your head sideways, like a baby rejecting food.
His theory gains support when we look at the exceptions: In southern Italy and Greece, many people will toss their head backwards to say no. It looks a little like yes, but in fact only serves to exaggerate the erect "no" posture. On the other hand, in some parts of India, people say yes by pivoting their heads around an imaginary axis running from the nose to the back of the head. Again, at first glance, it looks more like no. But actually, it takes you out of the erect posture sideways, like a fancy bow. This curious yes gesture has evolved into an almost constant body movement among some Indians.
Body language
Which brings us to body language. Body language is less conscious, less linguistic, than gestures. And we use and read body language a good deal more than we think we do.
For example, a tight body posture (arms tight against sides, perhaps folded; legs together and, if seated folded; muscles tensed) indicates stress, and most of us read it that way. A loose body posture, of course, suggests relaxation. Notice that we can fake either one and thereby hide our true emotional state.
While the communication of stress is clearly based in our biology, much of body language is cultural, although usually much less conscious than the gestures we spoke of before. In fact, here is an interesting place to note cultural variation, for example while looking at conversational movement. Some cultures are noted expressionists, making much use of the arms in particular. The Italians tend to use broad arm movements; Hasidic Jews use their arms a great deal as well, but keep their arms closer to their bodies, so that the movement is more up and down; The French have a tendency to reach forward with their gestures.
Other cultures are less exuberant. In the Far East, we see a great deal of restraint in regards to arm and hand movements; Russians tend to speak from a rather direct, face-to-face, flat-footed, arms hanging at their sides posture; Americans have a tendency to face slightly away and to rock sideways, moving from one foot to the other as if restless, and if hands and arms are used at all, it will be at the level of the waist.
One more aspect of body language involves body orientation: It is a sign of interest when we face someone. When we turn away a little, it begins to indicate disinterest. When we turn around and rapidly walk away.... Notice also that disinterest, and its body language, is a big part of being “cool,” that is, of showing relative power. This is, partially, why teenagers often act so bored.

Eye contact
Generally, eye contact shows interest in much the same way, but things can be quite different in different cultures. The most common variation involves the lowering of the eyes by people of lower status, especially women. In many cultures, including to some extent our own, lowering the eyes is a sign of femininity! This is, of course, learned; and some people need to unlearn it in order to achieve a degree of "assertiveness."
Staring, on the other hand, is too much of a good thing in many countries. You can practically feel the weight of the stare. In some cultures, though, staring is polite when someone is talking to you, to show you are taking it all in. In others, like in Turkey, men commonly stare at women, a way of showing their sexual interest. Often, staring between men is a sign of aggressive intentions, a challenge to power.
A more biological aspect of eye contact involves the dilating of the pupils when we find something of interest. They dilate when we are aroused! So it used to be common to put eye drops in models eyes to dilate them before taking advertising photo's. But note that we also get aroused when angry, so do not assume a person is sexually interested in you on the basis of pupils alone.
TIME AND SPACE
Personal space
There are certain culturally specified distances for various interactions--usually one for public address, one for ordinary conversation, and one for intimate conversation. In our culture, public distance begins at about ten feet--which is part of the reason people tend not to sit in the front row of a classroom. The conversational distance is about 2 and a half feet, and the intimate distance is a few inches.
There is a little illustration of this called the parking lot waltz. If I take you into an open space, such as a parking lot, engage you in some conversation, and stand too close to you, you will feel uncomfortable and begin to back away. If I step closer, you will back off again. By changing angles, I can waltz you around the parking lot. Try it, it works. You will know that you are too close because you will feel uncomfortable, too. Things can go wrong, however, if you read my closeness as an attempt to get intimate and you either run away or beat me up.
The same works in reverse--but not as well. As you recall, moving away is read as a loss of interest, breaking off a conversation, so the other person is likely to say goodbye and leave. There are, of course, some people who don't read signs very well and will continue to talk to you even as you walk briskly away!
As I said, different cultures have different distances. Germans, for example, have longer conversational distances, three or three and a half feet. Arabs, on the other hand, have very short distances, one and a half and even one foot. It is considered a social pleasure to feel the other's warm, moist breath and smell their smells. Americans often feel uncomfortable when talking with Arabs and back away, which the Arab sees as being cold and impolite. Many international business deals must fall through because of personal distance!
Of course, we also have personal distances behind us and to the sides. We have, in fact, a personal envelope. At a relatively uncrowded bus stop, for example, people will spread themselves out to a comfortable degree.
Again, different cultures have different envelopes, and men and women differ as well. But notice the effect of context: Watch the different distributions of people at a party. Notice the differences between all male group, all female groups, and mixed groups. Or look at the way people squeeze through a crowd: Do they face the person they are brushing past, or turn their backs to them? It is interesting.
Situations change our personal envelopes. In New York City at three in the morning, a person walking behind us makes us nervous -- even if they are a block away. But in a rush hour subway, we can be squeezed together like sardines, and we ignore the sexual or aggressive messages of violated intimate space, though we seldom feel comfortable!
Two examples of the interaction of situations and envelops you might want to observe for yourself are the direction one faces in elevators and the effects of neighborliness at urinals.
The envelope can also vary because of personal experiences. A Vietnam veteran friend of mine would take off your head if you came up behind him too quickly. And some researchers have found that criminals tend to have rather large envelopes. The question remains: Did they get into crime because their huge envelopes were constantly getting stepped on, or did they develop huge envelopes in response to the dangerous games they play?
Time
The anthropologist E. T. Hall distinguishes two broad conceptions of time: monochronic and polychronic. "M-time" is typical of modern, industrialized, western cultures -- such as our own. "P-time" is typical of more traditional ones -- such as we find in Latin America and the Middle East.
M-time involves schedules: Time is thought of as a ribbon or a road, and it is chopped up, with each piece assigned a certain purpose. Each piece has a clearly defined beginning and end: promptness counts; tardiness is a character flaw, if not a sin. Time is concrete: It can be saved or spent, lost or made up... and eventually you run out. We have clocks and calendars and use them -- or rather they use us.
M-time is really rather arbitrary (why 50 minute classes? 40 hour work weeks? 15 week semesters?). You have to learn to follow all these schedules: except for the day, the year, and the seasons, they do not come naturally. Also, you deal with people in a way that is molded by m-time: one person (or a few) at a time, orderly, separately... Life is segmented; social life is segmented.
P-time, on the other hand, makes Americans crazy: The first thing likely to hit you is the lack of concern about appointments. An hour wait is not at all bad -- if you complain, they point out that they were speaking with someone important -- and you wouldn't want them to rush someone important! A government office may have a courtyard where dozens of appointments sit or walk about, and several officials "mingle" with them, rather than everyone lining up for their 15 minutes. If you get ignored -- well, perhaps you're problem wasn't sufficiently significant to cause you to step up and interrupt!
P-time is people-oriented, task-oriented, and very much tradition-oriented: Like the priest who can’t see you now because someone needs him or an artist who'll get to you when the inspiration has worn off a bit, the present moment is rather sacrosanct. "3:15 on October 28th," on the other hand, is an abstraction that means nothing in P-time.
This, of course, is terribly inefficient!
In contrast, we M-timers schedule not only our work but our fun as well: dinner at 8:00, a weekend in N.Y., two weeks vacation, Roseanne at 9:00 (for precisely one half hour), John has the kids on Saturdays, spends a little "quality time" with them, sex on Friday at 10:00....
M-time is efficient, and it's likely that we would never have developed our high-tech society without it. But it is also alienating. It turns us into something akin to the very machines we work with: wristwatches, punchclocks, factory whistles, assembly lines, computers.
INFERENCE OF RESPONSIBILITY
Imagine you are walking down Fifth Avenue in New York City when a kid jumps out of an alley, pushes you to the ground, and steals your wallet or purse -- in which you have all your vacation money. You report the robbery to the police and -- a miracle! -- they actually catch the kid. You are ready to string the little S.O.B. up, right?
Attribution theory, which deals with inferences of responsibility, would call your present attitude an internal attribution of causality, meaning that you assign the responsibility for what happened to the kid. The cause is inside him somehow: He's rotten.
Let's say they actually catch the little son-of-a-gun. But you find out from the police that this robbery is a part of a local gang's initiation rites, and that if a neighborhood kid doesn't participate, he and his family can expect severe abuse from the gang. And the kid's only twelve years old!
Attribution theory would now suggest that you will now make an external attribution of causality. You're still mad as hell, but it's not so much the kid anymore. Now it's that rotten New York City environment, the state of the world, or whatever. The kid is still the focus, but the causes of his behavior are seen as external to him.
The founder of attribution theory, Harold Kelley, suggested that we make our attributions the same way a scientist (or a detective) does: by asking questions.

Attribution rules
Let's look at a question of responsibility: "Why did George's quiche turn out runny?" In attribution theory terms, George is the person; the quiche is the entity; the relation between them is "making it turn out runny." We answer the question of responsibility by asking a few more questions:
1. Distinctiveness: Does George make other entities (eggs, souffle's, apple pies, meat loafs,...) runny or otherwise hard to get in your mouth? If no, the particular event is highly distinct -- rare for George. If yes, the event has low distinctiveness -- this is common for George.
2. Consensus: Do other people tend to make quiche runny, or otherwise mess it up? Is there a "consensus" on this problem? If no, the event has low consensus -- few people have George's problem with quiche. If yes, it has high consensus -- everybody messes up their quiche.
3. Consistency: Does George's quiche always turn out runny? If no, the relationship has a low consistency -- George's quiche is usually top-notch. If yes, there is a high consistency -- George has trouble with quiche.

quiche (entity) George (person) destroys (relation)
is this entity distinctive? is there a consensus? is this pattern consistent?
(does it happen to other entities?) (does it happen to other people?) (does it happen on other occasions?)
By answering these questions we can make attributions beyond simple internal or external:
1. If we answer that George makes everything runny, but most people have no problem with quiche, and furthermore George's quiche always comes out runny, we can make a person attribution: George can't cook. This is the same as the internal attribution.
2. If we answer that George doesn't have this problem with other foods, but other people mess up their quiche, and on top of it all George often has a problem with quiche, then we make a kind of external attribution called the entity attribution: Quiche is a pain.
3. If we answer that George messes up everything and everybody has trouble with quiche, and certainly George has had this problem before, we can make a person-entity attribution (either sufficient): George can't cook and quiche is a pain.
4. If we answer than George doesn't make everything runny, and that most people don't have a problem with quiche, but it is indeed true that George is always having this problem with quiche, we make another version of the person-entity attribution where both are necessary what I prefer to call a relation attribution: George and quiche just don't get along.
5. But if the answers are that George never has a problem with making things runny, and that other people don’t have that problem with quiche, and George doesn't always have this problem with quiche, we make a circumstance attribution: It was a coincidence, an accident, a bad day.
All this requires quite a bit of information -- what X does in other situations, what others do, past experiences X has had with the situation, and so on. Often we must deal with one-time events. In these circumstances all we can do is take a look around and try to make sense of things with what we have at hand:
1. The discounting principle: The more things you see making something inevitable, the less important any one thing seems -- including the person you are looking at. An external attribution is more likely. Joe has a fender-bender? He's a jerk. At two in the morning? He was sleepy. In the rain? It was slippery. With a cut brake line? Joe sounds less and less like a jerk and more and more like the victim of circumstances. The more reasons for it happening, the less blame you lay on him.
Discounting can also diminish the credit you give someone: John won the faculty car race! Wow! He drives a Ferrari. Oh.
2. The augmenting principle: The more things you see making a something unlikely, the more important a reason for it happening seems -- especially the person. An internal attribution becomes likely. He won the triathalon? Good. He is handicapped? Great! He is 70 years old? Incredible! He's been dead for a week? What a man! The more reasons for failure, the more credit you give him.
Augmenting can also increase the blame you give someone: John ran out of gas. Too bad. I warned him he was low. Quite the sieve-brain, that John.
Biases
So far, we are entertaining a rather rational view of ourselves. In truth, we are a bit less than rational--we have our biases.
1. The fundamental attribution error. We tend to see others as internally motivated and responsible for their behavior. This could be because of perceptual salience, that is, the other person is what we see most of when we look at them; or it could be that we lack more detailed information about what causes their behavior. But some social psychologists suggest that people are more often the causes of their behavior than the researchers who came up with the fundamental attribution error believe. In other words, it may be those researchers who have the bias!
Perhaps the saddest example of the tendency to make internal attributions whether they are warranted or not is blaming the victim. If giving someone our sympathy or blaming the true culprit somehow causes us dissonance, we may hold the victim responsible for his or her own pain and suffering. "He had it coming" and "she was asking for it" are all-too-common phrases!
2. The actor-observer effect. On the other hand, we tend to see ourselves, as more externally motivated. As kids say, he did it on purpose but I couldn't help it. This could be perceptual salience as well -- when I look at my behavior, all I see is its environmental causes; it could be that we simply have more information about our own motivations.
We can play with the salience idea: For example, if we are sitting next to someone in a debate, we tend to "see things from his point of view," including seeing the person across from both of you as more in control and more aggressive -- i.e. more "internal". If you sympathize with someone, on the other hand, you tend to attribute external causes for his or her behavior -- "My brother couldn't help it, your honor!" And some therapists use videotapes of their clients in order to encourage the taking of responsibility. For example, drunks rarely have a realistic view of their own behavior and tend to believe they are in control; a tape of themselves staggering about and being obnoxious might help.
3. The self-serving bias. But, adding to the confusion, we tend to see ourselves as the causes of our successes, but external events as the causes of our failures. If it works, I did it; if it doesn't, it was God's will. We may have more information about our motivations; but we may not want to acknowledge it.
An exception to the self-serving bias can be found in people's attitudes towards complicated machinery, such as computers. When things go wrong, we tend to blame ourselves -- "I must have done something wrong!" In fact, the problem is more often one of bad engineering and poor software design!
4. The just-world hypothesis. This is the idea that everything works for the best: If you're good, good things will happen to you; if you're bad, bad things will happen to you. Now this really isn't terribly realistic, but we get even worse: we reverse the logic, and believe that, if good things happen to you, you must've deserved them, and if bad things happen to you you, you must've deserved them, too!
This makes for all sorts of weird things, like people feeling guilty when bad things happen that they had no control over, or assuming that the victims of natural disasters or criminal acts are not as worthy as others and may even have had it coming to them! And we tend to like lucky people and feel like we deserve riches we get by inheritance, and so on.
As we will see in more detail later, we never seem to think quite so logically when we are personally involved. There are, in fact, even more biases of attribution, involving the severity of consequences, how those consequences impact on us, and whether we detect signs of intention. We will likely discover more as time goes by.
________________________________________
Copyright 1999, C. George Boeree
Dr. C. George Boeree